Sabtu, 06 Agustus 2016

PENGAJARAN PENGUCAPAN DAN PENGAJARAN BERBICARA



BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
              Bahasa Inggris tidak hanya perlu dipelajari sebagai sebuah pelajaran saja, tetapi seharusnya juga menjadi sebuah sarana untuk menerapkannya secara kontekstual yang selalu berkembang dari waktu ke waktu. Kemampuan berbahasa Inggris siswa yang masih minim menjadi kendala bagi mereka untuk berkomunikasi speaking, dan sudah pasti akan menjadi kendala bagi mereka untuk berperan aktif dalam setiap kesempatan yang lebih mempunyai daya saing. Kendala yang sering terjadi dalam kemampuan berkomunikasi speaking terletak pada kelancaran, ungkapan-ungkapan yang sesuai konteks dan pengucapan atau pronunciation.
              Speaking atau berbicara merupakan kemampuan yang berkembang karena mempunyai ungkapan-ungkapan yang khusus dan tergantung pada tingkat formalitasnya. Siswa mempunyai kekurangan dalam tingkat ini, disinilah peran guru harus bisa mengatasi permasalahan kemampuan berbicara dengan pengajaran yang handal.
              Pronunciation ataupun ucapan merupakan sebuah kemampuan seseorang tentang bagaimana seseorang memahami sistem bunyi, dan berdampak pada ucapan seseorang yang secara langsung akan mempengaruhi makna atau arti jika dalam konteks bahasa Inggris. Pada bahasa Inggris, beda bunyi akan berarti beda makna, apalagi beda tulisan, dan akan sangat mempengaruhi komunikasi lisan.
              Di sisi lain, kemampuan bahasa tidak hanya kemampuan tertulis saja, tetapi juga lisan. Ucapan yang tidak sesuai akan menjadi tolak ukur bahwa seseorang tidak mampu mempelajari bahasa secara utuh, dan itu menjadi indikator bahwa harus ada cara yang dilakukan agar hal ini bisa diminimalisir sehingga sistim pendidikan kita berubah menjadi lebih baik. Ketidaksesuaian hasil belajar ini bisa disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya adalah perbedaan konsep dalam bahasa yang dipelajari dengan bahasa ibu, dalam hal ini bisa bahasa Indonesia ataupun bahasa daerah masing-masing. Sistim bunyi yang berbeda, keadaan psikis yang mempengaruhi saat belajar, lingkungan sekitar tempat belajar, dan perbedaan fasilitas akan mempengaruhi konsep pemahaman diantara para siswa.
              Banyak teori yang menyebutkan bahwa kondisi psikis atau kejiwaan seseorang sangat mempengaruhi hasil dari suatu pembelajaran. Jika seseorang merasa senang dan nyaman, biasanya seseorang akan lebih cepat belajar karena motivasi dan dorongan yang dirasakan lebih besar.

              Kondisi terkini dalam  pengajaran percakapan dan pengucapan bisa divisualisasikan secara virtual dengan teknologi muktahir, seperti dalam CD program pengajaran bahasa Tell Me More. Dalam CD ini terdapat metode pengajaran yang membawa suasana percakapan secara nyata disertai percakapan-percakapan dengan penutur asli. Sedangkan pengajaran pengucapan, siswa bisa diukur ketepatan pengucaapannya yang sesuai dengan fonetik setiap kata.
              Dengan demikian pengajaran Speaking dan Pronunciation sangat penting diterapkan disetiap pengajaran bahasa Inggris baik dengan metode pengajaran dan media mukhtahir, agar pengajaran bahasa sangat terasa aplikatif dan penggunaannya juga bisa secara natural diterapkan ketika menggunakan bahasa tersebut, sehingga kepercayaan diri siswa semakin meningkat.





B.   Rumusan Masalah

1)    Apa yang dimaksud kemampuan pengucapan / pronunciation ?
2)    Bagaimana penerapan metode pengajaran pengucapan?
3)    Apa masalah yang dihadapi dan bagaimana mengatasinya dalam pengajaran pengucapan?
4)    Media mukhtahir apa yang digunakan dalam pengajaran pengucapan?
5)    Apa yang dimaksud kemampuan berbicara/speaking?
6)    Bagaimana penerapan metode pengajaran berbicara?
7)    Apa masalah yang dihadapi dan bagaimana mengatasinya dalam pengajaran berbicara?
8)    Media mutakhir apa yang digunakan dalam pengajaran berbicara?



BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengajaran Pengucapan/Pronunciation

1.  Pengertian Pengajaran Pengucapan
              Pengucapan merupakan salah satu kemampuan berbahasa yang sangat penting, karena terletak pada penyampaian pesan dengan pengucapan yang tepat, dimana si penerima pesan bisa mengerti atas apa yang disampaikan.
              Unsur-unsur pengucapan atau yang dikenal sebagai fonologi yang melibatkan peran suara individu dan segmen suara yang menggambarkan tingkat segmen, sedangkan suprasegmental terletak pada stress tekanan, ritme dan intonasi.[1]
              Pengajaran Pronunciation harus disesuaikan dengan setiap usia siswa, karena setiap tingkatan umur siswa mempunyai respon yang beragam baik secara kognitif, emosi. Sehingga pendekatan dan jenis tugas yang diberikan pun berbeda, seperti anak-anak lebih suka peniruan imitation,
sedangkan pelajar dewasa lebih suka pendekatan deskriptif atau analitis.[2]
Kemudian, bagaimana peran guru dalam pengajaran pengucapan, seperti:
1)    Membantu siswa untuk mendengar. Siswa cenderung mengenal suara dan mudah menirukan jika suara tersebut sama dengan suara bahasa asalnya, dan juga cenderung tahan lama untuk diingat jika siswa mengetahui bentuk bendanya terlebih dahulu.

