BAB I
PENDAHULUAN
Bahasa
adalah aspek penting interaksi manusia. Dengan bahasa, (baik itu bahasa lisan,
tulisan maupun isyarat) orang akan melakukan suatu komunikasi dan kontrak
sosial. Bahasa juga dipandang sebagai cermin kepribadian seseorang karena bahasa
diterjemahkan sebagai refleksi rasa, pikiran dan tingkah laku. Adakalanya
seorang yang pandai dan penuh dengan ide-ide cemerlang harus terhenti hanya
karena dia tidak bisa menyampaikan idenya dalam bahasa yang baik. Oleh karena
itu seluruh ide, usulan, dan semua hasil karya pikiran tidak akan diketahui dan
dievaluasi orang lain bila tidak dituangkannya dalam bahasa yang baik.
Dalam hal ini sejarah telah mencatat adanya empat pandangan atau teori dalam perkembangan bahasa. Dua pandangan yang kontroversial dikemukakan oleh pakar dari Amerika, yaitu pandangan teori nativisme yang berpendapat bahwa penguasaan bahasa bersifat alamiah (nature), dan pandangan teori behaviorisme yang berpendapat bahwa penguasaan bahasa bersifat “suapan” (nurture). Pandangan selanjutnya adalah pandangan teori kognitivisme dan pandangan teori konstruktivisme
Pendapat para ahli tentang belajar bahasa tersebut bermacam-macam. Di antara pendapat mereka ada yang bertentangan namun ada juga yang saling mendukung dan melengkapi. Pemikiran para ahli tentang teori belajar bahasa ini begitu variatif dan menarik. Fungsi pandangan tentang teori- teori dalam pembelajaran adalah untuk membantu kita mengerti dan mengorganisasi data tentang pengalaman dan memberikan makna yang merujuk dan sesuai.
Dalam hal ini sejarah telah mencatat adanya empat pandangan atau teori dalam perkembangan bahasa. Dua pandangan yang kontroversial dikemukakan oleh pakar dari Amerika, yaitu pandangan teori nativisme yang berpendapat bahwa penguasaan bahasa bersifat alamiah (nature), dan pandangan teori behaviorisme yang berpendapat bahwa penguasaan bahasa bersifat “suapan” (nurture). Pandangan selanjutnya adalah pandangan teori kognitivisme dan pandangan teori konstruktivisme
Pendapat para ahli tentang belajar bahasa tersebut bermacam-macam. Di antara pendapat mereka ada yang bertentangan namun ada juga yang saling mendukung dan melengkapi. Pemikiran para ahli tentang teori belajar bahasa ini begitu variatif dan menarik. Fungsi pandangan tentang teori- teori dalam pembelajaran adalah untuk membantu kita mengerti dan mengorganisasi data tentang pengalaman dan memberikan makna yang merujuk dan sesuai.
Seorang
pendidik seperti guru pasti sudah memiliki teori tentang pembelajaran bahasa,
tetapi sebagian besar guru tersebut tidak pernah mengungkapkan seperti apa
teori itu. Teori mempunyai fungsi yaitu; 1) Mendeskripsikan, menerangkan,
menjelaskan tentang fakta. Contohnya fakta bahwa mengapa air laut itu asin; 2)
Meramalkan kejadian-kejadian yang akan terjadi berdasarkan teori yang sudah
ada; 3) Mengendalikan yaitu mencegah sesuatu supaya tidak terjadi dan
mengusahakan supaya terjadi. Teori berhubungan dengan belajar. Dengan kata lain
teori belajar bahasa adalah gagasan-gagasan tentang pemerolehan bahasa.
Sehubungan
dengan prinsip pembelajaran bahasa, kiranya teori belajar ini dapat bermanfaat
dalam pengembangan pembelajaran bahasa. Dalam makalah ini dijabarkan empat
teori belajar bahasa secara jelas dan bentuk pengaplikasiannya dalam proses
pembelajaran bahasa.
