BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bahasa
Inggris tidak hanya perlu dipelajari sebagai sebuah pelajaran saja, tetapi
seharusnya juga menjadi sebuah sarana untuk menerapkannya secara kontekstual
yang selalu berkembang dari waktu ke waktu. Kemampuan berbahasa Inggris siswa
yang masih minim menjadi kendala bagi mereka untuk berkomunikasi speaking, dan sudah pasti akan menjadi
kendala bagi mereka untuk berperan aktif dalam setiap kesempatan yang lebih
mempunyai daya saing. Kendala yang sering terjadi dalam kemampuan berkomunikasi
speaking terletak pada kelancaran,
ungkapan-ungkapan yang sesuai konteks dan pengucapan atau pronunciation.
Speaking atau berbicara merupakan
kemampuan yang berkembang karena mempunyai ungkapan-ungkapan yang khusus dan
tergantung pada tingkat formalitasnya. Siswa mempunyai kekurangan dalam tingkat
ini, disinilah peran guru harus bisa mengatasi permasalahan kemampuan berbicara
dengan pengajaran yang handal.
Pronunciation ataupun ucapan merupakan
sebuah kemampuan seseorang tentang bagaimana seseorang memahami sistem bunyi,
dan berdampak pada ucapan seseorang yang secara langsung akan mempengaruhi
makna atau arti jika dalam konteks bahasa Inggris. Pada bahasa Inggris, beda
bunyi akan berarti beda makna, apalagi beda tulisan, dan akan sangat
mempengaruhi komunikasi lisan.
Di
sisi lain, kemampuan bahasa tidak hanya kemampuan tertulis saja, tetapi juga
lisan. Ucapan yang tidak sesuai akan menjadi tolak ukur bahwa seseorang tidak
mampu mempelajari bahasa secara utuh, dan itu menjadi indikator bahwa harus ada
cara yang dilakukan agar hal ini bisa diminimalisir sehingga sistim pendidikan
kita berubah menjadi lebih baik. Ketidaksesuaian hasil belajar ini bisa
disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya adalah perbedaan konsep dalam
bahasa yang dipelajari dengan bahasa ibu, dalam hal ini bisa bahasa Indonesia
ataupun bahasa daerah masing-masing. Sistim bunyi yang berbeda, keadaan psikis
yang mempengaruhi saat belajar, lingkungan sekitar tempat belajar, dan
perbedaan fasilitas akan mempengaruhi konsep pemahaman diantara para siswa.
Banyak
teori yang menyebutkan bahwa kondisi psikis atau kejiwaan seseorang sangat
mempengaruhi hasil dari suatu pembelajaran. Jika seseorang merasa senang dan
nyaman, biasanya seseorang akan lebih cepat belajar karena motivasi dan
dorongan yang dirasakan lebih besar.
Kondisi
terkini dalam pengajaran percakapan dan pengucapan
bisa divisualisasikan secara virtual dengan teknologi muktahir, seperti dalam
CD program pengajaran bahasa Tell Me More. Dalam CD ini terdapat metode
pengajaran yang membawa suasana percakapan secara nyata disertai
percakapan-percakapan dengan penutur asli. Sedangkan pengajaran pengucapan,
siswa bisa diukur ketepatan pengucaapannya yang sesuai dengan fonetik setiap
kata.
Dengan
demikian pengajaran Speaking dan Pronunciation sangat penting diterapkan
disetiap pengajaran bahasa Inggris baik dengan metode pengajaran dan media
mukhtahir, agar pengajaran bahasa sangat terasa aplikatif dan penggunaannya
juga bisa secara natural diterapkan ketika menggunakan bahasa tersebut,
sehingga kepercayaan diri siswa semakin meningkat.
B.
Rumusan Masalah
1) Apa yang dimaksud kemampuan pengucapan
/ pronunciation ?
2) Bagaimana penerapan metode
pengajaran pengucapan?
3) Apa masalah yang dihadapi dan
bagaimana mengatasinya dalam pengajaran pengucapan?
4) Media mukhtahir apa yang digunakan
dalam pengajaran pengucapan?
5) Apa yang dimaksud kemampuan berbicara/speaking?
6) Bagaimana penerapan metode
pengajaran berbicara?
7) Apa masalah yang dihadapi dan
bagaimana mengatasinya dalam pengajaran berbicara?
8) Media mutakhir apa yang digunakan
dalam pengajaran berbicara?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengajaran Pengucapan/Pronunciation
1. Pengertian Pengajaran Pengucapan
Pengucapan merupakan salah satu
kemampuan berbahasa yang sangat penting, karena terletak pada penyampaian pesan
dengan pengucapan yang tepat, dimana si penerima pesan bisa mengerti atas apa
yang disampaikan.
Unsur-unsur pengucapan atau yang
dikenal sebagai fonologi yang melibatkan peran suara individu dan segmen suara
yang menggambarkan tingkat segmen, sedangkan suprasegmental terletak pada stress tekanan, ritme dan intonasi.[1]
Pengajaran Pronunciation harus disesuaikan dengan setiap usia siswa, karena
setiap tingkatan umur siswa mempunyai respon yang beragam baik secara kognitif,
emosi. Sehingga pendekatan dan jenis tugas yang diberikan pun berbeda, seperti
anak-anak lebih suka peniruan imitation,
sedangkan
pelajar dewasa lebih suka pendekatan deskriptif atau analitis.[2]
Kemudian,
bagaimana peran guru dalam pengajaran pengucapan, seperti:
1)
Membantu siswa untuk mendengar. Siswa
cenderung mengenal suara dan mudah menirukan jika suara tersebut sama dengan
suara bahasa asalnya, dan juga cenderung tahan lama untuk diingat jika siswa
mengetahui bentuk bendanya terlebih dahulu.