2)    Membantu siswa untuk mengucapkan jenis suara yang tidak dimiliki dalam bahasa asli mereka. Peran guru disini untuk mengucapkan berdasarkan tanda baca atau isyarat yang akan diikuti  siswa.

3)    Memberikan umpan balik. Peran guru disini harus secara nyata untuk memperbaiki pengucapan siswa. Jika mereka melakukan kesalahan, guru siap memperbaiki kesusahan atau kesalahan yang diucapkan siswa.

4)    Menunjukkan penekanan atau perbedaan dalam setiap ucapan kata. Guru perlu memperhatikan pengucapan siswa apa akibatnya jika salah diucapkan, yang mana berakibat tidak tersampainya pesan terhadap pendengar.

5)    Menetapkan prioritas. Siswa mungkin akan menyadari adanya perbedaan pengucapan dengan penutur asli bahasa target, tetapi peran guru tetap memprioritaskan pengucapan yang diajarkan.

6)    Menentukan aktifitas. Guru harus memperhatikan aktifitas atau pendekatan apa yang meningkatkan kemampuan siswa menjadi lebih baik.

7)    Melakukan Asesmen, peran guru memberi nilai terhadap ketepatan ucapan siswa. Asesmen sangat diperlukan, agar siswa dapat termotivasi dan mengetahui perkembangannya.[3]
              Aspek–aspek dan contoh yang perlu diperhatihan dalam pengajaran bahasa Inggris adalah:
1)    Keterhubungan suara, Linkage of Sounds
“Not at all”.

2)    Penekatan Kata, Word stress
       ‘table’, ‘isn’t’, ‘any’

3)    Ritme, Rhythm
“What do you think of it?
Da da da Da da da

4)    Bentuk Lemah, Weak form
Disebut scwa “uh, er”. Terjadi ketika ragu ingin mengucapkan sesuatu.
           
5)    Penekanan Kata, Sentence stress
       “There’s plenty of salt.”
       “There isn’t any salt on the table.”

6)    Intonasi, Intonation
Pembicara dapat membuat intonasinya tinggi atau rendah seperti lagu. Contoh: (rise-fall-rise) Are you Sure?”. (fall-rise-fall) “I was sure I put it there. [4]

                   Berdasarkan teori-teori di atas, maka dalam pengajaran pengucapan atau pronunciation maka seorang pengajar harus memperhatikan peran guru terhadap siswa, pendekatan pengajaran, pendekatan apa yang cocok dan sesuai dengan gaya belajar siswa, serta penekanan pada aspek-aspek pengucapan. Dengan demikian, pengajaran bisa berhasil jika kesemua hal-hal tersebut  di atas dijalankan sesuai kaidah teori-teori yang ada.

2.   Permasalahan dalam Pengajaran Pengucapan 
                 Dalam pengajaran pengucapan pasti terdapat masalah yang dihadapi guru baik ketika guru mengajar, menilai, ataupun memberikan umpan balik terhadap siswa. Disinilah peran guru ketika mengetahui dan mampu mengatasi setiap permasalahan yang ada, maka target pengajaran pengucapan bisa tercapai.
                 Permasalahan yang muncul dalam pengajaran pengucapan, menurut Herbert adalah karena seringnya guru mengabaikan pentingnya pengucapan dalam setiap pengajaran bahasa, yang mengakibatkan kesalahan tersebut berkembang secara luas, sehingga tidak membentuk pengucapan yang sebagaimana mestinya.[5] Selanjutnya, menurut Richards dalam pengajaran pengucapan, perkembangan siswa sering kurang memuaskan, disinilah peran guru untuk membentuk pengucapan siswa secara alami, dan juga menyadari siswa bahwa pengucapan yang tepat itu sangat penting.[6] Permasalahan pengajaran pengucapan selanjutnya, menurut Purcell and Suter adalah guru yang kurang terlalu menekankan pentingnya pengucapan dikelas, faktor minat siswa yang inisiatif untuk memperbaiki pengucapannya secara mandiri, dan kurangnya pengetahuan pengajar terhadap kemungkinan kesalahan pelajar yang berasal dari bahasa aslinya.[7]
               Permasalahan juga muncul dari sisi pelajar yang tidak tahu bagaimana mengartikulasikan suara bahasa baru, atau tidak mampu mengucapkan artikulasi suara, bahkan pelajar tidak memiliki otot yang tepat untuk membuat suara karena dipengaruhi oleh bahasa ibunya.[8] 
Permasalahan dari segi pelajar terutama terdengar dari kejelasan Intelligibility. Menurut  Kenworthy permasalahan Intelligibility terletak pada :
 
1)    Sound Substitution, penggantian suara dari kata yang hampir sama diucapkannya tetapi tidak ada dalam bahasa pertama. Contoh, ‘th’. My friend is sick. My Friend is thick. 
2)    Sound Deletion, menghilangkan bagian suara, Contoh, hold, hole. 
3)    Sound Insertion, penyisipan suara. Speak, aaSpeak.
4)    Linking between Words. Menghubungkan ucapan gabungan kata. Out of, Ought to. 
5)    The Use of Stress, penekanan suara. Pro duc tiv i ty.
6)     Rhythm, ritme. I am twenty one tomorrow.[9]  
                   
Dengan demikian, berdasarkan kajian teori permasalahan di atas maka  permasalahan pengajaran pengucapan dilihat dari dua sisi. Sisi Pertama, pengajar guru harus memperhatikan pengucapan pelajar yang tepat, dan meningkatkan minat siswa agar memperbaiki pengucapannya secara mandiri. Kedua, permasalahan dari sisi pelajar. Pelajar mempunyai permasalahan dari faktor usia, bahasa pertama pelajar, dan Intelligibility kejelasan pengucapan. 
 