BAB II
POKOK BAHASAN
Adapun
pokok bahasan dalam makalah ini adalah terkait tentang
pengertian tentang teori-teori dalam belajaran bahasa dan proses pengaplikasian
teori-teori tersebut dalam proses pengajaran bahasa. Ada empat teori yang bisa
digunakan dalam proses pembelajaran bahasa, dimana keempat teori ini memiliki
beberapa peran dan fungsi tersendiri dan berbeda satu dengan yang lainnya dalam
proses pembelajara bahasa. Serta dibahas juga proses penerapannya atau pengaplikasian
keempat teori ini dalam proses pendidikan secara baik dan tepat sehingga akan
membuat dan menimbulakan proses pembelajaran bahasa yang efektif dan mudah
untuk dipahami oleh peserta didik yang sedang belajar suatu bahasa. Diharapakan
melalui makalah ini, akan menambah pengetahuan pada kita semua khususnya kami
penulis, tentang teori-teori dalam proses belajar bahasa dan juga
pengaplikasiannya dalam proses pembelajaran bahasa.
BAB III
KAJIAN TEORI
A.
Hakikat
Belajar Bahasa
Bahasa
bersifat sangat komplek untuk itu perlu ketegasan tentang konsep kebahasaan.
Hal ini sangat diperlukan dengan adanya peluang semakin terbukanya hubungan
antarbangsa yang mengakibatkan kebutuhan penguasaan bahasa (B2) atau pun bahasa asing (BA) semakin meningkat. Penguasaan lebih dari satu
bahasa akan memudahkan seseorang untuk memasuki kompetisi pemasaran global.
Kaum
behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah
laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang
siswa dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik
biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi
bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian,
bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang
komplek.[1]
Belajar
merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon.[2] Seseorang dianggap telah
belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori
ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output
yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada
pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap
stimulus yang diberikan oleh guru tersebut.
Belajar
merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk
bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus
dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukan
perubahan tingkah lakunya. Misalnya siswa yang belum bisa menulis. Walaupun ia
sudah belajar dengan tertib dan usaha yang maksimal, namun jika anak tersebut
belum bisa mempraktekkan membaca dengan benar, maka ia belum dianggap belajar.
Karena ia belum dapat menunjukkan suatu perubahan perilaku sebagai hasil
belajar.
B.
Hakikat
Pengajaran Bahasa
Keberhasilan peserta didik
atau siswa dalam proses pembelajaran bahasa tidak hanya ditentukan oleh diri
siswa itu sendiri tetapi juga harus didukung oleh tenaga pengajar yang
memfasilitasi penyampaian ilmu bahasa itu sendiri. Gilstrap dan Martin menyatakan
bahwa peran pengajar lebih erat kaitannya dengan keberhasilan pembelajar, terutama
berkenaan dengan kemampuan pengajar dalam menetapkan strategi pembelajaran.[3] Artinya bahawa seorang
pengajar atau guru bahasa khususnya harus memiiki metode pengajaran yang tepat
dan dapat merangsang atau memberi stimulus kepada siswanya untuk dapat aktif
dan berpartisipasi secara bersama-sama dalam proses pembelajaran.
Ada lima prinsip pengajaran bahasa
yang harus diketahui dan dipahami seorang pengajar atau guru dalam proses
pembelajarn yang meliputi:
1. Mengetahui
apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan minat belajar bahasa. Seorang guru
harus menyelami dan mengetahui karakter setiap siswa dalam satu kelas agar guru
dapat mencari metode dan cara belajar yang tepat sesuai dengan apa yang
diinginkan siswa.
2. Keterpaduan
keterampilan berbahasa yang disajikan secara terpadu seperti dalam kehidupan
nyata. Keterampilan ini seperti pemberian materi pelejaran yang pemberian
contohnya disesuaikan dengan apa yang sedang berkembang dan menjadi sorotan
anak didik. Keterpaduan ini selain menarik juga membuat siswa tidak bosan
dalam mengikuti proses pembelajaran.