2)
Membantu siswa untuk mengucapkan jenis suara
yang tidak dimiliki dalam bahasa asli mereka. Peran guru disini untuk
mengucapkan berdasarkan tanda baca atau isyarat yang akan diikuti siswa.
3)
Memberikan umpan balik. Peran guru disini
harus secara nyata untuk memperbaiki pengucapan siswa. Jika mereka melakukan
kesalahan, guru siap memperbaiki kesusahan atau kesalahan yang diucapkan siswa.
4)
Menunjukkan penekanan atau perbedaan dalam setiap
ucapan kata. Guru perlu memperhatikan pengucapan siswa apa akibatnya jika salah
diucapkan, yang mana berakibat tidak tersampainya pesan terhadap pendengar.
5)
Menetapkan prioritas. Siswa mungkin akan
menyadari adanya perbedaan pengucapan dengan penutur asli bahasa target, tetapi
peran guru tetap memprioritaskan pengucapan yang diajarkan.
6)
Menentukan aktifitas. Guru harus memperhatikan
aktifitas atau pendekatan apa yang meningkatkan kemampuan siswa menjadi lebih
baik.
7)
Melakukan Asesmen, peran guru memberi nilai
terhadap ketepatan ucapan siswa. Asesmen sangat diperlukan, agar siswa dapat
termotivasi dan mengetahui perkembangannya.[3]
Aspek–aspek dan contoh yang perlu
diperhatihan dalam pengajaran bahasa Inggris adalah:
1)
Keterhubungan suara, Linkage of Sounds
“Not at all”.
2)
Penekatan Kata, Word stress
‘table’,
‘isn’t’, ‘any’
3)
Ritme, Rhythm
“What do you think of it?
Da da da Da da da
4)
Bentuk Lemah, Weak form
Disebut scwa “uh, er”. Terjadi ketika ragu ingin
mengucapkan sesuatu.
5)
Penekanan Kata, Sentence stress
“There’s
plenty of salt.”
“There
isn’t any salt on the table.”
6)
Intonasi, Intonation
Pembicara
dapat membuat intonasinya tinggi atau rendah seperti lagu. Contoh:
(rise-fall-rise) “Are you Sure?”. (fall-rise-fall)
“I was sure I put it there.” [4]
Berdasarkan
teori-teori di atas, maka dalam pengajaran pengucapan atau pronunciation maka seorang pengajar harus memperhatikan peran guru
terhadap siswa, pendekatan pengajaran, pendekatan apa yang cocok dan sesuai
dengan gaya belajar siswa, serta penekanan pada aspek-aspek pengucapan. Dengan
demikian, pengajaran bisa berhasil jika kesemua hal-hal tersebut di atas dijalankan sesuai kaidah teori-teori
yang ada.
2. Permasalahan dalam Pengajaran Pengucapan
Dalam
pengajaran pengucapan pasti terdapat masalah yang dihadapi guru baik ketika
guru mengajar, menilai, ataupun memberikan umpan balik terhadap siswa.
Disinilah peran guru ketika mengetahui dan mampu mengatasi setiap permasalahan
yang ada, maka target pengajaran pengucapan bisa tercapai.
Permasalahan
yang muncul dalam pengajaran pengucapan, menurut Herbert adalah karena
seringnya guru mengabaikan pentingnya pengucapan dalam setiap pengajaran
bahasa, yang mengakibatkan kesalahan tersebut berkembang secara luas, sehingga tidak
membentuk pengucapan yang sebagaimana mestinya.[5] Selanjutnya, menurut
Richards dalam pengajaran pengucapan, perkembangan siswa sering kurang
memuaskan, disinilah peran guru untuk membentuk pengucapan siswa secara alami,
dan juga menyadari siswa bahwa pengucapan yang tepat itu sangat penting.[6] Permasalahan pengajaran
pengucapan selanjutnya, menurut Purcell and Suter adalah
guru yang kurang terlalu menekankan pentingnya pengucapan dikelas, faktor minat
siswa yang inisiatif untuk memperbaiki pengucapannya secara mandiri, dan
kurangnya pengetahuan pengajar terhadap kemungkinan kesalahan pelajar yang
berasal dari bahasa aslinya.[7]
Permasalahan juga muncul dari sisi pelajar yang tidak tahu bagaimana mengartikulasikan suara bahasa baru, atau tidak mampu mengucapkan artikulasi suara, bahkan pelajar tidak memiliki otot yang tepat untuk membuat suara karena dipengaruhi oleh bahasa ibunya.[8]
Permasalahan dari segi pelajar terutama terdengar dari kejelasan Intelligibility. Menurut Kenworthy permasalahan Intelligibility terletak pada :
1) Sound Substitution, penggantian suara dari kata yang hampir sama diucapkannya tetapi tidak ada dalam bahasa pertama. Contoh, ‘th’. My friend is sick. My Friend is thick.
2) Sound Deletion, menghilangkan bagian suara, Contoh, hold, hole.
3) Sound Insertion, penyisipan suara. Speak, aaSpeak.
4) Linking between Words. Menghubungkan ucapan gabungan kata. Out of, Ought to.
5) The Use of Stress, penekanan suara. Pro duc tiv i ty.
6) Rhythm, ritme. I am twenty one tomorrow.[9]
Dengan demikian, berdasarkan kajian teori permasalahan di atas maka permasalahan pengajaran pengucapan dilihat dari dua sisi. Sisi Pertama, pengajar guru harus memperhatikan pengucapan pelajar yang tepat, dan meningkatkan minat siswa agar memperbaiki pengucapannya secara mandiri. Kedua, permasalahan dari sisi pelajar. Pelajar mempunyai permasalahan dari faktor usia, bahasa pertama pelajar, dan Intelligibility kejelasan pengucapan.