3.   Metode Pengajaran Pengucapan Muktahir
            Metode pengajaran pengucapan mengalami perdebatan secak tahun 1985. Apakah pengucapan bisa diajarkan?. Perdebatan ini muncul karena mustahil untuk menyamakan kemampuan pengucapan penutur asing dengan penutur asli.[10] Meskipun terjadi perdebatan akan tetapi para ahli yang lain Jack C. Richards menyarankan bahwa pengajaran pronunciation tetap harus disisipkan sebagai implikasi pengajaran bahasa dimana letak konten materinya terdapat penutur asli yang bisa memotivasi pelajar.[11]

              Seorang pengajar agar metode pengajarannya selalu muktahir hendaknya perlu mengetahui perkembangannya dengan melihat tulisan penelitian atau metode pengajaran pengucapan sejak dulu diterapkan. Pengajar pelafalan perlu melihat perubahan metode pengajaran dari aliran kaum behaviorist,  aliran situational cognitive, aliran sosial cognitive, serta pandangan-pandangan para ahli mengenai kognitif manusia yang terkini.[12]
              Penerapan Metode pengajaran pengucapan dideskripsikan oleh Herbert yang bisa diterapkan pada pelajar tingkat pemula low-level dan lebih mahir more advance learners.[13] Tahapan-tahapan pengajaran pengucapan dideskripsikan oleh Herbert adalah,
1)    Tetapkan Konteks, Setting the Context
Tetapkan pelajaran dalam satu konteks, misalnya tentang Nationalities.
Teacher (T): “What is your nationalities?”,
Student (S) : “I’m Chinese. .”
T: “Are you Chinese?”
S: “Yes, I am.”
2)    Diagnosa Pembicaraan Siswa, Diagnosing Learners’ Spoken English
Dengan menggunakan Tabel Diagnosa Diagnostic Profile.
Tabel DIAGNOSTIK


Tingkat Suprasegmental

Kebiasaan Umum berbicara

1. Kejelasan. Apakah pembicaraan pelajar jelas?
    Apakah ada contoh di mana ada gangguan dalam komunikasi?
    Apa faktor utama?

2. Kecepatan. Apakah pelajar berbicara terlalu cepat?
    Apakah bicaranya dimengerti karena dia berbicara terlalu cepat?
3. Loudness. Apakah pelajar berbicara terlalu pelan?
    Apakah kurangnya volume mempengaruhi kejelasan?

4. Pernapasan. Apakah pelajar berbicara dengan jeda yang tepat?

5. Kefasihan. Apakah pelajar berbicara dengan baik keheningan                panjang antara kata-kata atau terlalu banyak
     'Jeda diisi' (misalnya, 'ah ... ummm')?

6. Voice. Apakah ada variasi pitch yang cukup ?

7. Tatapan mata. Apakah perilaku menatap pelajar sesuai dengan                konteks (Contoh, menghadap mitra bicara atau melihat penonton             jika memberikan presentasi lisan)?

8. Perilaku ekspresif. Apakah pelajar terlalu sering menggunakan                           gerak tubuh? Apakah ekspresi wajah sesuai ucapan?

Intonasi

1.Apakah pelajar menggunakan pola intonasi yang tepat dalam      ucapan-ucapan? Dapat pelajar kontur penggunaan intonasi sinyal        dalam pernyataan, W-H question atau Yes No question?

2. Apakah pelajar mengubah pitch pada kata-kata stres utama?


Stres dan Ritme

1. Penekatan tingkat kata. Apakah pelajar menghasilkan schwa di                          suku kata tanpa tekanan?
     Apakah pelajar menggunakan kenyaringan dan panjang untuk               antara stres dan suku kata tanpa tekanan?

2. Penekatan tingkat kalimat. Apakah pelajar menekankan setiap suku                   kata yang sama?
      Apakah dia mampu menghasilkan tekanan yang kuat dan lemah                       dengan tepat?
      Apakah kata-kata penekanan leksikal  dan kata-kata gramatikal                                      tanpa tekanan?
      Apakah pelajar menempatkan stres tonik pada kata-kata yang                 tepat?

3. Menghubungkan. Apakah pelajar menghubungkan kata-kata tepat?                   Apakah konsonan identik terkait
    (posisi misalnya, atas)?
     Bunyi vokal saling terkait (misalnya, pay up)? Apakah konsonan                           terkait dengan vokal (misalnya, top of)?

Tingkat Segmental

Konsonan

1. Pergantian. Adalah pelajar mengganti satu fonem lain?
2. Kelalaian. Apakah pelajar menghilangkan konsonan?
3. Artikulasi. Apakah konsonan yang diartikulasikan dengan baik                           (misalnya, adalah / p / disedot kata-awalnya)?
4. Cluster. Apakah gugus konsonan yang diartikulasikan dengan baik?
5. Menghubungkan. Apakah konsonan terkait satu sama lain?

Vokal

1. Pergantian. Apakah satu vokal diganti untuk yang lain?
2. Artikulasi. Apakah pelajar mengartikulasikan vokal dengan benar                       (misalnya, pembulatan bibir)?
3. Panjang. Apakah vokal memiliki panjang yang sesuai mereka?
4. Pengurangan. Apakah vokal dikurangi suku kata tanpa tekanan?
5. Menghubungkan. Apakah vokal benar terkait dengan vokal lain di           batas kata?

