Minggu, 07 Agustus 2016

EVALUASI DALAM PEMBELAJARAN BAHASA

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah       

Salah satu bagian program penyelenggaraan pembelajaran bahasa yang paling paling setelah pelaksanaannya adalah evaluasi. Evaluasi  merupakan bagian yang tak terpisahkan dari penyelenggaraan pembelajaran secara keseluruhan. Evaluasi sebagai suatu pembelajaran, pembelajaran bahasa diselenggarakan untuk mencapai sejumlah tujuan pembelajaran yang telah diidentifikasi dan dirumuskan berdasarkan telaah mendalam terhadap kebutuhan yang perlu dipenuhi.[1] Tujuan-tujuan pembelajaran itu diupayakan pencapaiannya melalui serangkaian kegiatan pembelajaran yang dirancang secara matang dan saksama dan dilaksanakan secara sungguh-sungguh agar tujuan-tujuan pembelajaran dapat dicapai secara semestinya. Pada hakikatnya kedudukan evaluasi dalam desain pembelajaran adalah ”sebagai bagian akhir dari rangkaian tiga komponen pokok penyelenggaraan pembelajaran, yaitu tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan evaluasi hasil kegiatan pembelajaran.”[2] Implikasi dari diterapkannya standar kompetensi dalam pembelajaran adalah proses penilaian yang dilakukan oleh guru harus menggunakan acuan kriteria, baik pada penilaian yang bersifat formatif maupun sumatif. Hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan standar kompetensi dalam penilaian seperti mengembangkan penilaian otentik berkelanjutan (continuous authentic assessment) yang menjamin pencapaian dan penguasaan kompetensi.
Salah satu contoh fokus pelaksanaan evaluasi di Sekolah-sekolah            Victorians oleh Russell Cross dan Margaret Gearon dari Universitas     Melbourne Australia, terletak pada:
•  How can schools and teachers be better prepared to use the CLIL             approach to support Languages education in Victorian schools?
•  What factors support or inhibit the implementation of Languages    education using a CLIL approach in Victorian schools?
•  Does the CLIL approach to languages learning improve student    engagement and motivation in learning a language amongst Victorian   students?[3]
Berdasarkan contoh di atas maka fokus utama evaluasi pada pembelajaran bahasa. “Pembelajaran Bahasa” lebih menekankan pada kegiatan belajar peserta didik (child-centered) secara sungguh-sungguh yang melibatkan aspek intelektual, emosional, dan sosial, sedangkan kata “pengajaran” lebih cenderung pada kegiatan mengajar guru (teacher-centered) di kelas. Dengan demikian, kata “pembelajaran bahasa” ruang lingkupnya lebih luas daripada kata “pengajaran”. Dalam arti luas, pembelajaran merupakan suatu proses atau kegiatan yang sistematis dan sistemik, yang bersifat interaktif dan komunikatif antara pendidik (guru) dengan peserta didik (siswa), sumber belajar, dan lingkungan untuk menciptakan suatu kondisi yang memungkinkan terjadinya tindakan belajar peserta didik, baik di kelas maupun di luar kelas yang dihadiri oleh guru atau tidak dengan untuk menguasai kompetensi seperti menyimak, membaca, berbicara dan menulis.
Sebagaimana telah dikemukakan diatas, bahwa dalam prosedur pembelajaran, pembelajaran diperlukan salah satu komponen pembelajaran yaitu evaluasi. Evaluasi juga merupakan salah satu langkah yang harus ditempuh guru untuk melihat umpan balik feedback. Dengan demikian, di lihat dari berbagai konteks pembelajaran, evaluasi mempunyai kedudukan yang sangat penting dan strategis karena evaluasi merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dari pembelajaran itu sendiri. Evaluasi pembelajaran bahasa menekankan pada evalusi pengelolaan pembelajaran bahasa yang dilaksanakan oleh pembelajar meliputi keefektifan strategi pembelajaran yang dilaksanakan, keefektifan media pembelajaran bahasa, cara mengajar yang dilaksanakan dan minat, serta sikap dan cara belajar siswa.



B.   Pembatasan Masalah

Dalam makalah ini akan dibahas beberapa hal, seperti:
1.     Pengertian Evaluasi Pengajaran Bahasa
2.     Fungsi dan Tujuan Evaluasi Pengajaran Bahasa
3.     Objek Evaluasi Pengajaran Bahasa
4.     Instrumen Tes untuk Evaluasi Pengajaran Bahasa
5.     Penelitian yang Relevan mengenai Evaluasi Pengajaran Bahasa.

 C. Manfaat Penulisan

            Secara umum makalah ini dapat bermanfaat untuk para pemerhati pendidikan seperti, dosen, mahasiswa, guru, instruktur dan peneliti di bidang pendidikan. Sedangkan secara khusus, makalah ini diperuntukkan untuk mahasiswa S3 pendidikan bahasa agar mendapatkan pemahaman yang mendalam untuk melihat manfaat evaluasi dalam pembelajaran bahasa, sehingga kelak  dapat seorang ahli bahasa yang dapat mengevaluasi setiap programnya agar semakin lebih baik.




BAB II

PEMBAHASAN

A. Evaluasi dalam Pengajaran Bahasa
a) Pengertian Evaluasi
Istilah evaluasi merupakan suatu istilah yang dalam bahasa Inggrisnya dikenal dengan kata evaluation yang berarti penilaian. Hamalik mengemukakan bahwa evaluasi merupakan suatu proses yang berkelanjutan tentang pengumpulan dan penafsiran informasi untuk menilai keputusan-keputusan yang dibuat dalam rancang suatu sistem pengajaran.[4] Selanjutnya, Wahyuni dan Ibrahim mengatakan bahwa evaluasi adalah kegiatan identifikasi untuk melihat apakah suatu program yang telah direncanakan telah tercapai atau belum, berharga atau tidak, dan dapat pula untuk melihat tingkat efisiensi pelaksanaannya[5]. Kemudian, menurut Richards dan Renandaya “Evaluation must take place at all stages of curriculum planning and implementation, and involve all participants.[6]
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa evaluasi adalah suatu proses yang dilakukan oleh seseorang secara terus menerus untuk menetapkan suatu keputusan terhadap pencapaian suatu kegiatan atau program. Dikatakan evaluasi merupakan suatu proses karena evaluasi tentunya dilakukan berdasarkan suatu kriteria tertentu. Selain itu, evaluasi juga dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan pemberian nilai terhadap kualitas tertentu. Dengan demikian, evaluasi merupakan penetapan suatu keputusan hasil pengukuran dengan cara membandingkan angka hasil pengukuran tersebut dengan criteria tertentu.[7]
Berdasarkan batasan Depdiknas (dalam Jihad dan Haris) evaluasi merupakan kegiatan yang dilakukan guru untuk memperoleh informasi secara objektif, berkelanjutan dan menyeluruh tentang proses dan hasil belajar siswa, yang hasilnya digunakan sebagai dasar untuk menentukan perlakuan selanjutnya.[8] Sementara itu, Grondlund (dalam Jihad dan Haris) mengatakan penilaian sebagai proses sistematik pengumpulan, penganalisaan dan penafsiran informasi untuk menentukan sejauh mana siswa mencapai tujuan. Oleh karena itu, untuk melakukan penilaian tentu saja harus melakukan suatu pengukuran. Sebagaimana yang dikatakan oleh Arikunto, untuk dapat melaksanakan penilaian perlu melakukan pengukuran terlebih dahulu, sedangkan pengkuran tidak akan mempunyai makna yang berarti tanpa dilakukan penilaian.[9]
Pengukuran dapat diartikan sebagai pemberian angka kepada suatu atribut atau karakteristik tertentu yang didasarkan pada aturan atau formulasi yang tepat.[10]  Dengan demikian, inti dari penilaian adalah proses memberikan atau menentukan makna terhadap hasil belajar tertentu berdasarkan hasil belajar yang diperoleh melalui pengukkuran. Proses pemberian nilai tersebut berlangsung dalam bentuk interpretasi yang berakhir dengan judgement. Judgement merupakan tema penilaian yang mengapllikasikan adanya suatu perbandingan antara kriteria dan kenyataan dalam konteks situasi tertentu. Atas dasar itu, maka dalam penilaian selalu ada objek/program, ada kriteria, dan ada judgement.[11]

b) Pengertian Evaluasi dalam Pengajaran Bahasa
            Pengajaran merupakan serangkaian kegiatan yang terpadu antara pelatihan, penugasan, penyediaan kondisi dengan komponen kurikulum, bahan ajar, media, metode, lingkungan, guru, dan siswa untuk mencapai tujuan tertentu.[12]
            Pengajaran bahasa dapat dibatasi sebagai suatu proses atau cara mengajarkan bahasa kepada siswa. dalam pelaksanaannya, pengajaran bahasa ditandai oleh serangkaian kegiatan yang sistematis dan berkesinambungan dengan melibatkan sejumlah komponen pendukung. Dalam pengajaran bahasa, siswa tentunya ditempatkan sebagai subjek kegiatan, sedangkan bahasa ditempatkan sebagai objek untuk diajarkan kepada siswa. Evaluasi formatif dalam proses pembelajaran bahasa dan evaluasi sumatif di akhir pembelajaran merupakaan hal yang penting dan saling melengkapi dalam pembelajaran bahasa. Hal ini dipertegas oleh Richards “in the integrated approach, both formative evaluation during the planning and implementation of the curriculum, and summative evaluation at the end of the program, are important and complementary.[13]
            Dalam pengajaran bahasa, evaluasi juga merupakan bagian yang terpenting. Betapa tidak, sebagai suatu pengajaran, pengajaran bahasa diselenggarakan untuk mencapai sejumlah tujuan pengajaran yang telah diidentifikasikan dan dirumuskan berdasarkan telaah mendalam terhadap kebutuhan yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, untuk mengetahui pencapaian hasil belajar tersebut dilakukan suatu penilaian atau evaluasi. Penggunaan evaluasi dalam pengajaran bahasa dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa pendekatan.[14]
1.    Pendekatan Diskret
Pendekatan diskret bersumber pada pendekatan struktural dalam kajian kebahasaan. Dalam pendekatan struktural, bahasa dianggap sebagai sesuatu yang memiliki struktur yang tertata rapi, dan terrdiri dari komponen-komponen bahasa, yaitu komponen bunyi bahasa, kosa kata, dan tata bahasa. Komponen-komponen itu tersusun secara berjenjang menurut struktur tertentu. Dalam struktur itu, bagian-bagian kecil bersama-sama membentuk bagian-bagian yang lebih besar lagi, dan demikian selanjutnya, sampai terbentuknya bahasa sebagai struktur terbesar.
Dalam tes bahasa, pendekatan diskret dimaksudkan untuk mengukur tingkat penguasaan terhadap satu jenis kemampuan berbahasa atau komponen bahasa. Dalam pengertian itu, suatu bentuk tes bahasa hanya dapat merupakan salah satu dari tes mendengarkan, tes berbicara, tes membaca, tes menulis, tes bunyi bahasa, tes kata-kata, dan tes tata bahasa. Dengan demikian, kemampuan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis harus diteskan secara terpisah. Kemampuan reseptif dan produktif harus dites dalam tes yang berbeda.
2.    Pendekatan integratif
Jika dalam pendekatan diskret, aspek-aspek bahasa dan keterampilan berbahasa dapat dilakukan secara terpisah, maka dalam tes integrative aspek dan keterampilan berbahasa itu dicakup secara keseluruhan secara bersamaan. Jika dalam tes diskret, pada satu waktu hanya mengevaluasi satu aspek kebahasaan saja, pendekatan integratif berusaha mengukur kemampuan siswa mempergunakan berbagai aspek kebahasaan atau beberapa keterampilan berbahasa. Dengan demikian, pendekatan integratif beranggapan bahwa bahasa merupakan penggabungan dari bagian-bagian atau komponen-komponen bahasa, yang bersama-sama membentuk bahasa.
Evaluasi pembelajaran bahasa dengan pendekatan integrative dilakukan dengan cara mengukur penguasaan kemampuan berbahasa. Atas dasar penguasaan terhadap gabungan beberapa bagian dari komponen bahasa dan kemampuan berbahasa.
3.    Pendekatan pragmatik
Pendekatan pragmatik merupakan suatu pendekatan dalam evaluasi keterampilan berbahasa untuk mengukur seberapa baik siswa mempergunakan elemen-elemen bahasa sesuai dengan konteks komunikasi yang nyata. Pendekatan pragmatik mengutamakan peranan penggunaan bahasa senyatanya dalam kajian terhadap bahasa, termasuk tes bahasa. Pendekatan pragmatik mengaitkan bahasa dengan penggunaan senyatanya, yang melibatkan tidak saja unsur-unsur kebahasaan seperti kata-kata, frasa, atau kalimat, tetapi unsur-unsur di luarnya juga, yang selalu terkait dalam setiap bentuk penggunaan bahasa.  Kehadiran unsur-unsur nonkebahasaan yang tidak dapat dihindarkan itu menghasilkan suatu bentuk penggunaan bahasa yang lengkap, yang mampu mengungkapkan pesan sesuai dengan yang ingin disampaikan oleh pemakai bahasanya.
Sesuai dengan pandangannya terhadap bahasa, bentuk-bentuk evaluasi pembelajaran bahasa dalam pendekatan pragmatik, dianggap sebagai tes yang memenuhi ciri-ciri pragmatik. Bentuk-bentuk tes itu selalu menggunakan wacana yang mengandung konteks, bukan semata-mata kalimat atau kata-kata lepas. Mengerjakan tes yang menggunakan wacana mempersyaratkan kemampuan memahami unsur-unsur kebahasaan dan non kebahasaan sebagai bagian dari pemahaman terhadap wacana secara keseluruhan.
4.    Pendekatan Komunikatif
Pendekatan komunikatif mendasarkan pandangannya terhadap penggunaan bahasa dalam komunikasi sehari-hari senyatanya. Sebagai suatu pendekatan dengan orientasi psikolinguistik dan sosiolinguistik, pendekatan komunikatif mementingkan peranan unsur-unsur non kebahasaan, terutama unsur yang terkait dengan terlaksananya komunikasi yang baik. Pendekatan komunikatif memperluas konteks itu dengan memperhatikan unsur-unsur yang mengambil bagian dalam terwujudnya komunikasi yang baik. Sebagai akibatnya, pendekatan komunikatif secara rinci mempersoalkan seluk-beluk komunikasi (siapa yang berkomunikasi, bagaiman hubungan antar mereka yang melakukan komunikasi,  apa maksud dan tujuan dilakukannya komunikasi, dalam bagaimana komunikasi terjadi, dan sebagainya) yang merupakan tujuan pokok penggunaan bahasa.
Dalam tes bahasa, penerapan pendekatan komunikatif berdampak terhadap berbagai segi penyelenggaraannya, terutama jenis dan isi wacana yang digunakan, kemampuan berbahasa yang menjadi sasaran, serta bentuk tugas, soal, atau pertanyaannya. Semua itu harus ditentukan atas dasar ciri komunikatifnya, yaitu hubungan kesesuaiannya dengan penggunaaan bahasa dalam komunikasi senyatanya.
Pendekatan pragmatik mempunyai persamaan dengan pendekatan komunikatif. Keduanya menekankan kemampuan siswa untuk berkomunikasi dengan bahasa  dalam situasi tertentu. Penilaian terhadap kemampuan siswa lebih ditekankan pada kemampuan menghasilkan dan atau memahami informasi dan bukan pada semata-mata ketepatan bahasa yang digunakan.
Selain dapat dilakukan dengan pendekatan yang telah disebutkan di atas, evaluasi dalam pengajaran bahasa dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu tes dan non tes. Tes adalah suatu cara untuk mengadakan evaluasi yang berbentuk tugas atau serangkaian tugas yang harus dikerjakan oleh peserta tes, sehingga menghasilkan skor tentang prestasi atau tingkah laku peserta tes, yang dibandingkan dengan nilai standar tertentu yang telah ditetapkan.[15] Berdasarkan pelaksanaannya, tes yang dapat dilaksanakan dalam pengajaran bahasa adalah tes tulis, tes lisan, dan tes praktik. Berdasarkan kompetensi berbahasa, tes dapat dibedakan menjadi tes kompetensi kebahasaan dan keterampilan berbahasa. Selain tes, dalam pengajaran bahasa terdapat juga evaluasi yang berbentuk nontes. Proses evaluasi nontes dapat diperoleh melalui berbagai teknik, yaitu penilaian performansi, penilaian proyek, dan penilaian portofolio.

B. Fungsi  Evaluasi dalam Pengajaran Bahasa
Menurut Jihad dan Haris fungsi evaluasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu fungsi hasil belajar dan fungsi evaluasi program pengajaran.[16]
Fungsi evaluasi hasil belajar antara lain:
1.    Fungsi formatif
Yaitu evaluasi yang dilakkukan selama proses pembelajaran berlangsung.
2.    Fungsi sumatif
Yaitu evaluasi hasil belajar yang dilakukan pada akhir program pembelajaran,
3.    Fungsi diagnostik
Yaitu evaluasi yang dilakukan untuk mengungkapkan kesulitan-kesulitan subyek didik
4.    Fungsi selektif
Yaitu untuk memilih dan mengelompokkan subyek didik atas dasar cirri-ciri atau kemampuan yang cocok pada suatu strategi belajar-mengajar tertentu.
5.    Fungsi motivasi
Yaitu untuk memberikan motivasi belajar.
Fungsi evaluasi program pengajaran antara lain:
A.   Laporan untuk orang tua dan siswa
-          Bagi siswa:
1.    Dapat mengetahui apakah ia sudah menguasai bahan yang dibarikan oleh guru,
2.    Dapat memahami bagian yang mana yang belum dikuasai sehingga ia dapat mempelajari seefektif mungkin,
3.    Dapat menjadi penguatan bagi siswa yang sudah menguasai dan mendorong untuk lebih giat lagi.
B.   Laporan untuk sekolah
Dalam operasionalnya, pelaporan untuk sekolah lebih berorientasi dalam membangun penguatan peserta didik dalam:
1.    Mengadakan remedial
2.    Mengadakan pengayaan
3.    Perbaikan pembelajaran yang dilakukan guru,
4.    Penilaian kinerja guru oleh kepala sekolah
C.   Laporan untuk masyarakat
Fungsinya untuk melakukan akuntabilitas publik untuk melihat kurikulum yang sedang dijalankan.

Tujuan dari evaluasi pembelajaran bahasa yaitu yang paling utama untuk mengetahui keberhasilan program pembelajaran bahasa yang telah dilaksanakan. Tujuan lainnya untuk mengetahui efektifitas program pembalajaran yang memfokuskan pada guru, metodologi, materi ajar, dan sebagainya. Menurut Richards and Renandya, “the primary purpose of evaluation is to determinate whether or not the curriculum goals have been met, which, in the case of a language programme, will be based on a assessment of the participants in the progamme. Another purpose is to determine the effectiveness of the curriculum and to evaluate the language programme itself, which will focus on the teachers, the methodology, the materials and so on.[17]
            Selanjutnya, tujuan evaluasi pembelajaran bahasa menurut            Michael M. Meyer yaitu,
            “Evaluation studies attempt to ascertain the general effectiveness of broad classes of programs for the purposes of informing public policy. As with research studies, the use of controlled conditions and even randomization adds to their value. A given program or intervention is likely to vary from site to site with regard to the details of implementation, and an evaluation study often covers a variety of subpopulations. Thus, design of an evaluation study can be extremely difficult.” [18]


            Berdasarkan pendapat para pakar di atas, maka fungsi dan tujuan evaluasi pembelajaran bahasa adalah untuk meninjau seberapa jauh keberhasilan program dan untuk memberikan laporan ke masyarakat sebagai bentuk pertanggung jawaban penyelenggara pendidikan, setelah melalui teknik pengambilan kesimpulan dengan instrumen-instrumen yang valid dan reliable baik secara kualitatif maupun kuantitatif.


C.   Instrumen untuk Evaluasi Pengajaran Bahasa
Banyak alat yang dapat digunakan dalam kegiatan evaluasi, beberapa jenis bergantung dari sudut mana kita melihatnya. Jika dilihat dari teknik atau cara yang digunakan, maka alat evaluasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu tes dan nontes. Istilah tes tidak hanya populer di lingkungan persekolahan tetapi juga di luar sekolah bahkan di masyarakat umum. Dalam kegiatan pembelajaran, tes banyak digunakan untuk mengukur hasil belajar peserta didik dalam bidang kognitif, seperti pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Penggunaan tes dalam dunia pendidikan sudah dikenal sejak dahulu kala, sejak orang mengenal pendidikan itu sendiri. Artinya, tes mempunyai makna tersendiri dalam pendidikan dan pembelajaran.

1.    Jenis Tes
Tes merupakan suatu teknik atau cara yang digunakan dalam rangka melaksanakan kegiatan pengukuran, yang didalamnya terdapat berbagai pertanyaan, pernyataan atau serangkaian tugas yang harus dikerjakan atau dijawab oleh peserta didik untuk mengukur aspek perilaku peserta didik. Tes dapat dibedakan atas beberapa jenis, dan pembagian jenis-jenis ini dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. Heaton, membagi tes menjadi empat bagian, yaitu tes prestasi belajar (achievement test), tes penguasaan (proficiency test), tes bakat (aptitude test), dan tes diagnostik (diagnostic test).[19] Untuk melengkapi pembagian jenis tes tersebut, Brown menambahkan satu jenis tes lagi yang disebut tes penempatan (placement test). Dalam bidang psikologi, tes dapat diklasifikasikan menjadi empat bagian, yaitu :
a. Tes intelegensia umum, yaitu tes untuk mengukur kemampuan umum seseorang.
b. Tes kemampuan khusus, yaitu tes untuk mengukur kemampuan potensial dalam bidang tertentu.
c. Tes prestasi belajar, yaitu tes untuk mengukur kemampuan aktual sebagai hasil belajar.
d. Tes kepribadian, yaitu tes untuk mengukur karakteristik pribadi seseorang.
Berdasarkan jumlah peserta didik, tes hasil belajar dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu tes kelompok dan tes perorangan. Tes kelompok, yaitu tes yang diadakan secara kelompok. Disini guru akan berhadapan dengan sekelompok peserta didik. Tes perorangan yaitu tes yang dilakukan secara perorangan (individual). Disini guru akan berhadapan dengan seorang peserta didik. Jika dilihat dari cara penyusunannya, tes dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu tes buatan guru dan tes yang dibakukan[20] :
a.    Tes Buatan Guru (teacher-made test)
Tes buatan guru adalah tes yang disusun sendiri oleh guru yang akan mempergunakan tes tersebut. Tes ini biasanya digunakan untuk ulangan harian, formatif, dan ulangan umum (sumatif). Tes buatan guru ini dimaksudkan untuk mengukur tingkat penguasaan peserta didik terhadap materi pelajaran yang sudah disampaikan. Bentuk soal harus dibuat secara logis dan rasional mengenai pokok-pokok materi apa saja yang patut dan seharusnya ditanyakan sebagai bahan pengetahuan penting untuk diketahui dan dipahami oleh peserta didiknya. Kualitas tes atau tingkat kesahihan dan keandalannya masih belum menjamin keobjektifannya, sebab hanya diberikan kepada sekelompok peserta didik, kelas, dan madrasah tertentu saja. Jadi, masih bersifat sektoral, karena belum diujicobakan kepada sekelompok besar, sehingga pengukurannya masih belum meyakinkan.
Begitu juga tingkat kesukaran itemnya tidak didasarkan atas sifat-sifat atau karakteristik peserta didiknya. Mereka dianggap memiliki taraf berpikir dan taraf penguasaan materi yang sama. Padahal, setiap peserta didik secara psikologis mempunyai kemampuan yang berbeda. Oleh sebab itu, sebaiknya item-item tes disusun secara cermat berdasarkan tingkat kemampuan individu yang heterogen, sedangkan penjelasan-penjelasan yang bersifat umum bisa sama. Tes buatan guru bersifat temporer, artinya hanya berlaku pada saat tertentu dan situasi tertentu pula. Pada kesempatan lain belum tentu tes tersebut dapat digunakan, karena mungkin berubah, baik bentuk itemya maupun kapasitas peserta didiknya.
Ada tes buatan guru yang bersifat hafalan semata, dan ada pula yang bersifat analitis. Sebagai guru yang profesional tentu akan menyusun soal yang berimbang dari kedua sifat tersebut. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik dapat mengetahui siapa yang mempunyai kemampuan yang mantap dalam mengingat atau menghafal sesuatu, dan siapa pula yang mempunyai daya pikir yang kritis, analitis, luas dan asosiatif. Situasi terakhir inilah yang harus diciptakan guru.

2. Tes yang Dibakukan (standardized test)
Tes yang dibakukan atau tes baku adalah tes yang sudah memiliki derajat validitas dan reliabilitas yang tinggi berdasarkan percobaan-percobaan terhadap sampel yang cukup besar dan representatif. Tes baku adalah tes yang dikaji berulang-ulang kepada sekelompok besar peserta didik, dan item-itemnya relevan serta mempunyai daya pembeda yang tinggi. Di samping itu, tes baku telah diklasifikasikan sesuai dengan tingkat usia dan kelasnya. Tes baku biasanya telah dianalisis secara statistik dan diuji secara empiris oleh para ahli (pakar), karena itu dapat dinyatakan sahih (valid) untuk digunakan secara umum. Pengolahan secara statistik dimaksudkan untuk mencari derajat kesahihan dan keandalan serta daya pembeda yang tinggi dari setiap item, sehingga soal itu betul-betul tepat diberikan dan dapat dijadikan alat pengukur kemampuan setiap orang secara umum. Sedangkan pengujian secara empiris dimaksudkan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan setiap item. Tes baku bertujuan untuk mengukur kemampuan peserta didik dalam tiga aspek, yaitu kedudukan belajar, kemajuan belajar, dan diagnostik. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan tes baku, antara lain :
a.    Aspek yang hendak diukur. Dalam keterangan tes tersebut dijelaskan aspek apa saja yang hendak diukur, misalnya kemampuan membaca, perbendaharaan pengetahuan umum, sikap, minat, kepribadian.
b.    Pihak penyusun. Nama orang, baik secara individual maupun kelompok ataupun organisasi yang merancang tes itu, perlu dicantumkan dalam tes tersebut. Misalnya, tes bahasa Inggris yang diselenggarakan oleh Modern Language Association (TEOFL) oleh College Entrance Examination Board and Educationaal Testing Service, tes masuk perguruan tinggi negeri yang sekarang kita kenal dengan istilah SNM-PTN. Nama pihak penyusun tes akan memberikan jaminan mutu dan kesahihan tesnya.
c.    Tujuan penggunaan tes. Tujuan penggunaan tes perlu dirumuskan dengan jelas dan tegas, sehingga tidak mengaburkan tester dalam mengambil kesimpulan tentang peserta didik. Ada tujuan tes untuk diagnostik, ada pula untuk mengetahui hasil belajar peserta didik. Semua itu harus dicantumkan dalam keterangan tentang tes tersebut. Jika tujuan penggunaan tes tidak diketahui atau diabaikan, maka fungsi tes tersebut akan hilang dan tidak akan mencapai apa yang diharapkan. Dengan demikian, tester akan memperoleh gambaran yang keliru tentang testi, akhirnya kesimpulan yang ditarik daripadanya akan salah pula.
d.    Sampel. Dalam tes itu disebutkan pula sampel yang akan digunakan dan variasi heterogenitasnya untuk dikenai tes tersebut. Selain itu dinyatakan pula lamanya waktu yang dibutuhkan dalam pelaksanaan tes itu dan berapa kali tes itu dapat dicobakan kepada testi yang sama atau berlainan. Jika ketentuan tentang sampel, waktu, dan frekuensi pelaksanaan ini kurang ditaati, fungsi tes itu akan kurang meyakinkan.
e.    Kesahihan dan keandalan. Agar tes tersebut sahih (valid) dan andal (reliabel), maka ketentuan-ketentuan tentang cara atau langkah-langkah yang ditempuh harus dipatuhi, baik oleh tester maupun oleh testi, sehingga pelaksanaannya dapat berjalan dengan lancar tanpa mengalami kesulitan yang berarti. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kesahihan dan keandalan suatu tes.
f.     Pengadministrasian. Ketentuan-ketentuan pokok mengenai pengadministrasian suatu tes perlu disusun secara teratur dan baik sesuai dengan fungsi administrasi itu sendiri, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada penilaian. Dalam perencanaan perlu dimuat waktu, bahan atau materi, tujuan dan cara pelaksanaannya. Sedangkan dalam pelaksanaan perlu dimuat tempat atau ruangan dimana tes itu dilaksanakan, pengawas tes, dan jumlah peserta didik yang mengikuti tes tersebut. Dalam penilaian perlu dimuat teknik atau prosedur mengolah data, sehingga data tersebut dapat memberikan makna bagi semua pihak. Oleh sebab itu, Anda harus membuat laporan untuk orang tua , pemerintah, kepala madrasah dan peserta didik itu sendiri.
g.    Cara menskor. Setelah tes dilaksanakan dan data sudah terkumpul, selanjutnya perlu diolah. Dalam pengolahan harus diperhatikan pendekatan penilaian yang digunakan, standar norma, passing grade, dan peringkat (ranking). Untuk pendekatan penilaian dapat digunakan penilaian acuan patokan (criterion- referenced assessment) atau penilaian acuan norma (norm-referenced assessment). Hal ini bergantung kepada tujuan dan maksud evaluasi itu sendiri. Begitu juga dengan standar norma, ada standar 0 – 4, 0 – 10 dan 0 – 100. Standar norma yang digunakan harus disesuaikan dengan kebutuhan. Di samping itu, perlu pula ditentukan batas lulus (passing grade) dan peringkat (ranking) dari keseluruhan testi agar guru dapat mengetahui kedudukan seorang peserta didik dibandingkan dengan peserta didik lainnya. Semua catatan dan keterangan mengenai skoring tes ini harus didokumentasikan dalam suatu berkas dan dibuat laporan pemeriksaan untuk dijadikan bahan pedoman dalam pelaksanaan tes berikutnya. Dokumen ini harus dirahasiakan bagi siapapun. Pada zaman modern sekarang ini, ketika teknologi sudah semakin canggih, pelaksanaan penskoran dan penentuan batas lulus dapat dilakukan dengan cepat dan tepat oleh pesawat komputer di samping secara manual.
h.    Kunci jawaban. Biasanya pada lembaran soal dilampirkan kunci jawaban sekalian untuk dijadikan dasar dalam pemeriksaan. Ada kalanya lembar kunci jawaban ini disatukan dengan petunjuk pelaksanaan, skoring, dan tata tertib tes. Pada tes tertulis berbentuk esai, kunci jawabannya hanya memuat pokok-pokok materi yang penting saja yang harus dicantumkan oleh testi sebagai syarat dalam tesnya. Sedangkan dalam tes tertulis berbentuk objektif, kunci jawabannya memuat jawaban yang pasti. Di samping itu, ditetapkan pula ketentuan-ketentuan mengenai cara menggunakan kunci jawaban agar tidak salah penggunaannya.
i.      Tabel skor mentah (raw score) dan skor terjabar. Selain lampiran-lampiran peraturan mengenai pelaksanaan tes, disertakan pula tabel-tabel yang diperlukan untuk pengolahan skor mentah ke dalam skor terjabar serta petunjuk pelaksanaannya.
j.      Penafsiran. Akhirnya, setelah seluruh tes itu rampung dikerjakan sampailah kepada penafsiran tentang hasil tes itu. Kecenderungan apa yang dapat kita temukan dan bagaimana keputusan serta kesimpulannya, akan diperoleh setelah diadakan penafsiran data.
Ketentuan-ketentuan di atas merupakan ketentuan pokok yang harus diperhatikan dalam melaksanakan suatu tes, sehingga hasil tes dapat memenuhi standar yang kita harapkan. Dalam penyelenggaraan suatu tes hendaknya dibentuk suatu panitia dengan beberapa staf anggotanya serta pembagian kerjanya (job description). Di samping itu, disusun pula jadwal kerja panitia, dan yang tidak kurang pentingnya adalah tersedianya dana untuk pembiayaan tes tersebut Ada beberapa perbedaan antara tes baku dengan tes buatan guru yaitu[21] :
Tes Baku
Tes Buatan Guru
Ø  Berdasarkan isi dan tujuan-tujuan yang bersifat umum.
Ø  Mencakup pengetahuan dan kecakapan yang luas.
Ø  Dikembangkan oleh tenaga yang berkompeten dan profesional.
Ø  Item-item sudh diujicobakan, dianalisis, dan direvisi.
Ø  Memiliki ukuran-ukuran bermacam-macam kelompok yang secara luas mewakili performance seluruh daerah.
Ø  Berdasarkan isi dan tujuan-tujuan yang bersifat khusus.
Ø  Mencakup pengetahuan dan kecakapan yang khusus.
Ø  Dikembangkan oleh seorang guru tanpa bantuan dari luar.
Ø  Item-item jarang diujicobakan sebelum menjadi bagian dari tes tersebut.
Ø  Memiliki derajat kesahihan dan keandalan yang rendah.
Ø  Biasanya terbatas pada kelas atau satu sekolah sebagai suatu kelompok pemakainya.

Berdasarkan aspek pengetahuan dan keterampilan, maka tes dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu tes kemampuan dan tes kecepatan.
a. Tes Kemampuan (power test)
Prinsip tes kemampuan adalah tidak adanya batasan waktu di dalam pengerjaan tes. Jika waktu tes tidak dibatasi, maka hasil tes dapat mengungkapkan kemampuan peserta didik yang sebenarnya. Sebaliknya, jika waktu pelaksanaan tes dibatasi, maka ada kemungkinan kemampuan peserta didik tidak dapat diungkapkan secara utuh.[22] Artinya, skor yang diperoleh bukan menggambarkan kemampuan peserta didik yang sebenarnya. Namun demikian, bukan berarti peserta didik yang paling lambat harus ditunggu sampai selesai. Tes kemampuan menghendaki agar sebagian peserta didik dapat menyelesaikan tes dalam waktu yang disediakan. Implikasinya adalah guru harus menghitung waktu pelaksanaan tes yang logis, rasional, dan proporsional ketika menyusun kisi-kisi tes.






b. Tes Kecepatan (speed test)
Aspek yang diukur dalam tes kecepatan adalah kecepatan peserta didik dalam mengerjakan sesuatu pada waktu atau periode tertentu.[23] Pekerjaan tersebut biasanya relatif mudah, karena aspek yang diukur benar-benar kecepatan bekerja atau kecepatan berpikir peserta didik, bukan kemampuan lainnya. Misalnya, guru ingin mengetes kecepatan berlari, kecepatan membaca, kecepatan mengendarai kendaraan, dan sebagainya dalam waktu yang telah ditentukan.
Selanjutnya, dilihat dari bentuk jawaban peserta didik, maka tes dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu tes tertulis, tes lisan, dan tes perbuatan. Tes tertulis atau sering disebut paper and pencil test adalah tes yang menuntut jawaban dari peserta didik dalam bentuk tertulis. Tes tertulis ada yang bersifat formal dan ada pula yang bersifat nonformal. Tes yang bersifat formal meliputi jumlah testi yang cukup besar yang diselenggarakan oleh suatu panitia resmi yang diangkat oleh pemerintah. Tes formal mempunyai tujuan yang lebih luas dan didasarkan atas standar tertentu yang berlaku umum. Sedangkan tes nonformal berlaku untuk tujuan tertentu dan lingkungan terbatas yang diselenggarakan langsung oleh pihak pelaksana dalam situasi setengah resmi tanpa melalui institusi resmi. Tes tertulis ada dua bentuk, yaitu bentuk uraian (essay) dan bentuk objektif (objective).
2.    Jenis Non Tes
Para ahli berpendapat bahwa dalam melakukan evaluasi pembelajaran, kita dapat menggunakan teknik tes dan nontes, sebab hasil belajar atau pembelajaran bersifat aneka ragam. Hasil belajar dapat berupa pengetahuan teoritis, keterampilan dan sikap. Pengetahuan teoritis dapat diukur dengan menggunakan teknik tes. Keterampilan dapat diukur dengan menggunakan tes perbuatan. Adapun perubahan sikap dan petumbuhan anak dalam psikologi hanya dapat diukur dengan teknik nontes, misalnya observasi, wawancara, skala sikap, dan lain-lain.[24] Dengan kata lain, banyak proses dan hasil belajar yang hanya dapat diukur dengan teknik nontes.

a. Observasi (observation)
Sebenarnya observasi merupakan suatu proses yang alami, dimana kita semua sering melakukannya, baik secara sadar maupun tidak sadar di dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam kelas, Anda sering melihat, mengamati dan melakukan interpretasi. Dalam kehidupan sehari-haripun kita sering mengamati orang lain. Pentingnya observasi dalam kegiatan evaluasi pembelajaran mengharuskan guru untuk memahami lebih jauh tentang judgement, bertindak secara reflektif, dan menggunakan komentar orang lain sebagai informasi untuk membuat judgement yang lebih reliabel.
Observasi merupakan salah satu alat evaluasi jenis nontes yang dilakukan dengan jalan pengamatan dan pencatatan secara sistematis, logis, objektif dan rasional mengenai berbagai fenomena, baik dalam situasi yang sebenarnya maupun dalam situasi buatan untuk mencapai tujuan tertentu.[25] Observasi tidak hanya digunakan dalam kegiatan evaluasi, tetapi juga dalam bidang penelitian, terutama penelitian kualitatif (qualitative research). Tujuan utama observasi adalah (1) untuk mengumpulkan data dan informasi mengenai suatu fenomena, baik yang berupa peristiwa maupun tindakan, baik dalam situasi yang sesungguhnya maupun dalam situasi buatan, (2) untuk mengukur perilaku kelas, interaksi antara peserta didik dengan guru, dan faktor-faktor yang dapat diamati lainnya, terutama kecakapan sosial (social skills). Dalam evaluasi, observasi dapat digunakan untuk menilai proses dan hasil belajar peserta didik, seperti tingkah laku peserta didik pada waktu belajar, berdiskusi, mengerjakan tugas, dan lain-lain. Selanjutnya Good dkk. mengemukakan enam ciri observasi,[26] yaitu :
1. Observasi mempunyai arah yang khusus, bukan secara tidak teratur melihat sekeliling untuk mencarai kesan-kesan umum.
2. Observasi ilmiah tentang tingkah laku adalah sistematis, bukan secara sesuka hati dan untung-untungan mendekati situasi.
3. Observasi bersifat kuantitatif, mencatat jumlah peristiwa tentang tipe-tipe tingkah laku tertentu.
4. Observasi mengadakan pencatatan dengan segera; pencatatan-pencatatan dilakukan secepat-cepatnya, bukan menyandarkan diri pada ingatan.
5. Observasi meminta keahlian, dilakukan oleh seseorang yang memang telah terlatih untuk melakukannya.
6. Hasil-hasil observasi dapat dicek dan dibuktikan untuk menjamin keadaan dan kesahihan.

b. Wawancara (interview)
Wawancara merupakan salah satu bentuk alat evaluasi jenis non-tes yang dilakukan melalui percakapan dan tanya-jawab, baik langsung maupun tidak langsung dengan peserta didik. Pengertian wawancara langsung adalah wawancara yang dilakukan secara langsung antara pewawancara (interviewer) atau guru dengan orang yang diwawancarai (interviewee) atau peserta didik tanpa melalui perantara. Sedangkan wawancara tidak langsung artinya pewawancara atau guru menanyakan sesuatu kepada peserta didik melalui perantara orang lain atau media. Jadi, tidak menemui langsung kepada sumbernya.
Tujuan wawancara adalah :
1. Untuk memperoleh informasi secara langsung guna menjelaskan suatu situasi dan kondisi tertentu.
2. Untuk melengkapi suatu penyelidikan ilmiah.
3. Untuk memperoleh data agar dapat mempengaruhi situasi atau orang tertentu.
Wawancara mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihan wawancara antara lain (1) dapat berkomunikasi secara langsung kepada peserta didik, sehingga informasi yang diperoleh dapat diketahui objektifitasnya (2) dapat memperbaiki proses dan hasil belajar (3) pelaksanaan wawancara lebih fleksibel, dinamis dan personal. Sedangkan kelemahan wawancara adalah (1) jika jumlah peserta didik cukup banyak, maka proses wawancara banyak menggunakan waktu, tenaga, dan biaya (2) adakalanya terjadi wawancara yang berlarut-larut tanpa arah, sehingga data kurang dapat memenuhi apa yang diharapkan (3) sering timbul sikap yang kurang baik dari peserta didik yang diwawancarai dan sikap overaction dari guru sebagai pewawancara, karena itu perlu adanya adaptasi diri antara pewawancara dengan orang yang diwawancarai.



c. Skala Sikap (attitude scale)
Sikap merupakan suatu kecenderungan tingkah laku untuk berbuat sesuatu dengan cara, metode, teknik dan pola tertentu terhadap dunia sekitarnya, baik berupa orang-orang maupun berupa objek-objek tertentu. Sikap mengacu kepada perbuatan atau perilaku seseorang, tetapi tidak berarti semua perbuatan identik dengan sikap. Perbuatan seseorang mungkin saja bertentangan dengan sikapnya. Anda perlu mengetahui norma-norma yang ada pada peserta didik, bahkan sikap peserta didik terhadap dunia sekitarnya, terutama terhadap mata pelajaran dan lingkungan madrasah. Jika terdapat sikap peserta didik yang negatif, Anda perlu mencari suatu cara atau teknik tertentu untuk menempatkan atau mengubah sikap negatif itu menjadi sikap yang positif.
Dalam mengukur sikap, Anda hendaknya memperhatikan tiga komponen sikap, yaitu (1) kognisi, yaitu berkenaan dengan pengetahuan peserta didik tentang objek, (2) afeksi, yaitu berkenaan dengan perasaan peserta didik terhadap objek, dan (3) konasi, yaitu berkenaan dengan kecenderungan berprilaku peserta didik terhadap objek. Anda juga harus memilih salah satu model skala sikap.[27] Adapun model-model skala sikap yang biasa digunakan untuk menilai sikap peserta didik terhadap suatu objek, antara lain :
1. Menggunakan bilangan untuk menunjukkan tingkat-tingkat dari objek sikap yang dinilai, seperti 1, 2, 3, 4 dan seterusnya.
2. Menggunakan frekuensi terjadinya atau timbulnya sikap itu, seperti : selalu, seringkali, kadang-kadang, pernah dan tidak pernah.
3. Menggunakan istilah-istilah yang bersifat kualitatif, seperti : bagus
    sekali, baik, sedang, dan kurang. Ada juga istilah-istilah lain, seperti :
    sangat setuju, setuju, ragu-ragu (tidak punya pendapat), tidak setuju,
    dan sangat tidak setuju.
4. Menggunakan istilah-istilah yang menunjukkan status/kedudukan, seperti : sangat rendah, di bawah rata-rata, di atas rata-rata, dan sangat tinggi.
5. Menggunakan kode bilangan atau huruf, seperti : selalu (diberi kode 5), kadang-kadang (4), jarang (3), jarang sekali (2), dan tidak pernah (1).
Salah satu model untuk mengukur sikap, yaitu dengan menggunakan skala sikap yang dikembangkan oleh Likert. Dalam skala Likert, peserta didik tidak disuruh memilih pernyataan-pernyataan yang positif saja, tetapi memilih juga penyataan-pernyataan yang negatif. Tiap item dibagi ke dalam lima skala, yaitu sangat setuju, setuju, tidak tentu, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Setiap pernyataan positif diberi bobot 4, 3, 2, 1, dan 0, sedangkan pernyataan negatif diberi bobot sebaliknya, yaitu 0, 1, 2, 3, dan 4.

E.  Penelitian yang Relevan mengenai Evaluasi Pengajaran Bahasa

1.  Evaluation of Two Popular EFL Coursebooks

Evaluation of Two Popular EFL Coursebooks
Manoochehr Jafarigohar
Department of Foreign Languages, Payame Noor University, P.O. Box: 19395-4697 Tehran, Iran
E-mail: jafarigohar2007@yahoo.com
Esmaeil Ghaderi (Corresponding author)
Department of Foreign Languages, Payame Noor University, P.O. Box: 19395-4697 Tehran, Iran
E-mail: ghaderi43@gmail.com
Received: 02-08-2013 Accepted: 08-09-2013 Published: 01-11-2013
doi:10.7575/aiac.ijalel.v.2n.6p.194 URL: http://dx.doi.org/10.7575/aiac.ijalel.v.2n.6p.194

Abstract
This study investigates two EFL coursebooks commonly taught in Iran, namely Topnotch and Total English. Thirty three teachers with minimum one year experience of teaching the two books evaluated them using a checklist of the evaluation of EFL coursebooks. Analysis of the obtained data by t-test showed that the difference between the two coursebooks was statistically significant in some criteria. Teachers were more satisfied with Topnotch than Total English in the criteria such as language components, tasks, activities, exercises, and critical discourse analysis features. On the other hand, they were more satisfied with Total English than the other coursebook in a criterion considered as
general considerations. The difference between the two coursebooks was not significant in some criteria including structures, skills, and teacher’s manual. Findings of the study can be beneficial for the authors of the two coursebooks, EFL teachers, curriculum and material developers, administrators of language institutes, and also students interested in learning EFL.

Keywords: Topnotch, Total English, EFL coursebook, evaluation






2.    Evaluation of Listening Skill of ELT Textbook at Secondary School Level

Evaluation of Listening Skill of ELT Textbook at Secondary School Level
Mumtaz Ahmed (Corresponding author)
Govt. Postgraduate College of Science Faisalabad Pakistan
E-mail: webmumtaz@gmail.com
Humaira Yaqoob
University of Sargodha Women Campus Faisalabad Pakistan
E-mail: humaira.yaqoob4@gmail.com
Maimoona Yaqoob
University of Sargodha Women Campus Faisalabad Pakistan
E-mail: monafasal@gmail.com
Doi:10.7575/aiac.alls.v.6n.3p.225 Received: 21/02/2014
URL: http://dx.doi.org/10.7575/aiac.alls.v.6n.3p.225 Accepted: 29/04/2015

Abstract
Textbook evaluation means development of textbook that is based on rigorous research. In Pakistan text books are designed on communicative language teaching which focuses on communication. Morley (1991) has asserted that listening has a critical role in communication and in language acquisition because the better the students understand, the better they will be able to speak. In our text books, listening practices (text and activities) are missing, and listening plays a secondary role as compared to speaking, as it is part of oral work that are dialogues and role play, neglecting that during conversation in English our students face hurdles in quick thinking and accurate predicting because of
ignoring listening skill which help in learning sound, rhythm, intonation, pronunciation, vocabulary and grammatical details. The researchers’ intention here is to put different views on importance of listening skill and to evaluate English Text Books prescribed in Punjab government school whether they contain listening material, corresponding activities and related audio video material in text books.

Keywords: Evaluation, listening skill, ELT, textbook, Punjab Textbook Board (PTB)





3.   AN EVALUATION OF GUIDED READING IN THREE PRIMARY SCHOOLS IN THE WESTERN CAPE


AN EVALUATION OF GUIDED READING IN THREE PRIMARY SCHOOLS IN THE WESTERN CAPE
A Kruizinga & R Nathanson1
University of Stellenbosch
___________________________________________________________________________
Given that the South African government intends to improve its literacy rates by implementing Guided Reading in the primary schools, teachers are challenged to give good quality Guided Reading instruction. The study which this article draws on evaluates how teachers understand and implement Guided Reading in Grade 1 and 2 at three public schools in the Western Cape. Data were drawn from observations of teachers using Fountas & Pinnell’s Guided Reading instruction and a Guided Reading Self-Assessment Inventory. Analyses of the above-mentioned quantitative and qualitative research data indicate that South African teachers have a superficial understanding of Guided Reading. The study suggests that South African teachers struggle to implement Guided Reading in the classroom, because they do not create Guided Reading groups based on ongoing assessment and the teachers do not have access to levelled Guided Reading books. Furthermore, the new policy requirements for Guided Reading appear to fail to offer teachers a sufficient explanation of Guided Reading. I argue that, without addressing these basic requirements, it is unlikely that Guided Reading will be implemented with any success in the South African classrooms.





4.  Improving the Process of Student Evaluation

Improving the Process of Student Evaluation

Gabriela Neacşu1, Laura Patache2, Daniel Dăneci-Pătrău3, Camelia Boarcăş4, Alina Valentina Gherco5

Abstract: In this paper we analyzed the process of student evaluation from ―Spiru Haret‖ University. The process under consideration occurs according to a specific Procedure – Process of student evaluation from the Manual of Quality Assurance Procedures, ―Spiru Haret‖ University, Edition 1, 2012. The goal of this procedure, mentioned in the Manual, is to present the student evaluation procedure by using the Blackboard educational platform and other evaluation techniques of quality learning, based on materials developed by teachers of ―Spiru Haret‖ University, as well as
corresponding responsibilities, in order to increase the learning process quality and the exigency degree in the examination process, as well as students‘ satisfaction measured by accumulated competences. We appreciate that the purpose of this procedure is first and foremost to ensure transparency and objectivity in exam passing decision. After identifying the weaknesses with the―cause - effect‖ chart, we have sought to improve student evaluation process using PDCA (Plan-Do-Check-Act) method, resulting in the design of a new assessment flowchart.

Keywords: higher education; improvement of process; student evaluation; assessment







BAB III
PENUTUP


A.  Kesimpulan
           Evaluasi merupakan suatu istilah yang dalam bahasa Inggrisnya dikenal dengan kata evaluation yang berarti penilaian. Dalam pengajaran bahasa, evaluasi juga merupakan bagian yang terpenting. Betapa tidak, sebagai suatu pengajaran, pengajaran bahasa diselenggarakan untuk mencapai sejumlah tujuan pengajaran yang telah diidentifikasikan dan dirumuskan berdasarkan telaah mendalam terhadap kebutuhan yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, untuk mengetahui pencapaian hasil belajar tersebut dilakukan suatu penilaian atau evaluasi. Penggunaan evaluasi dalam pengajaran bahasa dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa pendekatan.
             Banyak alat yang dapat digunakan dalam kegiatan evaluasi, beberapa jenis bergantung dari sudut mana kita melihatnya. Jika dilihat dari teknik atau cara yang digunakan, maka alat evaluasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu tes dan nontes. Dalam kegiatan pembelajaran, tes banyak digunakan untuk mengukur hasil belajar peserta didik dalam bidang kognitif, seperti pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.

          Pengetahuan teoritis dapat diukur dengan menggunakan teknik tes. Keterampilan dapat diukur dengan menggunakan tes perbuatan. Adapun perubahan sikap dan petumbuhan anak dalam psikologi hanya dapat diukur dengan teknik nontes, misalnya observasi, wawancara, skala sikap, dan lain-lain



DAFTAR PUSTAKA


Arifin, Zainal. Evaluasi Pembelajaran : Prinsip-Teknik-Prosedur, Cetakan Ke-3, Bandung : PT.Remaja Rosdakarya. 2011.
Good, C.V., A.S.Bar, and D.E.Scates. The Metodology of Educational Research. New York : Appleton Century-Crofts, Inc. 1936.
Gronlund, N.E. Measurement and Evaluation in Teaching, Fifth Edition. New York : Mc Millan Publishing Co., Inc. 1985.
Nitko, A. J., Educational Assessment of Students, Second Edition, New Jersey : Englewood Cliffs. 1996.









[1] H.H Renner. et.al. A Practical Introduction to Measurement and Evaluation. (USA:                       Apleton-Century Crafts, Inc.1967), h. 20.
[2] Zainal Arifin. Evaluasi Pembelajaran: Prinsip-Teknik-Prosedur. (Bandung:PT.Remaja       Rosdakarya, 2011), h. 32.
[3] Russell Cross dan Margaret Gearon “Research and Evaluation and of the Content and  Language Integrated Learning (CLIL) Approach to Teaching and Learning Languages in Victorian Schools”. (Universitas Melbourne Australia, 2013), h. 6.
[4] Oemar Hamalik. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem, (Jakarta:      Bumi Aksara, 2008), h. 210.
[5] Sri Wahyuni dan Syukur Ibrahim, Asesmen Pembelajaran Bahasa, (Bandung:PT Refika Aditama, 2012), h. 3.
[6] Jack C. Richards and Willy A. Renandya, Methodology in Language Teaching, (New York:    Cambridge, 2002) h. 77.
[7] Hamzah B. Uno, Assessment Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), h.3.
[8] Asep Jihad &Abdul Haris, Evaluasi Pembelajaran, (Yogyakarta: Multipresindo, 2012) h. 55.
[9] Asep Jihad & Abdul Haris, Evaluasi Pembelajaran,(Yogyakarta: Multipresindo, 2012) h. 55.
[10]  Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 2.
[11] Asep Jihad dan Abdul Haris, Evaluasi Pembelajaran, (Yogyakarta:Multipresindo, 2012) h.           54.
[12]  Dian Indihadi Enuh Zaenuddin & Diah Gusrayani. “Pembinaan Bahasa Indonesia
     Sebagai Bahasa Kedua” (http://file.upi.edu/direktori/dual-     modes/pembinaan_bahasa_indonesia_sebagai_bahasa_kedua/7_bbm_5.pdf, diakses 17        Mei 2016, pukul 17.00 WIB)
[13] Jack C. Richards And Willy A. Renandya op.cit. h. 77
[14] Sri Wahyuni dan Abd. Syukur Ibrahim, Asesmen Pembelajaran Bahasa, (Bandung: PT Refika Aditama, 2012) hh, 5-7.
[15] Sri Wahyuni dan Abd. Syukur Ibrahim. Asesmen Pembelajaran Bahasa, (Bandug: PT                  Refika Aditama, 2012) h11.
[16] Asep Jihad dan Abdul Haris. Evaluasi Pembelajaran, (Yogyakarta: Multipresindo, 2010) hh,       56-57.

[17]  Jack C. Richards And Willy A. Renandya, op. cit, h. 77
[18] Michael M. Meyer. The Case of Bilingual Education Strategies Assessing Evaluation       Studies Education, Bilingual--United States—Evaluation, (Washington D.C: National   Academies Press 1992), h. 22.


[19] Zainal Arifin.  Evaluasi Pembelajara: Prinsip-Teknik-Prosedur, Cetakan Ke-3. (Bandung : PT.Remaja Rosdakarya. 2011), h. 130.
[20] Ibid., h. 130
[21] Ibid., h. 135
[22] A. J.Nitko. Educational Assessment of Students, Second Edition. (New Jersey : Englewood Cliffs. 1996), h. 134
[23] Ibid., h. 135.
[24] N. E. Gronlund. Measurement and Evaluation in Teaching, Fifth Edition. (New York : Mc Millan Publishing Co., Inc. 1985), h. 91.
[25] Ibid., h. 91
[26] Good, C.V., A.S.Bar, and D.E.Scates. The Metodology of Educational Research. (New York : Appleton Century-Crofts, Inc. 1936), h. 404
[27] N. E. Gronlund. Loc. cit., h. 92.

3 komentar:

  1. id like to use your article as my reference in my research. could you tell me your full nme, please?

    BalasHapus
  2. apakah sama antara pengajaran dan pembelajaran ?

    BalasHapus