3. Metode Pengajaran
Pengucapan Muktahir
Metode pengajaran pengucapan mengalami perdebatan
secak tahun 1985. Apakah pengucapan bisa diajarkan?. Perdebatan ini muncul
karena mustahil untuk menyamakan kemampuan pengucapan penutur asing dengan
penutur asli.[10]
Meskipun terjadi perdebatan akan tetapi para ahli yang lain Jack C. Richards menyarankan
bahwa pengajaran pronunciation tetap
harus disisipkan sebagai implikasi pengajaran bahasa dimana letak konten
materinya terdapat penutur asli yang bisa memotivasi pelajar.[11]
Seorang
pengajar agar metode pengajarannya selalu muktahir hendaknya perlu mengetahui perkembangannya
dengan melihat tulisan penelitian atau metode pengajaran pengucapan sejak dulu
diterapkan. Pengajar pelafalan perlu melihat perubahan metode pengajaran dari
aliran kaum behaviorist, aliran situational
cognitive, aliran sosial cognitive,
serta pandangan-pandangan para ahli mengenai kognitif manusia yang terkini.[12]
Penerapan
Metode pengajaran pengucapan dideskripsikan oleh Herbert yang bisa diterapkan
pada pelajar tingkat pemula low-level
dan lebih mahir more advance learners.[13] Tahapan-tahapan pengajaran
pengucapan dideskripsikan oleh Herbert adalah,
1)
Tetapkan
Konteks, Setting the Context
Tetapkan pelajaran
dalam satu konteks, misalnya tentang Nationalities.
Teacher (T): “What is
your nationalities?”,
Student (S) : “I’m
Chinese. .”
T: “Are you Chinese?”
S: “Yes, I am.”
2)
Diagnosa
Pembicaraan Siswa, Diagnosing Learners’
Spoken English
Dengan menggunakan
Tabel Diagnosa Diagnostic Profile.
Tabel DIAGNOSTIK
Tingkat
Suprasegmental
Kebiasaan Umum berbicara
1. Kejelasan. Apakah pembicaraan pelajar
jelas?
Apakah ada contoh di mana ada gangguan dalam
komunikasi?
Apa
faktor utama?
2. Kecepatan. Apakah pelajar berbicara
terlalu cepat?
Apakah
bicaranya dimengerti karena dia berbicara terlalu cepat?
3. Loudness.
Apakah pelajar berbicara terlalu pelan?
Apakah
kurangnya volume mempengaruhi kejelasan?
4. Pernapasan.
Apakah pelajar berbicara dengan jeda yang tepat?
5. Kefasihan. Apakah pelajar berbicara dengan
baik keheningan panjang
antara kata-kata atau terlalu banyak
'Jeda
diisi' (misalnya, 'ah ... ummm')?
6. Voice. Apakah ada variasi pitch yang cukup ?
7. Tatapan mata. Apakah perilaku menatap pelajar
sesuai dengan konteks (Contoh, menghadap mitra bicara atau
melihat penonton jika
memberikan presentasi lisan)?
8. Perilaku ekspresif. Apakah pelajar terlalu
sering menggunakan gerak
tubuh? Apakah ekspresi wajah sesuai ucapan?
Intonasi
1.Apakah pelajar menggunakan pola intonasi
yang tepat dalam ucapan-ucapan? Dapat
pelajar kontur penggunaan intonasi sinyal dalam
pernyataan, W-H question atau Yes No
question?
2. Apakah pelajar mengubah pitch pada
kata-kata stres utama?
Stres
dan Ritme
1. Penekatan tingkat kata. Apakah pelajar
menghasilkan schwa di suku
kata tanpa tekanan?
Apakah
pelajar menggunakan kenyaringan dan panjang untuk antara stres dan suku
kata tanpa tekanan?
2. Penekatan tingkat kalimat. Apakah pelajar
menekankan setiap suku kata yang sama?
Apakah dia mampu menghasilkan tekanan yang
kuat dan lemah dengan tepat?
Apakah kata-kata penekanan leksikal dan kata-kata gramatikal tanpa tekanan?
Apakah pelajar menempatkan stres tonik pada
kata-kata yang tepat?
3. Menghubungkan. Apakah pelajar
menghubungkan kata-kata tepat? Apakah konsonan identik terkait
(posisi
misalnya, atas)?
Bunyi vokal saling terkait (misalnya, pay up)? Apakah konsonan terkait dengan vokal (misalnya, top of)?
Tingkat
Segmental
Konsonan
1. Pergantian. Adalah pelajar mengganti satu
fonem lain?
2. Kelalaian. Apakah pelajar menghilangkan
konsonan?
3. Artikulasi. Apakah konsonan yang
diartikulasikan dengan baik (misalnya,
adalah / p / disedot kata-awalnya)?
4. Cluster. Apakah gugus konsonan yang
diartikulasikan dengan baik?
5. Menghubungkan. Apakah konsonan terkait
satu sama lain?
Vokal
1. Pergantian. Apakah satu vokal diganti
untuk yang lain?
2. Artikulasi. Apakah pelajar
mengartikulasikan vokal dengan benar (misalnya,
pembulatan bibir)?
3. Panjang. Apakah vokal memiliki panjang
yang sesuai mereka?
4. Pengurangan. Apakah vokal dikurangi suku
kata tanpa tekanan?
5. Menghubungkan. Apakah vokal benar terkait
dengan vokal lain di batas
kata?
3)
Pilih
Isi Materi Ajar, Selecting the Content
Memperkenalkan peserta didik dalam sebuah lingkungan. Di
papan tulis, menggambar di mana
Anda berbicara dengan orang, misanya sekolah,
bank, perpustakaan, kantor pos, trem, rumah, kolam renang.) Pada tahap ini, pengajar memperkenalkan peserta didik untuk beberapa fitur fonologis bahasa Inggris, dan
di diagnosa Inggris dalam konteks di masyarakat di mana
mereka ingin meningkatkan bahasa
mereka sesuai dengan konteks.