3)    Pilih Isi Materi Ajar, Selecting the Content
              Memperkenalkan peserta didik dalam sebuah lingkungan. Di papan        tulis, menggambar di mana Anda berbicara dengan orang, misanya sekolah, bank, perpustakaan, kantor pos, trem, rumah, kolam    renang.) Pada tahap ini, pengajar memperkenalkan peserta didik untuk beberapa fitur fonologis bahasa Inggris, dan di diagnosa Inggris             dalam konteks di masyarakat di mana mereka ingin meningkatkan          bahasa mereka sesuai dengan konteks.
4)    Gabungkan pelajaran Fonologi ke Materi Ajar atau Lesson Plan, Incorporating Phonology into ESL Lesson.
Contoh, Percakapan dalam materi ini adalah tentang seorang wanita bernama Judy yang meminjam uang dan kemudian meminta untuk menemukan manajer tentang bagaimana cara meminjam uang. Pelajar terlibat untuk membuat permintaan sopan; dalam sistem perbankan; struktur tata bahasa termasuk bentuk pertanyaan yang akan digunakan sebagai permintaan; penekanan leksikal adalah pada angka atau jumlah. Disisi dibutuhkan diagnosis Anda dengan menyisipkan kemampuan fonologi dalam unit ini untuk menunjukan bagaimana membuat permintaan sopan, menggunakan penekanan kata dan kalimat dalam kontur intonasi yang tepat.

              Berdasarkan pengamatan penulis, teori pengajaran mutakhir di atas yang dituliskan oleh Herber telah berkembang menuju teknologi informasi atau digital. Seperti pengajaran pengucapan dalam perangkat lunak Software Tell Me More berikut ini.
               Tell Me More merupakan metode baru di sektor pendidikan dengan Dynamic mode nya. Ini metode kerja baru yang menyesuaikan jalur pembelajaran setiap pengguna, sesuai dengan kebutuhan nya . Perangkat lunak ini terus-menerus menganalisis hasil yang diperoleh dalam setiap aktivitas dan kemudian menyarankan yang aktivitas yang harus dilakukan sesuai kebutuhan dan tujuan pelajar .
 
               Metode ini bekerja secara inovatif dan dimaksudkan untuk memungkinkan peserta didik untuk bekerja secara mandiri, dengan menganalisis hasil mereka saat mereka bekerja dan dengan cepat mengadaptasi program yang diberikan perangkat lunak ini.
 
               Mesin kecerdasan dibuat untuk pembelajaran secara mandiri dan mengukur kemampuan yang dituangkan dalam report atau laporan yang diberikan secara otomatis pada pelajar setelah melakukan pembelajaran. Tell Me More adalah satu-satunya solusi software pembelajaran bahasa cerdas sebagai metode alternative dari metode pengajaran  bahasa tradisional.
               
Gambaran Metode Mutakhir Pengajan Pengucapan Tell Me More terdiri dari :
1)    Fitur Pemilihan Jenis Panduan 
2)    Fitur Pemilihan Konteks Percakapan 
3)    Fitur Percakapan dengan Penutur Asli
4)    Fitur Analisa Pronunciation
              Berdasarkan kajian teori metode pengajaran pengucapan di atas, maka dalam metode pengajaran pengucapan diperlukan sikap dari pengajar untuk selalu memperbaharui kondisi metode terkini, karena selalu mengalami perkembangan muktahir, baik dari segi perkembangan bagaimana dokumentasi metode pengucapan sejak dulu diterapkan hingga terus mengalami perubahan, dilihat kaum behaviorist menuju situational cognitive , sosial dan pandangan-pandangan para ahli mengenai kemampuan kognitif manusia yang terkini. Contohnya, dalam metode Herbert yang memaparkan dalam setiap pengajaran pengucapan harus ada tahapan-tahapan: 1) Penetapan Konteks, 2) Diagnosa Pengucapan Siswa, 3) Menetapkan Konten, dan 4) Menggabungkan semua jenis-jenis kemampuan Fonologi ke dalam Satuan Pelajaran.

B. Pengajaran Berbicara / Speaking
1.    Pengertian Pengajaran Berbicara
Berbicara (Speaking) secara umum dapat diartikan sebagai suatu penyampaian maksud (ide, pikiran, isi hati) seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan sehingga maksud tersebut dapat dipahami oleh orang lain. Berbicara juga dapat diartikan sebagai kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Menurut Ladouse dalam Nunan, berbicara digambarkan sebagai kemampuan untuk mengekspresikan diri dalam situasi, atau aktivitas untuk melaporkan tindakan, atau situasi dalam kata-kata yang tepat atau kemampuan untuk berkomunikasi atau untuk mengekspresikan urutan ide secara lancar.[14] Tarigan berpendapat bahwa berbicara adalah cara untuk berkomunikasi yang berpengaruh terhadap hidup kita sehari-hari.[15] Ini diartikan bahwa berbicara sebagai proses komunikasi secara langsung dapat yang mempengaruhi kehidupan pribadi kita.
Selanjutnya, Wilson mendefinisikan berbicara sebagai tahapan pengembangan hubungan antara pembicara dan pendengar, selain berbicara ditentukan faktor logika linguistik, aturan logis tentang psikologis juga harus diterapkan dalam situasi tertentu untuk berkomunikasi.[16] Ini berarti bahwa tujuan utama dari berbicara adalah untuk komunikasi. Dalam rangka untuk mengungkapkan secara efektif, pembicara harus tahu persis apa yang dia ingin berbicara atau komunikasikan, pembicara juga harus dapat mengevaluasi efek komunikasi yang diutarakan kepada pendengar, dan harus memahami setiap prinsip berbicaranya baik secara umum atau dengan individu.
Dalam pengajaran keterampilan berbicara (speaking skill) khususnya dalam bahasa kedua seperti bahasa Inggris, pendidik atau guru harus mampu membantu siswa untuk mencapai tujuan dalam proses berbicara dengan menggunakan metode pengajaran tertentu. Tujuan pengajaran keterampilan berbicara meliputi mampu menggunakan alat ucap dengan baik, mampu berkomunikasi secara resmi, mampu mengucapkan kata dan kalimat dengan intonasi dan tata bahasa yang baik, dan mampu mengeluarkan pendapat secara lisan dengan bahasa yang dipelajarinya.

Akan tetapi dalam proses pembelajaran, keterampilan berbicara sulit berkembang jika tidak dilatih secara terus menerus baik dengan teman di dalam kelas, guru-guru bahasa Inggris, atau guru-guru lainnya yang bisa berbahasa Inggris. Tujuannya dari hal tersebut adalah untuk memperlancar keterampilan berbicara, memperkaya penggunaan kosa kata, memperbaiki tatanan berbahasa, menyempurnakan ucapan-ucapan kosa kata, kalimat-kalimat bahasa Inggris, dan melatih pendengaran sehingga mudah menangkap pesan dari lawan bicara. Sehingga dalam proses belajar mengajar peran tenaga pengajar dalam hal ini guru sangat penting, baik dari segi penyampaian materi berbicara sampai pemilihan metode pengajaran berbicara yang efektif untuk peserta didik, sehingga dapat berdampak langsung dengan peningkatan kemampuan berbicara peserta didik.

2.    Permasalahan dalam Pengajaran Berbicara
Keterampilan peserta didik dalam berbicara adalah aspek inti dalam proses pengajaran berbicara, pengajaran bahasa dikatakan sukses jika fungsi bahasa bisa sebagai sistem untuk ekspresi makna, Nunan menyatakan bahwa sukses dalam berbicara diukur melalui kemampuan seseorang untuk melaksanakan berbicara dalam bahasa. Ada banyak faktor pendukung yang memengaruhi keberhasilan pengajaran berbicara dan ada banyak faktor kendala mengapa itu tidak berjalan dengan baik. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor usia, sosiokultural dan afektif.[17] 

a.    Faktor Usia
Kesuksesan peserta didik dalam proses pembelajaran bebicara bahasa asing atau Inggris dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Umur adalah salah satu faktor penentu yang paling sering menetukkan dari keberhasilan atau kegagalan dalam proses pembelajaran bahasa asing. Proses pembelajaran yang melibatkan peserta didik usia dini melalui pemaparaan dan penjelasan akan lebih cepat diserap dibandingkan dengan mereka yang dikategorikan peserta didik yang sudah beranjak dewasa. Studi di Oyama pada tahun 1976 juga menunjukkan bahwa banyak orang dewasa gagal mencapai hasil seperti kemahiran dalam bahasa kedua.[18] Kemajuan mereka tampaknya masih pada tingkatan sangat lambat, sebuah fenomena yang biasanya disebut "fosilisasi" (penghentian permanen pengembangan bahasa kedua). Hal ini menunjukkan bahwa proses penuaan itu sendiri dapat mempengaruhi atau membatasi kemampuan pelajar dewasa untuk mengucapkan bahasa target dengan pengucapan lancar seperti penutur asli.

b.    Faktor Sosiokultural
Banyak karakteristik budaya dalam bahasa juga mempengaruhi proses pembelajaran bahasa asing. Dari perspektif pragmatis, bahasa merupakan bentuk aksi sosial karena komunikasi linguistik terjadi dalam konteks pertukaran interpersonal yang terstruktur, dan makna demikian diatur secara sosial. Dengan demikian, untuk berbicara bahasa seseorang harus mengetahui bagaimana bahasa digunakan dalam konteks sosial. Hal ini juga diketahui bahwa setiap bahasa memiliki aturan penggunaan tersendiri, karena pengaruh atau gangguan norma-norma budaya dari bahasa itu sendiri, sehingga sulit untuk dapat pembelajar bahasa asing dengan memilih bentuk bahasa yang tepat untuk situasi tertentu.

c.    Faktor Afektif
Faktor afektif dari peserta didik merupakan salah satu pengaruh yang paling penting pada keberhasilan atau kegagalan proses pembelajaran bahasa. Faktor afektif terkait untuk belajar bahasa asing meliputi faktor emosi, harga diri, empati, kecemasan, sikap, dan motivasi. Belajar bahasa asing adalah tugas kompleks yang rentan terhadap kecemasan manusia, yang berhubungan dengan perasaan gelisah, frustrasi, keraguan diri, dan ketakutan. Berbicara bahasa asing di depan umum, terutama di depan penutur asli, sering merangsang kecemasaan dan rasa tidak percaya diri. Terkadang, kecemasan yang ekstrim terjadi ketika peserta didik menjadi kehilangan kata-kata dalam sebuah situasi yang tak terduga, yang sering menyebabkan kegagalan. Hal seperti ini banyak dialami oleh orang dewasa karena  mereka merasa dinilai cara berbicaranya oleh orang lain.
Berdasarkan beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan berbicara diatas dapat disimpulkan bahwa setiap orang atau peserta didik yang belajar bahasa asing perlu mengetahui tidak hanya pengetahuan linguistik, tetapi juga budaya dari bahasa tersebut untuk dapat berinteraksi dan dapat diterima oleh orang lain dalam situasi dan hubungan yang berbeda. Menurut Canale dan Swain dalam Richard mengusulkan bahwa kompetensi komunikatif mencakup empat kompetensi meliputi kompentensi gramatikal, kompetensi wacana, kompetensi sosiolinguistik, dan kompetensi strategis, yang masing-masing mencerminkan penggunaan sistem linguistik dan aspek fungsional komunikasi.[19]

a.    Kompetensi Gramatikal
Kompetensi gramatikal adalah konsep yang mencakup peningkatan keahlian dalam tata bahasa (morfologi, sintaksis), kosakata, dan mekanik. Berkaitan dengan berbicara, mekanik merujuk suara dasar huruf dan suku kata, pengucapan kata-kata, intonasi, dan stress. Untuk menyampaikan makna, peserta didik harus memiliki  pengetahuan kata dan kalimat. Dengan demikian, kompetensi gramatikal memungkinkan peserta didik untuk berbicara menggunakan dan memahami bahasa Inggris secara terstruktur, akurat, tanpa ragu dan dapat memberikan kontribusi untuk kelancaran mereka.