3. Belajar
bahasa adalah belajar berkomunikasi. Komunikasi yang dibangun dan diterapkan
oleh guru kepada anak didik hendaknya dimulai dari apa yang siswa atau anak
didik minati. Dari itu pendidik dapat bertukar pikiran dengan baik dan
selanjutnya komunikasi yang terjalin ini dapat mempermudah guru mengetahui
kesukaran/kesulitan siswa dalam belajar.
4. Pentingnya
kebermaknaan dalam pengajaran. Kebermaknaan berdasarkan konteks, baik konteks
kebahasaan maupun konteks situasi. Kegiatan pembelajaran akan lebih bermakna
bagi siswa jika hal itu berhubungan dengan kebutuhan, pengalaman, minat, tata
nilai, dan masa depannya.Dalam penerapan prinsip ini, guru dituntut memiliki
kemampuan berbahasa yang memadai dan memiliki berbagai keterampilan menyajikan
bahan secara komunikatif
5. Belajar
dengan melakukan atau memperaktekkan.[4] Hal ini dilakukan agar seorang
guru menyiapkan bahan, menciptakan situasi dan kegiatan yang beragam untuk
mendorong siswa berperan secara aktif belajar bahasa, bukannya mengetahui
teori-teori atau ilmu tentang bahasa. Pengaplikasian materi belajar dengan
metode ini mengakibatkan siswa kan terdorong untuk selalu mengikuti serta
berantusias dalam proses pembelajaran.
Dengan mengetahui dan
menerapkan kelima prinsip pengajaran bahasa diatas, diharapkan seorang guru
khusunya guru bahasa dapat membuat sistem dan proses pengajaran akan berjalan
sesuai dengan tujuan dan kehendak yang sama yakni membuat suatu proses
pengajaran yang efektif dan aktif sehingga proses pengajarn akan diterima oleh
siswa dengan baik dan mudah dipahami.
C.
Ragam
Teori Belajar Bahasa
1.
Teori
Behaviorisme
Teori
behavior berfokus pada aspek-aspek yang bisa ditangkap langsung dari perilaku
linguistik-respon yang bisa diamati secara nyata dan berbagai hubungan atau
kaitan antara respon-respon itu dan peristiwa-peristiwa di dunia sekeliling mereka.[5] Pandangan teori behavioristik telah
cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori
Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar
behavioristik.
Teori behavioristik banyak dikritik
karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab
banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan atau belajar
yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak
mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan
stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang
dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi siswa, walaupun mereka memiliki
pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa
dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama,
ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas
sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui
adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan
adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang
diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung
mengarahkan siswa untuk berpikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak
produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau
shaping, yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target tertentu, sehingga
menjadikan peserta didik untuk tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal
banyak faktor yang berpengaruh yang mempengaruhi proses belajar. Jadi teori
belajar tidak sesederhana yang dilukiskan teori behavioristik.
2.
Teori
Nativisme
Nativisme
berasal dari “nati” artinya terlahir, dan bagi nativisme lingkungan
sekitar tidak ada artinya sebab lingkungan tidak akan berdaya dalam
mempengaruhi perkembangan anak. Nativisme adalah pandangan bahwa
keterampilan-keterampilan atau kemampuan-kemampuan tertentu bersifat alamiah
atau sudah tertanam dalam otak sejak lahir. Pandangan ini berlawanan dengan
empirisme, teori tabula rasa, yang menyatakan bahwa otak hanya mempunyai
sedikit kemampuan bawaan dan hampir segala sesuatu dipelajari melalui interaksi
dengan lingkungan. Aliran ini bertolak dari Leibnitzian Tradition, atau
kemampuan dari diri anak. Sehingga faktor lingkungan tidak berpengaruh dalam
faktor pengembangan pendidikan anak.
Teori
nativisme ini dipelopori oleh Arthur Schopenhauer (1788-1860), seorang
filosof Jerman, mengemukakan bahwa
perkembangan manusia itu telah ditentukan oleh faktor-faktor yang
dibawa sejak lahir (faktor pembawaan) baik karena berasal dari keturunan orang
tuanya, nenek moyangnya maupun karena memang ditakdirkan demikian.[6]
Pembawaan
itulah yang menentukan hasil perkembangannya. Manakala pembawaannya itu baik,
baik pula anak itu kelak. Begitu pula sebaliknya, andaikata anak itu
berpembawaan buruk, buruk pula pada masa pendewasaannya.
Potensi-potensi
yang dimiliki seseorang adalah potensi hereditas (bawaan) bukan potensi
pendidikan. Pendidikan dan sama sekali tidak berpengaruh terhadap
perkembangan manusia. Teori ini juga termasuk dalam filsafat idealisme
yang mengemukakan bahwa perkembangan seorang hanya ditentukan oleh keturunan
yaitu faktor alam yang bersifat kodrati.
3.
Teori
Kognitivisme
Teori
belajar kognitif lebih menekankan bahwa belajar adalah suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Pada
dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas mental
yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif
dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan,
pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif dan
berbekas. Laughlin dalam Elizabeth berpendapat
bahwa dalam belajar bahasa seorang anak perlu proses pengendalian dalam
berinteraksi dengan lingkungan. Pendekatan kognitif dalam belajar bahasa lebih
menekankan pemahaman, proses mental atau pengaturan dalam pemerolehan, dan
memandang anak sebagai seseorang yang berperan aktif dalam proses belajar bahasa.[7] Proses
belajar bahasa didapat melalui: enaktif yaitu aktivitas untuk memahami
lingkungan; ikonik yaitu melihat dunia lewat gambar dan visualisasi
verbal; simbolik yaitu memahami gagasan-gagasan abstrak.[8]
Selanjutnya Piaget dalam Mansoer Pateda menyatakan bahawa
Proses belajar bahasa terjadi menurut pola tahapan perkembangan tertentu sesuai
umur. Tahapan tersebut meliputi:
v Asimilasi: proses penyesuaian pengetahuan baru dengan
struktur kognitif.
v Akomodasi: proses penyesuaian struktur kognitif dengan
pengetahuan baru.
v Disquilibrasi: proses penerimaan pengetahuan baru yang tidak
sama dengan yang telah diketahuinya.
v Equilibrasi: proses penyeimbang mental setelah terjadi proses
asimilasi.[9]
Belajar
kognitif ciri khasnya terletak dalam belajar memperoleh dan mempergunakan
bentuk-bentuk representatif yang mewakili obyek-obyek itu di representasikan
atau dihadirkan dalam diri seseorang melalui tanggapan, gagasan atau lambang,
yang semuanya merupakan sesuatu yang bersifat mental, misalnya seseorang
menceritakan pengalamannya selama mengadakan perjalanan keluar negeri, setelah
kembali kenegerinya sendiri. Tempat-tempat yang dikunjuginya selama berada di
lain negara tidak dapat dibawa pulang, orangnya sendiri juga tidak hadir di
tempat-tempat itu. Pada waktu itu sedang bercerita, tetapi semua
tanggapan-tanggapan, gagasan dan tanggapan itu di tuangkan dalam kata-kata yang
disampaikan kepada orang yang mendengarkan ceritanya.
4.
Teori
Konstruktivisme
Pada
dasarnya teori konstruktivisme mempunyai asumsi bahwa pengetahuan lebih
bersifat kontekstual daripada absolut, yang memungkinkan adanya penafsiran
jamak (multiple perspektives) bukan hanya satu perspektif saja. Hal ini berarti
bahwa pengetahuan dibentuk menjadi pemahaman individual melalui interaksi dengan
lingkungan dan orang lain. Perspektif konstruktivisme mempunyai pemahaman
tentang belajar yang lebih menekankan proses daripada hasil. Hasil belajar
sebagai tujuan dinilai penting, tetapi proses yang melibatkan cara dan strategi
dalam belajar juga dinilai penting. Dalam proses belajar, hasil belajar, cara
belajar dan strategi belajar akan mempengaruhi perkembangan tata pikir dan
skema berpikir seseorang. sebagai upaya memperoleh pemahaman atau pengetahuan
yang bersifat subyektif.
Daniel
dan David mengatakan bahwa konstruktivisme adalah salah satu filsafat
pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan)
kita sendiri. Pengetahuan itu dibentuk oleh struktur konsepsi seseorang sewaktu
berinteraksi dengan lingkungannya.[10] Menurut para penganut
konstruktif, pengetahuan dibina secara aktif oleh seseorang yang berfikir.
Seseorang tidak akan menyerap pengetahuan dengan pasif untuk membangun suatu
pengetahuan baru, peserta didik akan menyesuaikan informasi baru atau
pengalaman yang disampaikan guru dengan pengetahuan atau pengalaman yang telah
dimilikinya melalui berintekrasi sosial dengan peserta didik lain atau dengan
gurunya.[11]
Sedangkan
menurut Vygotsky dalam Syah, mengartikan konstruktivisme lebih menekankan bahwa
murid mengkonstruksi pengetahuan melalui interaksi sosial dengan orang lain.
Isi dari pengetahuan ini dipengaruhi oleh kultur di mana murid tinggal, yang
mencakup bahasa, keyakinan, dan keahlian/ketrampilan.[12] Kita tahu bahwa belajar
merupakan proses aktif untuk mengkonstruksi pengetahuan dan bukan proses
menerima pengetahuan. Sehinga proses belajar harus disesuaikan dengan tahap
perkembangan kognitif peserta didik.
Dalam
wawasan ini, sebenarnya siswalah yang mempunyai peranan penting dalam belajar,
sedangkan guru secara fleksibel menempatkan diri sebagaimana diperlukan oleh
siswa dalam proses memahami dunianya. Pada suatu saat guru memberi contoh, atau
model bagi siswanya, dan pada saat yang lain guru membangunkan rasa ingin tahu
dan keinginan anak untuk mempelajari sesuatu yang baru. Pada saat tertentu guru
membiarkan anak mengeksplorasi dan bereksperimen sendiri dengan lingkungannya,
guru cukup memberi semangat dan arahan saja.
BAB
IV
PEMBAHASAN
A.
Aplikasi
Teori Bahasa dalam Pengajaran
1.
Aplikasi
Teori Behaviorisme
Aliran
ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan modal hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang
yang belajar sebagai individu yang pasif. Respons atau perilaku tertentu dapat
dibentuk karena dikondisi dengan cara tertentu dengan menggunakan metode drill
atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan
reinforcemnt, dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Karena
teori behavioristik memandang bahwa sebagai sesuatu yang ada di dunia nyata
telah terstruktur rapi dan teratur, maka siswa atau orang yang belajar harus
dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan lebih dahulu secara
ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga
pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau
ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikatagorikan sebagai kesalahan
yang perlu dihukum, dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikatagorikan
sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga ketaatan
pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa atau peserta
didik adalah objek yang harus diperlakukan sesuai dengan aturan, sehingga
kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar dari siswa.
Contoh
pembelajaran dalam aplikasi dari teori behavior antara lain :
v Mengamati
dan mengkaji respons yang diberikan siswa.
v Jika
ada siswa yang bertanya guru harus bisa menjawab dan menjelaskannya hingga
siswa bener-benar mengerti, dan bila ada siswa yang kurang mengerti atau kurang
aktif guru perlu memberikan pertanyaan-pertanyaan untuk memaksa siswa aktif di
kelas.
v Memberikan
penguatan/ reinforcement (mungkin penguatan positif ataupun penguatan negatif),
ataupun hukuman yang bersifat mendidik.
v Jika
di dalam kelas atau di dalam pelajaran itu siswa ada yang kurang memperhatikan
atau mengabaikan pelajaran guru, guru bisa memberikan hukuman agar siswa jera
dan tidak berani mengulanginya lagi juga lebih memperhatikan guru saat guru
mengajar.
2.
Aplikasi
Teori Nativisme
Pada
saat manusia mengalami tahap perkembangan, baik secara fisik maupun mental
dalam proses pendidikan, muncullah pertanyaan mendasar tentang faktor yang
paling berpengaruh terhadap perkembangan itu. Apakah faktor bakat dan kemampuan
diri manusia itu sendiri, atau faktor dari luar diri manusia, ataukah
kedua-duanya itu secara bersama-sama. Dari faktor pertamalah timbul teori yang
disebut sebagai teori nativisme.
Teori
nativisme dikenal juga dengan teori naturalisme atau teori pesimisme. Teori ini
berpendapat bahwa manusia itu mengalami pertumbuhkembangan bukan karena faktor
pendidikan dan intervensi lain di luar manusia itu, melainkan ditentukan oleh
bakat dan pembawaannya. Teori ini berpendapat bahwa upaya pendidikan itu tidak
ada gunanya dan tidak ada hasilnya. Bahkan menurut teori ini pendidikan itu
justru akan merusak perkembangan anak. Pertumbuhkembangan anak tidak perlu
diintervensi dengan upaya pendidikan, agar pertumbuhkembangan anak terjadi
secara wajar, alamiah, sesuai dengan kodratnya.
Menganalisis
dari pendapat teori nativisme ini, anak yang dilahirkan dengan bawaan yang baik
akan mempunyai bakat yang baik juga begitu juga sebaliknya. Faktor bawaan
sangat dominan dalam menentukan keberhasilan belajar atau pendidikan,.
Faktor-faktor yang lainnya seperti lingkungan tidak berpengaruh sama sekali dan
hal itu juga tidak bisa diubah oleh kekuatan pendidikan. Pendidikan yang
diselenggarakan merupakan suatu usaha yang tidak berdaya menurut teori
tersebut, karena anak akan menentukan keberhasilan dengan sendirinya bukan
melalui sebuah usaha pendidikan. Walaupun dalam pendidikan tersebut diterapkan
dengan keras maupun secara lembut, anak akan tetap kembali kesifat atau bakat
dari bawaannya. Begitu juga dengan faktor lingkungan, sebab lingkungan itu
tidak akan berdaya mempengaruhi perkembangan anak.
Dalam
teori nativisme telah ditegaskan bahwa sifat-sifat yang dibawa dari lahir akan
menentukan keadaannya. Hal ini dapat diklaim bahwa unsur yang paling
mempengaruhi perkembangan anak adalah unsur genetic individu yang diturunkan
dari orang tuanya. Dalam perkembangannya tersebut anak akan berkembang dalam
cara yang terpola sebagai contoh anak akan tumbuh cepat pada masa bayi,
berkurang pada masa anak, kemudian berkembang fisiknya dengan maksimum pada
masa remaja dan seterusnya.
Melihat
dari tujuan-tujuan itu memang bersifat positif. Tetapi dalam penerapan dalam
praktek pendidikan, teori tersebut kurang mengenai atau kurang tepat tanpa
adanya pengaruh dari luar seperti pendidikan. Dalam praktek pendidikan suatu
kematangan atau keberhasilan tidak hanya dari bawaan sejak lahir. Akan tetapi
banyak faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya seperti lingkungan. Dapat
diambil contoh lagi yaitu orang tua yang tidak mampu dan kurang cerdas
melahirkan anak yang cerdas daripada orang tuanya. Hal tersebut tidak hanya
terpaut masalah gen, tetapi ada dorongan-dorongan dari luar yang mempengaruhi
anak tersebut.
Sekarang
ini yang ada dalam praktek pendidikan tidak lagi memperhatikan apakah manusia
memiliki bakat dari lahir atau tidak, melainkan kemauan atau usaha yang
dilakukan oleh manusia tersebut untuk kemajuan yang besar bagi dirinya. Memang
secara teoritis pendidikan tidaklah berpengaruh atau tidak berdaya dalam
membentuk atau mengubah sifat dan bakat yang dibawa sejak lahir. Kemudian
potensi kodrat menjadi ciri khas pribadi anak dan bukan dari hasil pendidikan.
Terlihat jelas bahwa antara teori nativisme dan pendidikan tidak mempunyai
hubungan serta tidak saling terkait antara yang satu dengan lainnya. Oleh sebab
itulah aliran atau teori nativisme ini dianggap aliran pesimistis, karena
menerima kepribadian anak sebagaimana adanya tanpa kepercayaan adanya
nilai-nilai pendidikan yang dapat ditanamkan untuk mengubah kepribadiannya.
Menurut
nativisme, pendidikan tidak dapat mengubah sifat-sifat pembawaan. Pendidikan
dan lingkungan tidak berpengaruh sama sekali dan tidak berkuasa dalam
perkembangan seorang anak. Dalam ilmu pendidikan teori nativisme ini dikenal
sebagai pandangan pesimisme pedagogis. Teori ini disebut pula dengan Biologisme,
karena mementingkan kehidupan individu saja, tanpa memperhatikan
pengaruh-pengaruh dari luar. Perkembangan individu sangat dipengaruhi oleh:
a. Faktor
genetik (keturunan)
b. Faktor
Kemampuan (bakat)
c. Faktor
Pertumbuhan
3.
Aplikasi
Teori Kognitivisme
Dalam
proses pengaplikasian teori kognitivisme ada beberapa beberapa tahapan yang
harus dilakukan oleh guru, yakni:
a. Guru
hendaknya yakin bahwa setiap siswa memiliki perhatian terhadap apa yang
dipelajari. Karena itu untuk menarik perhatian siswa, guru dapat melakukan
tindakan dengan memberikan tanda tertentu misalnya tepuk tangan atau
menghentakkan papan tulis, berkeliling ruangan atau berbicara dengan irama,
memulai pelajaran dengan mengajukan pertanyaan yang membangkitkan minat siswa
terhadap topik yang dibicarakan.
b. Membantu
siswa membedakan informasi yang penting dengan informasi yang tidak penting
untuk memusatkan perhatian misalnya dengan menuliskan tujuan pembelajaran,
waktu menjelaskan berhenti sejenak dan mengulangi lagi atau meminta siswa
mengulangi apa yang dijelaskan.
c. Membantu
siswa menghubungkan informasi yang baru dengan apa yang diketahui misalnya
dengan mengulangi hal-hal yang diketahui siswa untuk mengingat kembali dan
menghubungkan dengan informasi baru, menggunakan diagram atau garis untuk
menunnjukkan hubungan informasi baru dengan informasi yang dimiliki.
d. Sajikan
pelajaran secara tersusun dan jelas misalnya menjelaskan tujuan pembelajaran,
membuat ikhtisar atau rangkuman,
e. Utamakan
pembelajaran bermakna bukan ingatan misalnya
dengan mengajarkan perbendaharaan kata-kata baru dan mengaitkannya dengan
kata-kata yang sudah dimiliki.
Berdasarkan dari beberapa tahapan penerapan
teori kognitivisme diatas diharapakan seorang guru dapat memberikan pengajaran
bahasa yang baik kepada siswanya dengan mencapai tujuan pembelajaran dan tujuan
dari aspek kognitif itu sendiri. Tujuan aspek kognitif berorientasi pada
kemampuan berfikir yang mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana,
yaitu mengingat, sampai pada kemampuan memecahkan masalah yang menuntut siswa
untuk menghubungakan dan menggabungkan beberapa ide, gagasan, metode atau
prosedur yang dipelajari untuk memecahkan masalah tersebut.[13] Dengan demikian aspek
kognitif adalah subtaksonomi yang mengungkapkan tentang kegiatan mental yang
sering berawal dari tingkat pengetahuan sampai ke tingkat yang paling tinggi
yaitu evaluasi.
4. Aplikasi Teori Konstruktivisme
Dalam
proese pembelajar setiap peserta didik telah mempunyai prakonsep berdasarkan
pengalaman yang telah di peroleh sebelumnya. Untuk itu, guru perlu mencermati
prakonsep ini dalam menanamkan konsep-konsep baru. Apabila prakonsep ini tidak
diperhatikan, kemungkinan akan terjadi miskonsepsi atau konsep yang salah.
Apabila peserta didik mempunyai miskonsepsi yang tidak dikoreksi atau
dibiarkan, maka akan menyulitkan peserta didik untuk belajar sesuatu secara
benar.
Dalam
menerapkan teori kontruktivisme dalam belajar dapat digunakan model
pembelajaran yang melibatkan beberapa tahap, yaitu:
a. Pengenalan
b. Pembelajaran
kompetensi
c. Pemuliahan
d. Pendalaman
e. Pengayaan[14]
Tahap
pengenalan merupakan pemberian hal-hal yang konkrit dan mudah, dengan memberikan
contoh-contoh sederhana yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Pada tahap
ini, guru perlu mencermati melalui penilaian prakonsep atau kompetensi awal
yang dimiliki peserta didik untuk maju ke tahap berikutnya. Tahap pembelajaran
kompetensi merupakan tahap di mana peserta didik mulai beranjak dari mengenali
kompetensi baru ke menguasai kompetensi dasar. Hasil penilaian dari
pembelajaran kompetensi akan menunjukkan apakah peserta didik perlu diberi
tahapan pemulihan, yaitu tahap di mana peserta didik memulihkan prakonsep
menjadi suatu konsep/kompetensi secara benar.
Bila
peserta didik telah menguasai kompetensi secara benar, guru dapat menilai
sejauh mana minat, potensi, dan kebutuhan dalam penguasaan kompetensi dasar.
Apabila peserta didik cukup berminat dan kompetensi dasar telah dikuasai secara
tuntas, tahap pemulihan dapat dilewati dan maju ke tahap berikutnya yaitu tahap
pendalaman. Apabila tahap pendalaman telah dilaksanakan, tedapat otomatisasi
berpikir dan bertindak sebagai perwujudan kompetensi. Selanjutnya, dapat
diberikan tahap pengayaan agar peserta didik memperoleh variasi pengalaman
belajar. Berbagai latihan dapat digunakan untuk mendalami atau memperkaya
kompetensinya.
BAB
V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
DAFTAR
PUSTAKA
Syah,
Muhibbin. Psikologi Pendidikan: Suatu
Pendekatan Baru. Bandung: Remaja
Rosdakarya. 1996.
Budiningsih,
Asri. Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: PT Renika Cipta. 2005.
Muijs,
Daniel dan Reynolds, David. Effective Teaching Teori dan Aplikasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008.
Pateda, Mansoer. Aspek-aspek Psikolinguistik. Flores:
Nusa Indah. 1990.
Rieken, Elizabeth. Teaching Language in Context. Boston: Heinle & Heinle Publiser.
1993.
Light,
G. and Cox, R. Learning and Teaching in Higher Education. London: Paul
Chapman Publishing. 2001.
Slavin, R.E. Educational
Psychology: Theory and Practice. Sixth Edition. Boston: Allyn and Bacon.
2000.
H.Douglas
Brown. Prinsip Pembelajaran dan
Pengajaran Bahasa. Pearson Education, Inc. 2007.
Tirharahardja,
Umar dan La Sula. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. 1996.
[1] G.Light.
and Cox, R. 2001. Learning and Teaching in Higher Education. London:
Paul Chapman Publishing
[2] R.E. Slavin. 2000. Educational
Psychology: Theory and Practice. Sixth Edition. Boston: Allyn and Bacon.hlm
143
[5]
H.Douglas Brown. Prinsip Pembelajaran dan
Pengajaran Bahasa.2007. Pearson Education, Inc. hlm 28.
[6] Umar
Tirharahardja dan La Sula. 1996. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.hlm
[7] Elizabeth Rieken. Teaching
Language in Context. (Boston: Heinle & Heinle Publiser, 1993), hlm: 54.
[9]
Ibid., hlm. 67.
[10] Daniel Muijs & David Reynolds. Effective Teaching Teori dan Aplikasi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2008), hlm 96
[12] Muhibbin Syah. Psikologi Pendidikan: Suatu
Pendekatan Baru. (Bandung: Remaja Rosdakarya. 1996), hlm. 34
[13] Daniel Muijs & David Reynolds. Effective Teaching Teori dan Aplikasi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2008), hlm 96
[14] Ibid.,
hlm 99
Tidak ada komentar:
Posting Komentar