4)
Gabungkan
pelajaran Fonologi ke Materi Ajar atau Lesson Plan, Incorporating Phonology into ESL Lesson.
Contoh, Percakapan
dalam materi ini adalah tentang seorang wanita bernama Judy yang meminjam uang
dan kemudian meminta untuk menemukan manajer tentang bagaimana cara meminjam
uang. Pelajar terlibat untuk membuat permintaan sopan; dalam sistem perbankan;
struktur tata bahasa termasuk bentuk pertanyaan yang akan digunakan sebagai
permintaan; penekanan leksikal adalah pada angka atau jumlah. Disisi dibutuhkan
diagnosis Anda dengan menyisipkan kemampuan fonologi dalam unit ini untuk
menunjukan bagaimana membuat permintaan sopan, menggunakan penekanan kata dan
kalimat dalam kontur intonasi yang tepat.
Berdasarkan
pengamatan penulis, teori pengajaran mutakhir di atas yang dituliskan oleh
Herber telah berkembang menuju teknologi informasi atau digital. Seperti
pengajaran pengucapan dalam perangkat lunak Software
Tell Me More berikut ini.
Tell Me More merupakan metode baru di sektor pendidikan dengan Dynamic mode nya. Ini metode kerja baru yang menyesuaikan jalur pembelajaran setiap pengguna, sesuai dengan kebutuhan nya . Perangkat lunak ini terus-menerus menganalisis hasil yang diperoleh dalam setiap aktivitas dan kemudian menyarankan yang aktivitas yang harus dilakukan sesuai kebutuhan dan tujuan pelajar .
Metode ini bekerja secara inovatif dan dimaksudkan untuk memungkinkan peserta didik untuk bekerja secara mandiri, dengan menganalisis hasil mereka saat mereka bekerja dan dengan cepat mengadaptasi program yang diberikan perangkat lunak ini.
Mesin kecerdasan dibuat untuk pembelajaran secara mandiri dan mengukur kemampuan yang dituangkan dalam report atau laporan yang diberikan secara otomatis pada pelajar setelah melakukan pembelajaran. Tell Me More adalah satu-satunya solusi software pembelajaran bahasa cerdas sebagai metode alternative dari metode pengajaran bahasa tradisional.
Gambaran Metode Mutakhir Pengajan Pengucapan Tell Me More terdiri dari :
1) Fitur Pemilihan Jenis Panduan
2) Fitur Pemilihan Konteks Percakapan
3) Fitur Percakapan dengan Penutur Asli
4) Fitur Analisa Pronunciation
Berdasarkan
kajian teori metode pengajaran pengucapan di atas, maka dalam metode pengajaran
pengucapan diperlukan sikap dari pengajar untuk selalu memperbaharui kondisi
metode terkini, karena selalu mengalami perkembangan muktahir, baik dari segi
perkembangan bagaimana dokumentasi metode pengucapan sejak dulu diterapkan
hingga terus mengalami perubahan, dilihat kaum behaviorist menuju situational
cognitive , sosial dan pandangan-pandangan para ahli mengenai kemampuan
kognitif manusia yang terkini. Contohnya, dalam metode Herbert yang memaparkan
dalam setiap pengajaran pengucapan harus ada tahapan-tahapan: 1) Penetapan
Konteks, 2) Diagnosa Pengucapan Siswa, 3) Menetapkan Konten, dan 4)
Menggabungkan semua jenis-jenis kemampuan Fonologi ke dalam Satuan Pelajaran.
B. Pengajaran Berbicara / Speaking
1. Pengertian
Pengajaran Berbicara
Berbicara (Speaking) secara umum
dapat diartikan sebagai suatu penyampaian maksud (ide, pikiran, isi hati)
seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan sehingga maksud
tersebut dapat dipahami oleh orang lain. Berbicara juga dapat diartikan sebagai
kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk
mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Menurut
Ladouse dalam Nunan, berbicara digambarkan sebagai kemampuan untuk
mengekspresikan diri dalam situasi, atau aktivitas untuk melaporkan tindakan,
atau situasi dalam kata-kata yang tepat atau kemampuan untuk berkomunikasi atau
untuk mengekspresikan urutan ide secara lancar.[14]
Tarigan berpendapat bahwa berbicara adalah cara untuk berkomunikasi yang berpengaruh terhadap hidup kita sehari-hari.[15]
Ini diartikan bahwa berbicara sebagai proses komunikasi secara langsung dapat yang mempengaruhi
kehidupan pribadi kita.
Selanjutnya, Wilson mendefinisikan berbicara
sebagai tahapan pengembangan hubungan
antara pembicara dan pendengar, selain berbicara ditentukan faktor logika linguistik, aturan logis tentang psikologis
juga harus diterapkan dalam
situasi tertentu untuk berkomunikasi.[16]
Ini berarti bahwa tujuan utama dari berbicara adalah untuk komunikasi. Dalam
rangka untuk mengungkapkan secara efektif, pembicara harus tahu persis apa yang
dia ingin berbicara atau komunikasikan,
pembicara juga harus dapat
mengevaluasi efek komunikasi yang diutarakan
kepada pendengar, dan harus memahami setiap prinsip berbicaranya baik secara umum atau dengan individu.