b.    Kompetensi Wacana
Selain kompetensi gramatikal, peserta didik harus mengembangkan kompetensi wacana, karena kompetensi wacana membantu dan memegang peran penting dalam komunikasi. Kompetensi wacana diartikan sebagai kemampuan untuk memahami dan menciptakan bentuk-bentuk bahasa yang lebih panjang dari kalimat, seperti kemampuan berbicara dalam bentuk cerita. Kompetensi Wacana termasuk pemahaman bagaimana contoh khusus dari penggunaan bahasa secara internal dibangun. Wacana kompetensi juga mencakup pemahaman bagaimana teks berhubungan dengan konteks atau situasi di mana mereka digunakan.

c.    Komptensi Sosiolinguistik
Pengetahuan tentang bahasa saja tidak cukup mempersiapkan seseorang atau peserta didik untuk efektif dan tepat menggunakan bahasa asing. Peserta didik harus memiliki kompetensi yang melibatkan pengetahuan tentang sosial dan budaya oleh pengguna bahasa sasaran. Artinya peserta didik harus memgetahui aturan dan norma-norma yang mengatur bahasan tersebut boleh atau tidak untuk diucapkan. Memahami sisi sosiolinguistik bahasa membantu peserta didik mengetahui pembicaran apa yang tepat, bagaimana mengajukan pertanyaan selama interaksi, dan bagaimana menanggapi nonverbal sesuai dengan tujuan pembicaraan.

d.    Kompetensi Strategis
Kompetensi strategis merupakan cara pembelajar mengembangkan bahasa untuk memenuhi tujuan komunikatif, mungkin kompetensi ini yang paling penting dari semua elemen kompetensi komunikatif. Karena kompetensi strategis mengacu pada kemampuan untuk mengetahui kapan dan bagaimana menjaga berbicara tetap terjadi, bagaimana untuk mengakhiri berbicara, dan bagaimana untuk menghilangkan gangguan komunikasi serta masalah pemahaman.

3.    Metode Pengajaran Berbicara Muktahir
Berbicara merupakan salah satu skill penting dari empat skill keterampilan berbahasa, keterampilan ini bukanlah keterampilan yang mudah untuk bisa dikuasai dikarenakan kemampuan berbicara dalam bahasa target membutuhkan praktik yang intensif. Berbicara dalam suatu bahasa semisal bahasa Inggris bagi kebanyakan peserta didik bukanlah suatu hal yang mudah, karena ketika kita berbicara bahasa Inggris, kita tidak hanya harus memikirkan kebenaran dalam tata bahasa tetapi kita juga harus memikirkan fungsi sosial dari kalimat yang kita ucapkan, sehingga tujuan yang akan kita sampaikan dapat diterima baik oleh pendengarnya. Ada tiga tahap perkembangan kompetensi berbicara peserta didik dalam bahasa inggris yang bisa diterapkan oleh peserta didik, antara lain:

a.    Menerima Pengajaran Berbicara (Receive Speaking)
Dalam tahapan ini, peserta didik atau pelajar yang belajar keterampilan berbicara bahasa Inggris lebih banyak menerima dari lingkungan belajar atau mendengarkan ragam bentuk dan gaya berbicara orang lain, ucapan, struktur bahasa yang dipakai, dan pengembangan vocabulary-nya sehingga bisa diulanginya di rumah atau di sekolah. Peserta didik menyimpan dalam memorinya sebanyak mungkin berupa: kosa kata baru tingkat dasar (basic), kalimat-kalimat baru, ucapan, dan lain-lain yang siap dipraktikkan dengan lawan bicara sekedar menjawab pertanyaan-pertanyaan (misal, “what is this?, what is that?, and how are you?, dan seterusnya). Persiapan ini disebut dengan receive speaking yang siap diterapkan keterampilan berbicara dalam bahasa Inggris (speaking skill) yang baik. Dengan pola ini, peserta didik bisa berfikir dan memperkaya diri dengan ragam bentuk bahasa yang siap pakai.

b.    Memproduksi Hasil Pengajaran Berbicara (Productive Speaking)
Berdasarkan konsep menerima berarti peserta didik telah menyimpan banyak persiapan untuk melakukan praktik keterampilan berbicara. Maka selanjutnya adalah kemampuan peserta didik untuk membentuk dan memperbanyak ungkapan-ungkapan baru, seperti: bertanya, menjelaskan, berdiskusi, dan bahkan membantu rekan sekelas. Dalam hal ini, peserta didik diberikan kesempatan sebanyak mungkin untuk menggunakan beragam kalimat baru bahasa Inggris sesuai tingkatan kelasnya. Pengaruh dari productive speaking bisa menjadi indikasi bahwa peserta didik yang berkemampuan tinggi dalam keterampilan berbicara justru akan lebih berhasil dalam mengembangkan diri bidang keterampilan berbicara Bahasa Inggris dalam mata pelajaran bahasa Inggris.

c.    Mendeskripsikan Kemampuan Berbicara (Descriptive Speaking)
Dari gambaran kedua tahapan diatas, berarti kesiapan peserta didik dalam menekuni keterampilan berbicara Bahasa Inggris sangat baik. Dari gabungan kedua tahapan tersebut maka peserta didik mampu menerima dan memberi (tanya jawab) dengan menggunakan rangkaian kalimat sederhana (simple sentence), kalimat gabungan (compound sentence), dan kalimat kompleks (complex sentence) dan kalimat rumit gabungan (compound complex sentence). Artinya, peserta didik mampu menjawab pertanyaan bahasa Inggris secara lisan, mampu bertanya, memberi penjelasan, berdisksusi, dan mampu menuliskan ungkapan bahasa Inggris secara tertulis juga dengan menggunakan ragam kalimat. Tujuan dari descriptive speaking adalah menyuruh peserta didik berbicara sebanyak mungkin dengan gambaran dari berbagai sumber bahan bacaan atau menurut pengalaman belajar yang dilaluinya.

Namun, untuk dapat meningkatkan kompetensi berbicara peserta didik dengan tiga tahapan diatas perlu adanya tindakan penting yang harus dilakukan oleh pengajar. Dimana dalam hal ini seorang guru dalam melakukan pengajaran berbicara bahasa Inggris harus mampu memilih dan menerapkan metode pengajaran yang mampu mengajak peserta didik untuk aktif dengan tujuan meningkatkan kemampuan komunikatif peserta didik. Richard berpendapat bahwa interaksi merupakan kunci meningkatkan kemampuan berbicara pembelajar bahasa asing.[20]  Karena melalui interaksi dengan orang-orang dalam masyarakat dapat berkorelasi dengan kemampuan berbicaranya dengan terlibat secara singkat melalui berbicara dengan orang lain.  Sedangkan menurut Brown bahasa lisan mudah dilakukan, tetapi dalam beberapa kasus sulit. Agar mereka dapat melaksanakan berbicara dengan baik, mereka harus memiliki beberapa karakteristik kegiatan berbicara seperti peserta didik harus berbicara lebih banyak, memiliki motivasi tinggi dan bahasa adalah tingkat yang dapat diterima.[21] Artinya peserta didik harus mengekspresikan diri dalam ucapan-ucapan yang relevan, mudah dipahami dan dapat diterima oleh orang lain. Dalam proses pembelajaran ada empat metode pengajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan berbicara yang bisa diterapkan di kelas, diantaranya meliputi :

a.    Bermain Peran (Role Play)
Role play adalah suatu cara pengembangan kemampuan berbicara melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan peserta didik. Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan peserta didik dengan memerankannya sebagai tokoh dalam suatu cerita. Permainan ini pada umumnya dilakukan lebih dari satu orang, hal itu bergantung kepada apa yang diperankan. Langkah-langkah model pembelajaran ini adalah guru menyiapkan skenario pembelajaran, menunjuk beberapa peserta didik untuk mempelajari skenario tersebut, pembentukan kelompok peserta didik, penyampaian kompetensi, menunjuk peserta didik untuk melakonkan skenario yang telah dipelajarinya, kelompok peserta didik membahas peran yang dilakukan oleh pelakon, presentasi hasil kelompok, bimbingan penyimpulan dan refleksi.

b.    Menceritakan Cerita (Story Telling)
Menceritakan cerita (Story telling) adalah metode pengajaran yang menuntut peserta didik untuk dapat secara singkat meringkas kisah atau cerita yang mereka dengar dari orang sebelumnya, atau mereka mungkin membuat cerita mereka sendiri untuk memberitahu teman-teman sekelas mereka. Story telling menumbuhkan pemikiran kreatif. Hal ini juga membantu peserta didik mengekspresikan ide-ide dalam bentuk awal, pengembangan, dan hasil akhir, termasuk karakter dan setting sebuah cerita harus dimiliki. Peserta didik juga dapat memberitahu teka-teki atau lelucon. Misalnya, pada awal setiap sesi kelas, guru dapat memanggil beberapa peserta didik untuk menceritakan teka-teki pendek atau lelucon sebagai pembuka. Dengan cara ini, guru tidak hanya akan meningkatkan kemampuan berbahasa peserta didik, tetapi juga mendapatkan perhatian dari kelas.

c.    Tongkat Berbicara (Talking Stick)
Tongkat berbicara (Talking stick) termasuk salah satu model pengajaran kooperatif. Model pembelajaran ini dilakukan dengan bantuan alat berupa tongkat, siapa yang memegang tongkat wajib menjawab pertanyaan dari guru setelah peserta didik mempelajari materi pokoknya. Pembelajaran Talking Stick sangat cocok diterapkan bagi peserta didik SD, SMP, dan SMA/SMK. Selain untuk melatih berbicara, pembelajaran ini akan menciptakan suasana yang menyenangkan dan membuat peserta didik aktif. Langkahnya dengan cara guru membentuk kelompok dan menyiapkan sebuah tongkat yang panjangnya 20 cm. Guru menyampaikan materi pokok yang akan dipelajari, kemudian memberikan kesempatan para kelompok untuk membaca dan mempelajari materi pelajaran. Setelah kelompok selesai membaca materi pelajaran dan mempelajari isinya, guru mempersilahkan anggota kelompok untuk menutup isi bacaan. Guru mengambil tongkat dan memberikan kepada salah satu anggota kelompok, setelah itu guru memberi pertanyaan dan anggota kelompok yang memegang tongkat tersebut harus menjawabnya, demikian seterusnya sampai sebagian besar peserta didik mendapat bagian untuk menjawab setiap pertanyaan dari guru.

d.    Memetakan Pikiran (Mind Mapping)
Memetakan pikiran (Mind Mapping) merupakan cara untuk menempatkan informasi ke dalam otak dan mengambilnya kembali ke luar otak. Mind mapping merupakan tehnik penyusunan catatan demi membantu peserta didik menggunakan seluruh potensi otak agar optimum. Caranya, menggabungkan kerja otak bagian kiri dan kanan. Dengan metode mind mapping peserta didik dapat meningkatkan daya ingat hingga 78%. Langkah-langkah pembelajarannya dengan guru menyajikan materi sebagaimana biasa. Untuk mengetahui daya serap peserta didik, bentuklah kelompok berpasangan dua orang. Menugaskan salah satu peserta didik dari pasangan itu menceritakan materi yang baru diterima dari guru dan pasangannya mendengar sambil membuat catatan-catatan kecil, kemudian berganti peran. Begitu juga kelompok lainnya. Menugaskan peserta didik secara bergiliran atau diacak menyampaikan hasil wawancaranya dengan teman pasangannya. Sampai sebagian peserta didik sudah menyampaikan hasil wawancaranya.



BAB III
PENUTUP

A.   KESIMPULAN

              Dalam pengajaran pengucapan atau pronunciation maka seorang pengajar harus memperhatikan peran guru terhadap siswa, pendekatan pengajaran, pendekatan apa yang cocok dan sesuai dengan gaya belajar siswa, serta penekanan pada aspek-aspek pengucapan. Dengan demikian, pengajaran bisa berhasil jika kesemua hal-hal tersebut  di atas dijalankan sesuai kaidah teori-teori yang ada.
Dalam pengajaran keterampilan berbicara (speaking skill) khususnya dalam bahasa kedua seperti bahasa Inggris, pendidik atau guru harus mampu membantu siswa untuk mencapai tujuan dalam proses berbicara dengan menggunakan metode pengajaran yang sudah dipaparkan diatas. Tujuan pengajaran keterampilan berbicara meliputi mampu menggunakan alat ucap dengan baik, mampu berkomunikasi secara resmi, mampu mengucapkan kata dan kalimat dengan intonasi dan tata bahasa yang baik, dan mampu mengeluarkan pendapat secara lisan dengan bahasa yang dipelajarinya.

DAFTAR PUSTAKA
Brown. H. Douglas. Characteristic of Successful Speaking Activities.  New York: Cambridge University Press. 2001
Helen Fraser, Teaching Pronunciation: A Handbook for Teachers and         Trainers. New South Wales:  Department of Education Training           and Youth Affairs DETYA, 2001.
Kenworthy, Joanne, Teaching English Pronunciation. London & New York:           Longman, 1998.
Nunan, David. Research Methods in Language Learning. Cambridge: Cambridge University Press. 1991
Richard, Jack C. & Burns, Anne, Trends in Second Language Teacher       Education. New York:  Cambridge University Press, 2009.
Richards, J. C. & Renandya, W. A. (Eds). Methodology in language teaching: An anthology of current practice. New York:  Cambridge University Press. 2002

Tarigan, H. Guntur. Prinsip-prinsip Dasar  Metode Riset Pengajaran dan Pembelajaran Bahasa. Bandung: Angkasa. 1991
Wilson, S. Living English Structure. London: Longman.1983



[1] Jack C. Richards & Willy A. Renandya, Methodology in Language Teaching: An anthology           of Current Practice, ed. Jack C. Richards & Willy A. Renandya (New York: Cambridge             University Press, 2002) h. 175.
[2]  Brown, dalam Rodney H. Jones. Methodology in Language Teaching: An anthology of    Current Practice, ed. Jack C. Richards & Willy A. Renandya (New York: Cambridge     University Press, 2002) h. 178.
[3] Joanne Kenworthy,Teaching English Pronunciation (London & New York: Longman, 1998)           hh.  1-2
[4] Ibid., h. 9-11
[5] Herbert di dalam Jack C. Richards & Willy A. Renandya, op.cit., h, 176
[6] Jack C. Richards & Willy A. Renandya, loc.cit.
[7] Purcell and Suter di dalam Tony Lynch & Kenneth Anderson, Effective English Learning,             (Edinburgh: English  Language Teaching Centre, 2012) h. 3.
[8] Helen Fraser, et.al.,Teaching Pronunciation: A Handbook for Teachers and Trainers (New             South Wales:  Department of Education Training and Youth Affairs DETYA, 2001) h.19.
[9] Joanne Kenworthy op.cit., h, 16-20.
[10]Burrill di dalam Jack C. Richards & Willy A. Renandya, op.cit., h, 179.
[11]Ibid., h.180.
[12]Cobb and Bowers, Greeno, Collins, Resnick, Putman and Borko, di dalam Trends in      Second Language Teacher Education, Karen E. Johnson, ed. Jack C.Richard & Anne           Burns  (New York:  Cambridge University Press, 2009) h. 20. 
[13] Julie Hebert di dalam Jack C. Richards & Willy A. Renandya, op.cit., h, 179.
[14]  David Nunan. Research Methods in Language Learning. (Cambridge: Cambridge                         University Press. 1991), h. 23.
[15] H. Guntur Tarigan. Prinsip-prinsip Dasar Metode Riset Pengajaran dan Pembelajaran         Bahasa. (Bandung: Angkasa. 1990), h. 8.
[16]  S. Wilson. Living English Structure. (London: Longman. 1983), h.5.
[17] David Nunan. Research Methods in Language Learning. (Cambridge: Cambridge University Press. 1991), h. 39.
[18] J.C. Richard & W. A. Renandy. Methodology in language teaching: An anthology of current practice. (New York:  Cambridge University Press. 2002), h. 205.
[19] Ibid, h. 206
[20] Ibid, h. 208.
[21] H. Douglas Brown. Characteristic of Successful Speaking Activities. (New York: Cambridge University Press. 2001), h. 270.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar