Kamis, 29 Mei 2014

Teori Belajar Bahasa dan Pengaplikasian dalam Pengajaran Bahasa


BAB I
PENDAHULUAN

Bahasa adalah aspek penting interaksi manusia. Dengan bahasa, (baik itu bahasa lisan, tulisan maupun isyarat) orang akan melakukan suatu komunikasi dan kontrak sosial. Bahasa juga dipandang sebagai cermin kepribadian seseorang karena bahasa diterjemahkan sebagai refleksi rasa, pikiran dan tingkah laku. Adakalanya seorang yang pandai dan penuh dengan ide-ide cemerlang harus terhenti hanya karena dia tidak bisa menyampaikan idenya dalam bahasa yang baik. Oleh karena itu seluruh ide, usulan, dan semua hasil karya pikiran tidak akan diketahui dan dievaluasi orang lain bila tidak dituangkannya dalam bahasa yang baik.
            Dalam hal ini sejarah telah mencatat adanya empat pandangan atau teori dalam perkembangan bahasa. Dua pandangan yang kontroversial dikemukakan oleh pakar dari Amerika, yaitu pandangan teori nativisme yang berpendapat bahwa penguasaan bahasa bersifat alamiah (nature), dan pandangan teori behaviorisme yang berpendapat bahwa penguasaan bahasa bersifat “suapan” (nurture). Pandangan selanjutnya adalah pandangan teori kognitivisme dan pandangan teori konstruktivisme
Pendapat para ahli tentang belajar bahasa tersebut bermacam-macam. Di antara pendapat mereka ada yang bertentangan namun ada juga yang saling mendukung dan melengkapi. Pemikiran para ahli tentang teori belajar bahasa ini begitu variatif dan menarik. Fungsi pandangan tentang teori- teori dalam pembelajaran adalah untuk membantu kita mengerti dan mengorganisasi data tentang pengalaman dan memberikan makna yang merujuk dan sesuai.            
Seorang pendidik seperti guru pasti sudah memiliki teori tentang pembelajaran bahasa, tetapi sebagian besar guru tersebut tidak pernah mengungkapkan seperti apa teori itu. Teori mempunyai fungsi yaitu; 1) Mendeskripsikan, menerangkan, menjelaskan tentang fakta. Contohnya fakta bahwa mengapa air laut itu asin; 2) Meramalkan kejadian-kejadian yang akan terjadi berdasarkan teori yang sudah ada; 3) Mengendalikan yaitu mencegah sesuatu supaya tidak terjadi dan mengusahakan supaya terjadi. Teori berhubungan dengan belajar. Dengan kata lain teori belajar bahasa adalah gagasan-gagasan tentang pemerolehan bahasa.
Sehubungan dengan prinsip pembelajaran bahasa, kiranya teori belajar ini dapat bermanfaat dalam pengembangan pembelajaran bahasa. Dalam makalah ini dijabarkan empat teori belajar bahasa secara jelas dan bentuk pengaplikasiannya dalam proses pembelajaran bahasa.














BAB II
POKOK BAHASAN

Adapun pokok bahasan dalam makalah ini adalah terkait tentang pengertian tentang teori-teori dalam belajaran bahasa dan proses pengaplikasian teori-teori tersebut dalam proses pengajaran bahasa. Ada empat teori yang bisa digunakan dalam proses pembelajaran bahasa, dimana keempat teori ini memiliki beberapa peran dan fungsi tersendiri dan berbeda satu dengan yang lainnya dalam proses pembelajara bahasa. Serta dibahas juga proses penerapannya atau pengaplikasian keempat teori ini dalam proses pendidikan secara baik dan tepat sehingga akan membuat dan menimbulakan proses pembelajaran bahasa yang efektif dan mudah untuk dipahami oleh peserta didik yang sedang belajar suatu bahasa. Diharapakan melalui makalah ini, akan menambah pengetahuan pada kita semua khususnya kami penulis, tentang teori-teori dalam proses belajar bahasa dan juga pengaplikasiannya dalam proses pembelajaran bahasa.









BAB III
KAJIAN TEORI

A.   Hakikat Belajar Bahasa
Bahasa bersifat sangat komplek untuk itu perlu ketegasan tentang konsep kebahasaan. Hal ini sangat diperlukan dengan adanya peluang semakin terbukanya hubungan antarbangsa yang mengakibatkan kebutuhan penguasaan bahasa (B2) atau pun bahasa asing (BA) semakin meningkat. Penguasaan lebih dari satu bahasa akan memudahkan seseorang untuk memasuki kompetisi pemasaran global.
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang siswa dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek.[1]
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon.[2] Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut.
Belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukan perubahan tingkah lakunya. Misalnya siswa yang belum bisa menulis. Walaupun ia sudah belajar dengan tertib dan usaha yang maksimal, namun jika anak tersebut belum bisa mempraktekkan membaca dengan benar, maka ia belum dianggap belajar. Karena ia belum dapat menunjukkan suatu perubahan perilaku sebagai hasil belajar.

B.   Hakikat Pengajaran Bahasa
Keberhasilan peserta didik atau siswa dalam proses pembelajaran bahasa tidak hanya ditentukan oleh diri siswa itu sendiri tetapi juga harus didukung oleh tenaga pengajar yang memfasilitasi penyampaian ilmu bahasa itu sendiri. Gilstrap dan Martin menyatakan bahwa peran pengajar lebih erat kaitannya dengan keberhasilan pembelajar, terutama berkenaan dengan kemampuan pengajar dalam menetapkan strategi pembelajaran.[3] Artinya bahawa seorang pengajar atau guru bahasa khususnya harus memiiki metode pengajaran yang tepat dan dapat merangsang atau memberi stimulus kepada siswanya untuk dapat aktif dan berpartisipasi secara bersama-sama dalam proses pembelajaran.
Ada lima prinsip pengajaran bahasa yang harus diketahui dan dipahami seorang pengajar atau guru dalam proses pembelajarn yang meliputi:
1.    Mengetahui apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan minat belajar bahasa. Seorang guru harus menyelami dan mengetahui karakter setiap siswa dalam satu kelas agar guru dapat mencari metode dan cara belajar yang tepat sesuai dengan apa yang diinginkan siswa.
2.    Keterpaduan keterampilan berbahasa yang disajikan secara terpadu seperti dalam kehidupan nyata. Keterampilan ini seperti pemberian materi pelejaran yang pemberian contohnya disesuaikan dengan apa yang sedang berkembang dan menjadi sorotan anak didik.  Keterpaduan ini selain menarik juga membuat siswa tidak bosan dalam mengikuti proses pembelajaran.
3.    Belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi. Komunikasi yang dibangun dan diterapkan oleh guru kepada anak didik hendaknya dimulai dari apa yang siswa atau anak didik minati. Dari itu pendidik dapat bertukar pikiran dengan baik dan selanjutnya komunikasi yang terjalin ini dapat mempermudah guru mengetahui kesukaran/kesulitan siswa dalam belajar.
4.    Pentingnya kebermaknaan dalam pengajaran. Kebermaknaan berdasarkan konteks, baik konteks kebahasaan maupun konteks situasi. Kegiatan pembelajaran akan lebih bermakna bagi siswa jika hal itu berhubungan dengan kebutuhan, pengalaman, minat, tata nilai, dan masa depannya.Dalam penerapan prinsip ini, guru dituntut memiliki kemampuan berbahasa yang memadai dan memiliki berbagai keterampilan menyajikan bahan secara komunikatif
5.    Belajar dengan melakukan atau memperaktekkan.[4] Hal ini dilakukan agar seorang guru menyiapkan bahan, menciptakan situasi dan kegiatan yang beragam untuk mendorong siswa berperan secara aktif belajar bahasa, bukannya mengetahui teori-teori atau ilmu tentang bahasa. Pengaplikasian materi belajar dengan metode ini mengakibatkan siswa kan terdorong untuk selalu mengikuti serta berantusias dalam proses pembelajaran.
Dengan mengetahui dan menerapkan kelima prinsip pengajaran bahasa diatas, diharapkan seorang guru khusunya guru bahasa dapat membuat sistem dan proses pengajaran akan berjalan sesuai dengan tujuan dan kehendak yang sama yakni membuat suatu proses pengajaran yang efektif dan aktif sehingga proses pengajarn akan diterima oleh siswa dengan baik dan mudah dipahami.

C.   Ragam Teori Belajar Bahasa

1.    Teori Behaviorisme
Teori behavior berfokus pada aspek-aspek yang bisa ditangkap langsung dari perilaku linguistik-respon yang bisa diamati secara nyata dan berbagai hubungan atau kaitan antara respon-respon itu dan peristiwa-peristiwa di dunia sekeliling mereka.[5] Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi siswa, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuk berpikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik untuk tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang berpengaruh yang mempengaruhi proses belajar. Jadi teori belajar tidak sesederhana yang dilukiskan teori behavioristik.

2.    Teori Nativisme
Nativisme berasal dari “nati” artinya terlahir, dan bagi nativisme lingkungan sekitar tidak ada artinya sebab lingkungan tidak akan berdaya dalam mempengaruhi perkembangan anak. Nativisme adalah pandangan bahwa keterampilan-keterampilan atau kemampuan-kemampuan tertentu bersifat alamiah atau sudah tertanam dalam otak sejak lahir. Pandangan ini berlawanan dengan empirisme, teori tabula rasa, yang menyatakan bahwa otak hanya mempunyai sedikit kemampuan bawaan dan hampir segala sesuatu dipelajari melalui interaksi dengan lingkungan. Aliran ini bertolak dari Leibnitzian Tradition, atau kemampuan dari diri anak. Sehingga faktor lingkungan tidak berpengaruh dalam faktor pengembangan pendidikan anak.
Teori nativisme ini dipelopori oleh  Arthur Schopenhauer (1788-1860), seorang filosof Jerman,  mengemukakan bahwa perkembangan manusia itu  telah ditentukan  oleh faktor-faktor yang dibawa sejak lahir (faktor pembawaan) baik karena berasal dari keturunan orang tuanya, nenek moyangnya maupun karena memang ditakdirkan demikian.[6]
Pembawaan itulah yang menentukan hasil perkembangannya. Manakala pembawaannya itu baik, baik pula anak itu kelak. Begitu pula sebaliknya, andaikata anak itu berpembawaan buruk, buruk pula pada masa pendewasaannya.
Potensi-potensi yang dimiliki seseorang adalah potensi hereditas (bawaan) bukan potensi pendidikan. Pendidikan dan sama sekali tidak berpengaruh terhadap perkembangan  manusia. Teori ini juga termasuk dalam filsafat idealisme yang mengemukakan bahwa perkembangan seorang hanya ditentukan oleh keturunan yaitu faktor alam yang bersifat kodrati.

3.    Teori Kognitivisme
Teori belajar kognitif lebih menekankan bahwa belajar adalah suatu proses  yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif dan berbekas. Laughlin dalam Elizabeth berpendapat bahwa dalam belajar bahasa seorang anak perlu proses pengendalian dalam berinteraksi dengan lingkungan. Pendekatan kognitif dalam belajar bahasa lebih menekankan pemahaman, proses mental atau pengaturan dalam pemerolehan, dan memandang anak sebagai seseorang yang berperan aktif dalam proses belajar bahasa.[7] Proses belajar bahasa didapat melalui: enaktif yaitu aktivitas untuk memahami lingkungan; ikonik yaitu melihat dunia lewat gambar dan visualisasi verbal; simbolik yaitu memahami gagasan-gagasan abstrak.[8]
Selanjutnya Piaget dalam Mansoer Pateda menyatakan bahawa Proses belajar bahasa terjadi menurut pola tahapan perkembangan tertentu sesuai umur. Tahapan tersebut meliputi:
v  Asimilasi: proses penyesuaian pengetahuan baru dengan struktur kognitif.
v  Akomodasi: proses penyesuaian struktur kognitif dengan pengetahuan baru.
v  Disquilibrasi: proses penerimaan pengetahuan baru yang tidak sama dengan yang telah diketahuinya.
v  Equilibrasi: proses penyeimbang mental setelah terjadi proses asimilasi.[9]
Belajar kognitif ciri khasnya terletak dalam belajar memperoleh dan mempergunakan bentuk-bentuk representatif yang mewakili obyek-obyek itu di representasikan atau dihadirkan dalam diri seseorang melalui tanggapan, gagasan atau lambang, yang semuanya merupakan sesuatu yang bersifat mental, misalnya seseorang menceritakan pengalamannya selama mengadakan perjalanan keluar negeri, setelah kembali kenegerinya sendiri. Tempat-tempat yang dikunjuginya selama berada di lain negara tidak dapat dibawa pulang, orangnya sendiri juga tidak hadir di tempat-tempat itu. Pada waktu itu sedang bercerita, tetapi semua tanggapan-tanggapan, gagasan dan tanggapan itu di tuangkan dalam kata-kata yang disampaikan kepada orang yang mendengarkan ceritanya.

4.    Teori Konstruktivisme
Pada dasarnya teori konstruktivisme mempunyai asumsi bahwa pengetahuan lebih bersifat kontekstual daripada absolut, yang memungkinkan adanya penafsiran jamak (multiple perspektives) bukan hanya satu perspektif saja. Hal ini berarti bahwa pengetahuan dibentuk menjadi pemahaman individual melalui interaksi dengan lingkungan dan orang lain. Perspektif konstruktivisme mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih menekankan proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan dinilai penting, tetapi proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar juga dinilai penting. Dalam proses belajar, hasil belajar, cara belajar dan strategi belajar akan mempengaruhi perkembangan tata pikir dan skema berpikir seseorang. sebagai upaya memperoleh pemahaman atau pengetahuan yang bersifat subyektif.
Daniel dan David mengatakan bahwa konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Pengetahuan itu dibentuk oleh struktur konsepsi seseorang sewaktu berinteraksi dengan lingkungannya.[10] Menurut para penganut konstruktif, pengetahuan dibina secara aktif oleh seseorang yang berfikir. Seseorang tidak akan menyerap pengetahuan dengan pasif untuk membangun suatu pengetahuan baru, peserta didik akan menyesuaikan informasi baru atau pengalaman yang disampaikan guru dengan pengetahuan atau pengalaman yang telah dimilikinya melalui berintekrasi sosial dengan peserta didik lain atau dengan gurunya.[11]
Sedangkan menurut Vygotsky dalam Syah, mengartikan konstruktivisme lebih menekankan bahwa murid mengkonstruksi pengetahuan melalui interaksi sosial dengan orang lain. Isi dari pengetahuan ini dipengaruhi oleh kultur di mana murid tinggal, yang mencakup bahasa, keyakinan, dan keahlian/ketrampilan.[12] Kita tahu bahwa belajar merupakan proses aktif untuk mengkonstruksi pengetahuan dan bukan proses menerima pengetahuan. Sehinga proses belajar harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik.
Dalam wawasan ini, sebenarnya siswalah yang mempunyai peranan penting dalam belajar, sedangkan guru secara fleksibel menempatkan diri sebagaimana diperlukan oleh siswa dalam proses memahami dunianya. Pada suatu saat guru memberi contoh, atau model bagi siswanya, dan pada saat yang lain guru membangunkan rasa ingin tahu dan keinginan anak untuk mempelajari sesuatu yang baru. Pada saat tertentu guru membiarkan anak mengeksplorasi dan bereksperimen sendiri dengan lingkungannya, guru cukup memberi semangat dan arahan saja.
BAB IV
PEMBAHASAN

A.   Aplikasi Teori Bahasa dalam Pengajaran
1.    Aplikasi Teori Behaviorisme
Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan modal hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respons atau perilaku tertentu dapat dibentuk karena dikondisi dengan cara tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcemnt, dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Karena teori behavioristik memandang bahwa sebagai sesuatu yang ada di dunia nyata telah terstruktur rapi dan teratur, maka siswa atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan lebih dahulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikatagorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum, dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikatagorikan sebagai bentuk  perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa atau peserta didik adalah objek yang harus diperlakukan sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar dari siswa.
Contoh pembelajaran dalam aplikasi dari teori behavior antara lain :
v  Mengamati dan mengkaji respons yang diberikan siswa.
v  Jika ada siswa yang bertanya guru harus bisa menjawab dan menjelaskannya hingga siswa bener-benar mengerti, dan bila ada siswa yang kurang mengerti atau kurang aktif guru perlu memberikan pertanyaan-pertanyaan untuk memaksa siswa aktif di kelas.
v  Memberikan penguatan/ reinforcement (mungkin penguatan positif ataupun penguatan negatif), ataupun hukuman yang bersifat mendidik.
v  Jika di dalam kelas atau di dalam pelajaran itu siswa ada yang kurang memperhatikan atau mengabaikan pelajaran guru, guru bisa memberikan hukuman agar siswa jera dan tidak berani mengulanginya lagi juga lebih memperhatikan guru saat guru mengajar.

2.    Aplikasi Teori Nativisme
Pada saat manusia mengalami tahap perkembangan, baik secara fisik maupun mental dalam proses pendidikan, muncullah pertanyaan mendasar tentang faktor yang paling berpengaruh terhadap perkembangan itu. Apakah faktor bakat dan kemampuan diri manusia itu sendiri, atau faktor dari luar diri manusia, ataukah kedua-duanya itu secara bersama-sama. Dari faktor pertamalah timbul teori yang disebut sebagai teori nativisme.
Teori nativisme dikenal juga dengan teori naturalisme atau teori pesimisme. Teori ini berpendapat bahwa manusia itu mengalami pertumbuhkembangan bukan karena faktor pendidikan dan intervensi lain di luar manusia itu, melainkan ditentukan oleh bakat dan pembawaannya. Teori ini berpendapat bahwa upaya pendidikan itu tidak ada gunanya dan tidak ada hasilnya. Bahkan menurut teori ini pendidikan itu justru akan merusak perkembangan anak. Pertumbuhkembangan anak tidak perlu diintervensi dengan upaya pendidikan, agar pertumbuhkembangan anak terjadi secara wajar, alamiah, sesuai dengan kodratnya.
Menganalisis dari pendapat teori nativisme ini, anak yang dilahirkan dengan bawaan yang baik akan mempunyai bakat yang baik juga begitu juga sebaliknya. Faktor bawaan sangat dominan dalam menentukan keberhasilan belajar atau pendidikan,. Faktor-faktor yang lainnya seperti lingkungan tidak berpengaruh sama sekali dan hal itu juga tidak bisa diubah oleh kekuatan pendidikan. Pendidikan yang diselenggarakan merupakan suatu usaha yang tidak berdaya menurut teori tersebut, karena anak akan menentukan keberhasilan dengan sendirinya bukan melalui sebuah usaha pendidikan. Walaupun dalam pendidikan tersebut diterapkan dengan keras maupun secara lembut, anak akan tetap kembali kesifat atau bakat dari bawaannya. Begitu juga dengan faktor lingkungan, sebab lingkungan itu tidak akan berdaya mempengaruhi perkembangan anak.
Dalam teori nativisme telah ditegaskan bahwa sifat-sifat yang dibawa dari lahir akan menentukan keadaannya. Hal ini dapat diklaim bahwa unsur yang paling mempengaruhi perkembangan anak adalah unsur genetic individu yang diturunkan dari orang tuanya. Dalam perkembangannya tersebut anak akan berkembang dalam cara yang terpola sebagai contoh anak akan tumbuh cepat pada masa bayi, berkurang pada masa anak, kemudian berkembang fisiknya dengan maksimum pada masa remaja dan seterusnya.
Melihat dari tujuan-tujuan itu memang bersifat positif. Tetapi dalam penerapan dalam praktek pendidikan, teori tersebut kurang mengenai atau kurang tepat tanpa adanya pengaruh dari luar seperti pendidikan. Dalam praktek pendidikan suatu kematangan atau keberhasilan tidak hanya dari bawaan sejak lahir. Akan tetapi banyak faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya seperti lingkungan. Dapat diambil contoh lagi yaitu orang tua yang tidak mampu dan kurang cerdas melahirkan anak yang cerdas daripada orang tuanya. Hal tersebut tidak hanya terpaut masalah gen, tetapi ada dorongan-dorongan dari luar yang mempengaruhi anak tersebut.
Sekarang ini yang ada dalam praktek pendidikan tidak lagi memperhatikan apakah manusia memiliki bakat dari lahir atau tidak, melainkan kemauan atau usaha yang dilakukan oleh manusia tersebut untuk kemajuan yang besar bagi dirinya. Memang secara teoritis pendidikan tidaklah berpengaruh atau tidak berdaya dalam membentuk atau mengubah sifat dan bakat yang dibawa sejak lahir. Kemudian potensi kodrat menjadi ciri khas pribadi anak dan bukan dari hasil pendidikan. Terlihat jelas bahwa antara teori nativisme dan pendidikan tidak mempunyai hubungan serta tidak saling terkait antara yang satu dengan lainnya. Oleh sebab itulah aliran atau teori nativisme ini dianggap aliran pesimistis, karena menerima kepribadian anak sebagaimana adanya tanpa kepercayaan adanya nilai-nilai pendidikan yang dapat ditanamkan untuk mengubah kepribadiannya.
Menurut nativisme, pendidikan tidak dapat mengubah sifat-sifat pembawaan. Pendidikan dan lingkungan tidak berpengaruh sama sekali dan tidak berkuasa dalam perkembangan seorang anak. Dalam ilmu pendidikan teori nativisme ini dikenal sebagai pandangan pesimisme pedagogis. Teori ini disebut pula dengan Biologisme, karena mementingkan kehidupan individu saja, tanpa memperhatikan pengaruh-pengaruh dari luar. Perkembangan individu sangat dipengaruhi oleh:
a.    Faktor genetik (keturunan)
b.    Faktor Kemampuan (bakat)
c.    Faktor Pertumbuhan

3.    Aplikasi Teori Kognitivisme
Dalam proses pengaplikasian teori kognitivisme ada beberapa beberapa tahapan yang harus dilakukan oleh guru, yakni:
a.     Guru hendaknya yakin bahwa setiap siswa memiliki perhatian terhadap apa yang dipelajari. Karena itu untuk menarik perhatian siswa, guru dapat melakukan tindakan dengan memberikan tanda tertentu misalnya tepuk tangan atau menghentakkan papan tulis, berkeliling ruangan atau berbicara dengan irama, memulai pelajaran dengan mengajukan pertanyaan yang membangkitkan minat siswa terhadap topik yang dibicarakan.
b.     Membantu siswa membedakan informasi yang penting dengan informasi yang tidak penting untuk memusatkan perhatian misalnya dengan menuliskan tujuan pembelajaran, waktu menjelaskan berhenti sejenak dan mengulangi lagi atau meminta siswa mengulangi apa yang dijelaskan.
c.      Membantu siswa menghubungkan informasi yang baru dengan apa yang diketahui misalnya dengan mengulangi hal-hal yang diketahui siswa untuk mengingat kembali dan menghubungkan dengan informasi baru, menggunakan diagram atau garis untuk menunnjukkan hubungan informasi baru dengan informasi yang dimiliki.
d.     Sajikan pelajaran secara tersusun dan jelas misalnya menjelaskan tujuan pembelajaran, membuat ikhtisar atau rangkuman,
e.     Utamakan pembelajaran bermakna bukan ingatan  misalnya dengan mengajarkan perbendaharaan kata-kata baru dan mengaitkannya dengan kata-kata yang sudah dimiliki.
Berdasarkan dari beberapa tahapan penerapan teori kognitivisme diatas diharapakan seorang guru dapat memberikan pengajaran bahasa yang baik kepada siswanya dengan mencapai tujuan pembelajaran dan tujuan dari aspek kognitif itu sendiri. Tujuan aspek kognitif berorientasi pada kemampuan berfikir yang mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana, yaitu mengingat, sampai pada kemampuan memecahkan masalah yang menuntut siswa untuk menghubungakan dan menggabungkan beberapa ide, gagasan, metode atau prosedur yang dipelajari untuk memecahkan masalah tersebut.[13] Dengan demikian aspek kognitif adalah subtaksonomi yang mengungkapkan tentang kegiatan mental yang sering berawal dari tingkat pengetahuan sampai ke tingkat yang paling tinggi yaitu evaluasi.

4.    Aplikasi Teori Konstruktivisme
Dalam proese pembelajar setiap peserta didik telah mempunyai prakonsep berdasarkan pengalaman yang telah di peroleh sebelumnya. Untuk itu, guru perlu mencermati prakonsep ini dalam menanamkan konsep-konsep baru. Apabila prakonsep ini tidak diperhatikan, kemungkinan akan terjadi miskonsepsi atau konsep yang salah. Apabila peserta didik mempunyai miskonsepsi yang tidak dikoreksi atau dibiarkan, maka akan menyulitkan peserta didik untuk belajar sesuatu secara benar.
Dalam menerapkan teori kontruktivisme dalam belajar dapat digunakan model pembelajaran yang melibatkan beberapa tahap, yaitu:
a.    Pengenalan
b.    Pembelajaran kompetensi
c.    Pemuliahan
d.    Pendalaman
e.    Pengayaan[14]
Tahap pengenalan merupakan pemberian hal-hal yang konkrit dan mudah, dengan memberikan contoh-contoh sederhana yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Pada tahap ini, guru perlu mencermati melalui penilaian prakonsep atau kompetensi awal yang dimiliki peserta didik untuk maju ke tahap berikutnya. Tahap pembelajaran kompetensi merupakan tahap di mana peserta didik mulai beranjak dari mengenali kompetensi baru ke menguasai kompetensi dasar. Hasil penilaian dari pembelajaran kompetensi akan menunjukkan apakah peserta didik perlu diberi tahapan pemulihan, yaitu tahap di mana peserta didik memulihkan prakonsep menjadi suatu konsep/kompetensi secara benar.
Bila peserta didik telah menguasai kompetensi secara benar, guru dapat menilai sejauh mana minat, potensi, dan kebutuhan dalam penguasaan kompetensi dasar. Apabila peserta didik cukup berminat dan kompetensi dasar telah dikuasai secara tuntas, tahap pemulihan dapat dilewati dan maju ke tahap berikutnya yaitu tahap pendalaman. Apabila tahap pendalaman telah dilaksanakan, tedapat otomatisasi berpikir dan bertindak sebagai perwujudan kompetensi. Selanjutnya, dapat diberikan tahap pengayaan agar peserta didik memperoleh variasi pengalaman belajar. Berbagai latihan dapat digunakan untuk mendalami atau memperkaya kompetensinya.








BAB V
PENUTUP

A.   Kesimpulan



















DAFTAR PUSTAKA

Syah, Muhibbin.  Psikologi Pendidikan: Suatu Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya. 1996.
Budiningsih, Asri. Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: PT Renika Cipta. 2005.
Muijs, Daniel dan Reynolds, David. Effective Teaching Teori dan Aplikasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008.
Pateda, Mansoer. Aspek-aspek Psikolinguistik. Flores: Nusa Indah. 1990.

Rieken, Elizabeth. Teaching Language in Context. Boston: Heinle & Heinle Publiser. 1993.

Light, G. and Cox, R. Learning and Teaching in Higher Education. London: Paul Chapman Publishing. 2001.
Slavin, R.E. Educational Psychology: Theory and Practice. Sixth Edition. Boston: Allyn and Bacon. 2000.
H.Douglas Brown. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. Pearson Education, Inc. 2007.
Tirharahardja, Umar dan La Sula. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. 1996.





[1] G.Light. and Cox, R. 2001. Learning and Teaching in Higher Education. London: Paul Chapman Publishing
[2] R.E. Slavin. 2000. Educational Psychology: Theory and Practice. Sixth Edition. Boston: Allyn and Bacon.hlm 143
[3] Asri Budiningsih. Belajar dan Pembelajaran. (Jakarta: PT Rineka Cipta. 2005), hlm. 50
[4] Ibid., hlm. 54
[5] H.Douglas Brown. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa.2007. Pearson Education, Inc. hlm 28.
[6] Umar Tirharahardja dan La Sula. 1996. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.hlm
[7]  Elizabeth Rieken. Teaching Language in Context. (Boston: Heinle & Heinle Publiser, 1993), hlm: 54.
[8]  Mansoer Pateda. Aspek-aspek Psikolinguisti., (Flores: Nusa Indah, 1990), hlm. 49.

[9]  Ibid., hlm. 67.
[10] Daniel Muijs & David Reynolds. Effective Teaching Teori dan Aplikasi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008), hlm 96
[11] Asri Budiningsih. Belajar dan Pembelajaran. (Jakarta: PT Rineka Cipta. 2005), hlm. 50
[12] Muhibbin Syah.  Psikologi Pendidikan: Suatu Pendekatan Baru. (Bandung: Remaja Rosdakarya. 1996), hlm. 34
[13] Daniel Muijs & David Reynolds. Effective Teaching Teori dan Aplikasi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008), hlm 96
[14] Ibid., hlm 99

Tidak ada komentar:

Posting Komentar