Dalam pengajaran keterampilan
berbicara (speaking skill) khususnya
dalam bahasa kedua seperti bahasa Inggris, pendidik atau guru harus mampu
membantu siswa untuk mencapai tujuan dalam proses berbicara dengan menggunakan
metode pengajaran tertentu. Tujuan pengajaran keterampilan berbicara meliputi
mampu menggunakan alat ucap dengan baik, mampu berkomunikasi secara resmi,
mampu mengucapkan kata dan kalimat dengan intonasi dan tata bahasa yang baik,
dan mampu mengeluarkan pendapat secara lisan dengan bahasa yang dipelajarinya.
Akan tetapi dalam proses
pembelajaran, keterampilan berbicara sulit berkembang jika tidak dilatih secara
terus menerus baik dengan teman di dalam kelas, guru-guru bahasa Inggris, atau
guru-guru lainnya yang bisa berbahasa Inggris. Tujuannya dari hal tersebut
adalah untuk memperlancar keterampilan berbicara, memperkaya penggunaan kosa
kata, memperbaiki tatanan berbahasa, menyempurnakan ucapan-ucapan kosa kata,
kalimat-kalimat bahasa Inggris, dan melatih pendengaran sehingga mudah
menangkap pesan dari lawan bicara. Sehingga dalam proses belajar mengajar peran
tenaga pengajar dalam hal ini guru sangat penting, baik dari segi penyampaian
materi berbicara sampai pemilihan metode pengajaran berbicara yang efektif
untuk peserta didik, sehingga dapat berdampak langsung dengan peningkatan
kemampuan berbicara peserta didik.
2. Permasalahan dalam
Pengajaran Berbicara
Keterampilan peserta
didik dalam berbicara
adalah aspek inti dalam proses pengajaran berbicara, pengajaran
bahasa dikatakan sukses jika fungsi bahasa bisa sebagai sistem untuk ekspresi
makna, Nunan menyatakan
bahwa sukses dalam berbicara diukur melalui kemampuan seseorang untuk
melaksanakan berbicara dalam bahasa. Ada
banyak faktor pendukung yang memengaruhi keberhasilan pengajaran berbicara dan ada banyak
faktor kendala mengapa itu tidak berjalan dengan baik. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor usia,
sosiokultural dan afektif.[17]
a.
Faktor Usia
Kesuksesan peserta didik dalam proses pembelajaran
bebicara bahasa asing atau Inggris dipengaruhi oleh
sejumlah faktor. Umur adalah salah satu faktor penentu yang paling
sering menetukkan dari keberhasilan atau
kegagalan dalam proses pembelajaran
bahasa asing. Proses pembelajaran yang
melibatkan peserta didik usia dini melalui pemaparaan dan penjelasan akan lebih
cepat diserap dibandingkan dengan mereka yang
dikategorikan peserta didik yang sudah beranjak dewasa. Studi di Oyama pada tahun 1976 juga menunjukkan bahwa
banyak orang dewasa gagal mencapai
hasil seperti kemahiran dalam
bahasa kedua.[18]
Kemajuan mereka tampaknya masih pada
tingkatan sangat lambat, sebuah fenomena yang
biasanya disebut "fosilisasi" (penghentian
permanen pengembangan
bahasa kedua).
Hal ini menunjukkan bahwa proses penuaan itu sendiri dapat mempengaruhi atau
membatasi kemampuan
pelajar dewasa untuk mengucapkan bahasa target dengan pengucapan lancar seperti penutur asli.
b.
Faktor Sosiokultural
Banyak karakteristik budaya dalam bahasa juga mempengaruhi proses pembelajaran bahasa asing. Dari perspektif pragmatis,
bahasa merupakan bentuk aksi sosial karena komunikasi linguistik terjadi dalam konteks
pertukaran interpersonal yang terstruktur, dan makna demikian diatur secara sosial. Dengan
demikian, untuk berbicara bahasa seseorang harus mengetahui bagaimana
bahasa digunakan dalam konteks sosial. Hal ini juga diketahui bahwa setiap
bahasa memiliki aturan penggunaan tersendiri,
karena pengaruh atau gangguan norma-norma budaya dari bahasa itu sendiri, sehingga sulit untuk dapat pembelajar bahasa asing dengan
memilih bentuk bahasa yang tepat untuk situasi
tertentu.
c.
Faktor Afektif
Faktor afektif dari peserta didik merupakan
salah satu pengaruh yang paling penting pada keberhasilan atau kegagalan proses pembelajaran bahasa. Faktor afektif terkait untuk belajar bahasa asing meliputi faktor emosi, harga diri,
empati, kecemasan, sikap, dan
motivasi. Belajar
bahasa asing adalah tugas kompleks yang rentan terhadap kecemasan manusia, yang
berhubungan dengan perasaan gelisah, frustrasi, keraguan diri, dan
ketakutan. Berbicara bahasa
asing di depan umum, terutama di depan penutur asli, sering merangsang kecemasaan dan rasa tidak percaya diri.
Terkadang, kecemasan yang ekstrim
terjadi ketika peserta didik menjadi
kehilangan kata-kata dalam sebuah situasi yang tak terduga, yang sering
menyebabkan kegagalan.
Hal seperti ini banyak dialami oleh orang
dewasa karena mereka merasa dinilai
cara berbicaranya oleh
orang lain.
Berdasarkan
beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan berbicara diatas dapat
disimpulkan bahwa setiap
orang atau peserta didik yang belajar bahasa
asing perlu mengetahui tidak hanya pengetahuan
linguistik, tetapi juga budaya dari bahasa tersebut untuk dapat berinteraksi dan dapat diterima oleh
orang lain dalam situasi dan hubungan
yang berbeda. Menurut
Canale dan Swain dalam Richard
mengusulkan bahwa kompetensi komunikatif mencakup empat kompetensi
meliputi kompentensi gramatikal,
kompetensi wacana, kompetensi sosiolinguistik, dan kompetensi strategis, yang masing-masing mencerminkan
penggunaan sistem linguistik dan aspek fungsional komunikasi.[19]
a. Kompetensi Gramatikal
Kompetensi gramatikal
adalah konsep yang mencakup peningkatan keahlian dalam tata bahasa (morfologi,
sintaksis), kosakata, dan mekanik. Berkaitan dengan berbicara, mekanik merujuk suara dasar
huruf dan suku kata, pengucapan kata-kata, intonasi, dan stress. Untuk menyampaikan makna,
peserta didik harus memiliki pengetahuan
kata dan kalimat. Dengan demikian, kompetensi
gramatikal memungkinkan peserta didik
untuk berbicara menggunakan dan memahami
bahasa Inggris secara terstruktur, akurat, tanpa ragu dan dapat memberikan kontribusi untuk
kelancaran mereka.
b. Kompetensi Wacana
Selain kompetensi
gramatikal, peserta didik
harus mengembangkan kompetensi wacana, karena
kompetensi wacana membantu dan memegang peran penting dalam komunikasi.
Kompetensi wacana diartikan sebagai kemampuan
untuk memahami dan menciptakan bentuk-bentuk bahasa yang lebih panjang dari
kalimat, seperti kemampuan berbicara
dalam bentuk cerita. Kompetensi Wacana termasuk pemahaman
bagaimana contoh khusus dari penggunaan bahasa secara internal dibangun. Wacana
kompetensi juga mencakup pemahaman bagaimana teks berhubungan dengan konteks
atau situasi di mana mereka digunakan.
c. Komptensi Sosiolinguistik
Pengetahuan tentang
bahasa saja tidak cukup mempersiapkan seseorang
atau peserta didik untuk efektif dan tepat menggunakan bahasa asing. Peserta didik harus
memiliki kompetensi yang melibatkan pengetahuan
tentang sosial dan budaya oleh pengguna bahasa
sasaran. Artinya peserta didik harus memgetahui aturan dan norma-norma yang
mengatur bahasan tersebut boleh atau tidak untuk diucapkan.
Memahami sisi sosiolinguistik bahasa membantu peserta didik mengetahui
pembicaran apa yang tepat, bagaimana mengajukan pertanyaan
selama interaksi, dan bagaimana menanggapi nonverbal sesuai dengan tujuan
pembicaraan.
d. Kompetensi Strategis
Kompetensi strategis
merupakan cara pembelajar mengembangkan
bahasa untuk memenuhi tujuan
komunikatif, mungkin kompetensi ini yang
paling penting dari semua elemen kompetensi komunikatif. Karena kompetensi strategis
mengacu pada kemampuan untuk mengetahui kapan dan bagaimana menjaga berbicara tetap terjadi, bagaimana untuk
mengakhiri berbicara, dan bagaimana untuk menghilangkan gangguan komunikasi serta masalah pemahaman.
3. Metode Pengajaran
Berbicara Muktahir
Berbicara merupakan salah satu skill
penting dari empat skill keterampilan berbahasa, keterampilan ini bukanlah
keterampilan yang mudah untuk bisa dikuasai dikarenakan kemampuan berbicara
dalam bahasa target membutuhkan praktik yang intensif. Berbicara dalam suatu
bahasa semisal bahasa Inggris bagi kebanyakan peserta didik bukanlah suatu
hal yang mudah, karena ketika kita berbicara bahasa Inggris, kita tidak hanya
harus memikirkan kebenaran dalam tata bahasa tetapi kita juga harus memikirkan
fungsi sosial dari kalimat yang kita ucapkan, sehingga tujuan yang akan kita
sampaikan dapat diterima baik oleh pendengarnya. Ada tiga tahap perkembangan
kompetensi berbicara peserta didik dalam bahasa inggris yang bisa diterapkan
oleh peserta didik, antara lain:
a. Menerima Pengajaran Berbicara (Receive Speaking)
Dalam tahapan ini, peserta didik
atau pelajar yang belajar keterampilan berbicara bahasa Inggris lebih banyak
menerima dari lingkungan belajar atau mendengarkan ragam bentuk dan gaya
berbicara orang lain, ucapan, struktur bahasa yang dipakai, dan pengembangan
vocabulary-nya sehingga bisa diulanginya di rumah atau di sekolah. Peserta
didik menyimpan dalam memorinya sebanyak mungkin berupa: kosa kata baru tingkat
dasar (basic), kalimat-kalimat baru, ucapan, dan lain-lain yang siap
dipraktikkan dengan lawan bicara sekedar menjawab pertanyaan-pertanyaan (misal,
“what is this?, what is that?, and how are you?, dan seterusnya). Persiapan ini
disebut dengan receive speaking yang
siap diterapkan keterampilan berbicara dalam bahasa Inggris (speaking skill) yang baik. Dengan pola
ini, peserta didik bisa berfikir dan memperkaya diri dengan ragam bentuk bahasa
yang siap pakai.
b. Memproduksi Hasil Pengajaran
Berbicara (Productive Speaking)
Berdasarkan konsep menerima
berarti peserta didik telah menyimpan banyak persiapan untuk melakukan praktik
keterampilan berbicara. Maka selanjutnya adalah kemampuan peserta didik untuk
membentuk dan memperbanyak ungkapan-ungkapan baru, seperti: bertanya,
menjelaskan, berdiskusi, dan bahkan membantu rekan sekelas. Dalam hal ini, peserta
didik diberikan kesempatan sebanyak mungkin untuk menggunakan beragam kalimat
baru bahasa Inggris sesuai tingkatan kelasnya. Pengaruh dari productive speaking bisa menjadi
indikasi bahwa peserta didik yang berkemampuan tinggi dalam keterampilan
berbicara justru akan lebih berhasil dalam mengembangkan diri bidang
keterampilan berbicara Bahasa Inggris dalam mata pelajaran bahasa Inggris.
c. Mendeskripsikan Kemampuan
Berbicara (Descriptive Speaking)
Dari gambaran kedua tahapan
diatas, berarti kesiapan peserta didik dalam menekuni keterampilan berbicara
Bahasa Inggris sangat baik. Dari gabungan kedua tahapan tersebut maka peserta
didik mampu menerima dan memberi (tanya jawab) dengan menggunakan rangkaian
kalimat sederhana (simple sentence),
kalimat gabungan (compound sentence),
dan kalimat kompleks (complex sentence)
dan kalimat rumit gabungan (compound
complex sentence). Artinya, peserta didik mampu menjawab pertanyaan bahasa
Inggris secara lisan, mampu bertanya, memberi penjelasan, berdisksusi, dan
mampu menuliskan ungkapan bahasa Inggris secara tertulis juga dengan
menggunakan ragam kalimat. Tujuan dari descriptive
speaking adalah menyuruh peserta didik berbicara sebanyak mungkin dengan
gambaran dari berbagai sumber bahan bacaan atau menurut pengalaman belajar yang
dilaluinya.
Namun, untuk dapat meningkatkan kompetensi berbicara peserta
didik
dengan tiga tahapan diatas perlu adanya tindakan penting
yang harus dilakukan oleh pengajar. Dimana dalam hal ini seorang guru dalam
melakukan pengajaran berbicara bahasa Inggris harus mampu memilih dan
menerapkan metode pengajaran yang mampu mengajak peserta didik untuk aktif
dengan tujuan meningkatkan kemampuan komunikatif peserta
didik. Richard berpendapat bahwa interaksi merupakan kunci
meningkatkan kemampuan berbicara pembelajar bahasa asing.[20] Karena melalui interaksi
dengan orang-orang dalam masyarakat dapat berkorelasi dengan kemampuan berbicaranya dengan terlibat
secara singkat melalui berbicara dengan orang lain. Sedangkan menurut Brown bahasa lisan mudah
dilakukan, tetapi dalam beberapa kasus sulit. Agar mereka dapat melaksanakan
berbicara dengan baik, mereka harus memiliki beberapa karakteristik kegiatan
berbicara seperti peserta didik harus berbicara lebih banyak, memiliki motivasi
tinggi dan bahasa adalah tingkat yang dapat diterima.[21]
Artinya peserta didik harus mengekspresikan diri dalam ucapan-ucapan yang
relevan, mudah dipahami dan dapat diterima oleh orang lain. Dalam proses pembelajaran ada empat metode pengajaran
yang dapat digunakan untuk meningkatkan
kemampuan berbicara yang bisa diterapkan di kelas, diantaranya meliputi :
a. Bermain Peran (Role Play)
Role play adalah suatu cara pengembangan kemampuan berbicara melalui
pengembangan imajinasi dan penghayatan peserta didik. Pengembangan imajinasi
dan penghayatan dilakukan peserta didik dengan memerankannya sebagai tokoh
dalam suatu cerita. Permainan ini pada umumnya dilakukan lebih dari satu orang,
hal itu bergantung kepada apa yang diperankan. Langkah-langkah
model pembelajaran ini adalah guru menyiapkan skenario pembelajaran, menunjuk
beberapa peserta didik untuk mempelajari skenario tersebut, pembentukan
kelompok peserta didik, penyampaian kompetensi, menunjuk peserta didik untuk
melakonkan skenario yang telah dipelajarinya, kelompok peserta didik membahas
peran yang dilakukan oleh pelakon, presentasi hasil kelompok, bimbingan
penyimpulan dan refleksi.
b. Menceritakan Cerita (Story Telling)
Menceritakan cerita
(Story telling) adalah metode
pengajaran yang menuntut peserta didik untuk dapat secara singkat
meringkas kisah atau cerita yang mereka dengar dari orang sebelumnya, atau
mereka mungkin membuat cerita mereka sendiri untuk memberitahu teman-teman
sekelas mereka. Story telling menumbuhkan pemikiran kreatif. Hal ini juga
membantu peserta didik mengekspresikan
ide-ide dalam bentuk awal, pengembangan, dan hasil akhir, termasuk karakter dan
setting sebuah cerita harus dimiliki. Peserta didik juga dapat memberitahu
teka-teki atau lelucon. Misalnya, pada awal setiap sesi kelas, guru dapat
memanggil beberapa peserta didik untuk menceritakan teka-teki pendek atau
lelucon sebagai pembuka. Dengan cara ini, guru tidak hanya akan meningkatkan
kemampuan berbahasa peserta didik, tetapi juga mendapatkan perhatian dari
kelas.
c. Tongkat Berbicara (Talking Stick)
Tongkat berbicara (Talking stick)
termasuk salah satu model pengajaran kooperatif. Model pembelajaran ini
dilakukan dengan bantuan alat berupa tongkat, siapa yang memegang tongkat wajib
menjawab pertanyaan dari guru setelah peserta didik mempelajari materi
pokoknya. Pembelajaran Talking Stick
sangat cocok diterapkan bagi peserta didik SD, SMP, dan SMA/SMK. Selain untuk
melatih berbicara, pembelajaran ini akan menciptakan suasana yang menyenangkan
dan membuat peserta didik aktif. Langkahnya dengan cara guru membentuk kelompok
dan menyiapkan sebuah tongkat yang panjangnya 20 cm. Guru menyampaikan materi
pokok yang akan dipelajari, kemudian memberikan kesempatan para kelompok untuk
membaca dan mempelajari materi pelajaran. Setelah kelompok selesai membaca
materi pelajaran dan mempelajari isinya, guru mempersilahkan anggota kelompok
untuk menutup isi bacaan. Guru mengambil tongkat dan memberikan kepada salah
satu anggota kelompok, setelah itu guru memberi pertanyaan dan anggota kelompok
yang memegang tongkat tersebut harus menjawabnya, demikian seterusnya sampai
sebagian besar peserta didik mendapat bagian untuk menjawab setiap pertanyaan
dari guru.
d. Memetakan Pikiran (Mind Mapping)
Memetakan pikiran (Mind Mapping) merupakan cara untuk
menempatkan informasi ke dalam otak dan mengambilnya kembali ke luar otak. Mind mapping merupakan tehnik penyusunan
catatan demi membantu peserta didik menggunakan seluruh potensi otak agar
optimum. Caranya, menggabungkan kerja otak bagian kiri dan kanan. Dengan metode
mind mapping peserta didik dapat
meningkatkan daya ingat hingga 78%. Langkah-langkah pembelajarannya dengan guru
menyajikan materi sebagaimana biasa. Untuk mengetahui daya serap peserta didik,
bentuklah kelompok berpasangan dua orang. Menugaskan salah satu peserta didik
dari pasangan itu menceritakan materi yang baru diterima dari guru dan
pasangannya mendengar sambil membuat catatan-catatan kecil, kemudian berganti
peran. Begitu juga kelompok lainnya. Menugaskan peserta didik secara bergiliran
atau diacak menyampaikan hasil wawancaranya dengan teman pasangannya. Sampai
sebagian peserta didik sudah menyampaikan hasil wawancaranya.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dalam
pengajaran pengucapan atau pronunciation
maka seorang pengajar harus memperhatikan peran guru terhadap siswa, pendekatan
pengajaran, pendekatan apa yang cocok dan sesuai dengan gaya belajar siswa,
serta penekanan pada aspek-aspek pengucapan. Dengan demikian, pengajaran bisa
berhasil jika kesemua hal-hal tersebut
di atas dijalankan sesuai kaidah teori-teori yang ada.
Dalam pengajaran keterampilan
berbicara (speaking skill) khususnya
dalam bahasa kedua seperti bahasa Inggris, pendidik atau guru harus mampu
membantu siswa untuk mencapai tujuan dalam proses berbicara dengan menggunakan
metode pengajaran yang sudah dipaparkan diatas. Tujuan pengajaran keterampilan
berbicara meliputi mampu menggunakan alat ucap dengan baik, mampu berkomunikasi
secara resmi, mampu mengucapkan kata dan kalimat dengan intonasi dan tata
bahasa yang baik, dan mampu mengeluarkan pendapat secara lisan dengan bahasa
yang dipelajarinya.
DAFTAR PUSTAKA
Brown. H. Douglas. Characteristic of Successful Speaking Activities. New York: Cambridge University Press. 2001
Helen Fraser, Teaching Pronunciation: A Handbook for Teachers and Trainers. New South Wales: Department of Education Training and Youth Affairs DETYA, 2001.
Kenworthy, Joanne, Teaching English Pronunciation. London & New York: Longman, 1998.
Nunan, David. Research
Methods in Language Learning. Cambridge: Cambridge University Press. 1991
Richard, Jack C. & Burns, Anne, Trends in Second Language Teacher Education. New York: Cambridge University Press, 2009.
Richards, J. C. & Renandya, W. A. (Eds). Methodology in language teaching: An anthology of current practice. New York:
Cambridge University Press. 2002
Tarigan, H. Guntur. Prinsip-prinsip
Dasar Metode Riset Pengajaran dan
Pembelajaran Bahasa. Bandung: Angkasa. 1991
Wilson, S. Living
English Structure. London: Longman.1983
[1] Jack C. Richards &
Willy A. Renandya, Methodology in
Language Teaching: An anthology of Current Practice, ed. Jack C.
Richards & Willy A. Renandya (New York: Cambridge University Press, 2002) h. 175.
[2] Brown, dalam Rodney H. Jones. Methodology in Language Teaching: An
anthology of Current Practice, ed.
Jack C. Richards & Willy A. Renandya (New York: Cambridge University Press, 2002) h. 178.
[3] Joanne
Kenworthy,Teaching English Pronunciation
(London & New York: Longman, 1998) hh.
1-2
[5] Herbert di dalam Jack C.
Richards & Willy A. Renandya, op.cit.,
h, 176
[7] Purcell and Suter di dalam
Tony Lynch & Kenneth Anderson, Effective
English Learning,
(Edinburgh: English Language Teaching Centre, 2012) h. 3.
[8] Helen Fraser, et.al.,Teaching Pronunciation: A Handbook
for Teachers and Trainers (New South Wales: Department of Education Training and Youth
Affairs DETYA, 2001) h.19.
[10]Burrill di dalam Jack C.
Richards & Willy A. Renandya, op.cit.,
h, 179.
[12]Cobb
and Bowers, Greeno, Collins, Resnick, Putman and Borko, di dalam Trends in Second
Language Teacher Education, Karen E. Johnson, ed. Jack C.Richard & Anne
Burns (New York: Cambridge University Press, 2009)
h. 20.
[14] David Nunan. Research Methods in Language Learning. (Cambridge: Cambridge University Press. 1991), h. 23.
[15] H. Guntur Tarigan. Prinsip-prinsip Dasar Metode Riset
Pengajaran dan Pembelajaran Bahasa. (Bandung: Angkasa. 1990), h. 8.
[17] David Nunan. Research Methods in Language Learning. (Cambridge: Cambridge University Press. 1991), h. 39.
[18] J.C. Richard & W. A. Renandy. Methodology in language teaching: An anthology
of current practice. (New York:
Cambridge University Press. 2002), h. 205.
[21] H. Douglas Brown. Characteristic
of Successful Speaking Activities. (New
York: Cambridge
University Press. 2001), h. 270.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar