Sabtu, 06 Agustus 2016

ANALISIS VARIASI KODE BAHASA PADA TRANSAKSI PERCAKAPAN ANTARA PEDAGANG DAN PEMBELI DI PASAR TRADISIONAL

A.  PENDAHULUAN
Bahasa seolah mengakar dalam pikiran seseorang sebagai sebuah sarana komunikasi dengan khalayak lain dan pemerolehannya secara langsung dapat dipelajari. Layaknya seorang siswa yang belajar bahasa, maka dengan terus menerus mempelajarinya ia akan sedikit demi sedikit menguasai bahasa tersebut. Kita sadar bahwa dalam kedudukannya manusia merupakan satu dari sekian  mahluk yang diciptakan oleh Tuhan yang  diberi mandat sebagai mahluk bahasa. Hal itu tergambar dengan telah terjadi banyak fenomena bahasa dalam  kehidupan kita sehari-hari.
Alwasilah (2010:64) memberikan pandangan tentang bahasa bahwa fenomena bahasa akan tetap menarik ilmuwan sepanjang masa karena bahasa adalah tindakan verbal, maka fenomena bahasa tiada lain kecuali fenomena speech act, linguistics acts, atau language acts. Pandangan-pandanganyang telah diungkapkan tersebut menyajikan sebuah pemahaman yang dapat kita pahami sehingga menjelaskan kepada kita tentang pentingnya bahasa untuk dikembangkan secara terus menerus bahkan ada beberapa hal yang harus dipertahankan.
Seiring perkembanganya, bahasa berkembang dengan dipengaruhi berbagai hal. Faktor sosial seperti letak, perbedaan kebudayaan dan lain-lain setidaknya menjadi titik tolak terbentuknya pola dan variasi dalam berbahasa. Pelopor dalam penelitian dalam  variasi bahasa seperti Labov pada masa awalnya mengemukakan pandangan bahwa sosiolinguistik akan menekankan para penelitinya untuk terus melakukan observasi atau dengan kata lain ia akan menjadi seorang investigator dalam berbagai variasi bahasa yang ada dalam masyarakat. 
Ada beberapa pendapat yang memberikan penjelasan tentang bagaimana proses pemilihan dan variasi bahasa. Fasold (dalam Fasya 2009:4) mengungkapkan bahwa ternyatapemilihan bahasa tidak sesederhana yang dibayangkan, yakni memilih sebuah bahasa secara keseluruhan (whole language) dalam suatu peristiwa komunikasi.  Hal ini akan berkaitan erat dengan bila kita membayangkan seseorang yang menguasai dua bahasa atau lebih harus memilih bahasa mana yang akan ia gunakan. Sebagai contoh ketika seorang penutur bahasa Sunda berbicara kepada lawan tuturnya dengan menggunakan bahasa Sunda maka ia telah melakukan pemilihan bahasa kategori pertama yaitu Bahasa Sunda. Selain itu ada kemungkinan penutur akan melakukan tuturan dengan melakukan alih kode (code switching). Ini mungkin  saja terjadi ketika pada saat mereka berbicara datang seorang temanya yang berasal dari luar masyarakat Sunda dan ikut bergabung dalam percakapan tersebut. Secara tidak sadar, mungkin mereka akan mengalihkan kode bahasanya ke dalam bahasa Indonesia.
Kita tahu betul bahwa lingkungan pasar tradisional merupakan tempat dimana kita menemukanbanyak karakteristik bahasa beserta variasinya. Penelitian sebelumnya yaitu Samsudin (2012:8) meneliti penggunaan bahasa Indonesia di pasar Andonou dan di Mall Mandunga kota Kendari yang mendapati hasil berupa pemilihan Bahasa Indonesia muncul dalam beberapa dialek seperti dialek Tolaki, dialek Buton dan bahasa Indonesia dialek Jawa.
Temuan dalam penelitian tersebut bisa saja terjadi mengingat pasar merupakan sebuah tempat berkumpulnya orang dengan berbagai latar bahasa yang dimilikinya dan berakibat langsung sepertidalam beberapa kesempatanBahasa Indonesia ditemukan dalam dialek yang bersifat kedaerahan. Bahasa Indonesia dialek kedaerahan di samping digunakan sebagai alat komunikasi juga digunakan sebagai strategi penjual dan pembeli dalam melaksanakan aktivitas jual beli.
Ada beberapa bahan kajian yang terlihat jelas pada situasi pasar dalam aspek yang berkaitan dengan pemilihan bahasa, pola interaksi percakapan serta strategi tutur pada jenis kelaminya. Hal ini menjadi menarik ketika ternyata pedagang baik yang menjual dan membeli mempunyai cara tersendiri untuk bahasa yang mereka gunakan satu denganyang lainya. Adanya berbagai variasi bahasa yang digunakan dalam lingkungan para pedagang menimbulkan beberapa kode bahasa yang biasa mereka gunakan satu dengan yang lain. Kode itu muncul sebagai akibat dari tindakan alamiah mereka dalam berkomunikasi. Adapun kode bahasa yang cukup jelas dapat kita rasakan adalah kode berupa pemilihan bahasa, dialek serta pemakaian bahasanya.
Pemilihan kode bahasa beserta kajian-kajian lain seperti pola interaksi percakapan dan dampak yang muncul pada setiap individu pedagang dan pembeli akan menjadi sebuah hal yang baru untuk terus diteliti. Masyarakat Cicadas khususnya masyarakat di pasar tradisional kecamatan Cicadas pun merupakan salah satu bagian dari masyarakat yang ada. Berdasarkan latar belakang yang tergambar di atas maka dengan adanya penelitian ini maka sedikitnya memberikan masukan berupa penggambarankhusus terutama mengenai pemilihan kode, pola interaksi percakapan dan dampak yang dampak bahasa yang terjadi terhadap transaksi pedagang dan pembeli di pasar tradisional Cicadas sehingga khalayak ramai ataupun pengguna data dapat lebih mengetahui dan memanfaatkannya untuk menambah kekayaan bahasa yang dimilki terutama bagi para peneliti linguistik.
Dengan adanya kaitan sosial dengan bahasa masyarakat, maka hal inilah yang menjadi faktor penyebab utama munculnya variasi bahasa. Crystall (1980:111) mengatakan bahwa variasi bahasa merupakan aneka ragam pengggunaan dan jenis bahasa dengan karakteristiknya yang digunakan dalam kelompok sosial tertentu. Menurutnya variasi bahasa sering dikelompokan berdasarkan pembagian sosial seperti kelas sosial, status pekerjaan, usia dan jenis kelamin. Kita tentunya sadar betul proporsi bahasa pada tatanan tersebut. Banyak penelitian yang yang membuktikan bahwa terdapat beberapa perbedaan yang signifikan dengan bahasa berdasarkan pembagian yang disebutkan di atas.
Pada masyarakat yang bersifat multilingual, terkadang kecakapan berbahasa dalam berbagai pola dan jenisnya mempengaruhi intelektual seseorang. Keraf (2007:3) mengungkapkan bahwa setiap jaman pada kehidupan manusia, manusia akan selalu memilih aspek apapun yang dianggapnya paling cocok, atau dengan kata lain orang bebas menciptakan seni atau wacana baru yang menurutnya paling sesuai untuk dipergunakan. Kajian bahasa idiolek adalah variasi bahasa yang bersifat perorangan.
Dalam menganalisa bahasa sangat mungkin kita membagi fokus yang hendak diteliti ke dalam bentuk kode. Dalam bahasa kita kenal dengan berbagai macam kode bahasa yang ada. Wardhaugh (1986:99) menyebut “... that the particular dialect or language one chooses to use on any occasion is a code, a system used communication between two or more parties”. Menurutnya masyarakat bilingual atau multilingual dihadapkan pada masalah untuk memilih sebuah kode (bisa berupa dialek atau bahasa) tertentu pada saat mereka bertutur, dan mereka mungkin juga memutuskan untuk berganti dari satu kode ke kode lain atau mencampur kode-kodetersebut.
Poedjosoedarmo (1978:30) mengungkapkan bahwa pemahaman lain kode bagi sebagian orang mengacu pada suatu sistem tutur yang dalam penerapannya mempunyai ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan mitra tutur dan situasi tutur yang ada. Kode biasanya berbentuk varian bahasa yang secara nyata dipakai untuk berkomunikasi antaranggota suatu masyarakat bahasa. Latar belakang penutur tentunya sangat mempengaruhi kode bahasa yang hendak dipergunakan. Dalam situasi pasar, maka para penutur akan lebih banyak menggunakan kosakata yang berhubungan dengan barang dagangan saja dibanding dengan situasi yang lainya.
Kridalaksana  (1984:102)  memberikan beberapa pendapat tentang arti kode bahasa yaitu  pertama menurutnya kode adalah  lambang suatu  sistem ungkapan  yang  dipakai  untuk menggambarkan makna  tertentu. Jika kita memahami makna tersebut secara tidak langsung dapat kita pahami bahwa kode mungkin tidak hanya berbentuk ucapan saja melainkan ada wujud lain namun terjadi pada masyarakat. Kedua menurutnya bahwa kode merupakan sistem bahasa dalam satu masyarakat atau suatu varian tertentu dalam satu bahasa. Dari petikan ungkapan tersebut kita bisa pahami setidaknya adalah bahwa dengan ternyata pemahaman bahasa tidak cukup hanya dengan melihat bahasa tersebut dipergunakan namun dibalik bahasa tersebut ternyata masih ada nilai-nilai tersendiri yang patut untuk
Dalam Fasya (2009) diterangkan bahwa Indonesia merupakan negara yang terdiri atas berbagai suku bangsa dan suku Sunda termasuk salah satu diantaranya. Bahasa yang digunakan oleh suku Sunda disebut bahasa Sunda. Menurut Satjadibrata (1960) bahasa Sunda mempunyai sembilan buah dialek, yaitu dialek Bandung, dialek Banten, dialek Cianjur, dialek Purwakarta, dialek Cirebon, dialek Kuningan, dialek Sumedang, dialek Garut, dan dialek Ciamis. Dari kesembilan dialek tersebut, yang dijadikan bahasa Sundalulugu (bahasa standar) adalah bahasa Sunda dialek Bandung yang sering digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah sesuai dengan Lambaran Nagara No.125 Tahun 1893, ayat 6 yang menetapkan bahwa bahasa pribumi yang diajarkan di sekolah adalah bahasa pribumi yang dianggap paling bersih seperti dikutip Fasya (2000:66). Dalam komunikasi sehari-hari bahasa Sunda dialek Bandung mempunyai kedudukan yang penting dalam masyarakat Sunda. Hal ini ditandai dengan penggunaan istilah yang populer dalam Masyarakat Sunda, yakni bahasa Sundalulugu atau sering kita sebut dengan bahasa Sunda standar dan bahasa Sundawewengkonyaitu bahasa Sunda non-standar. Namun, secara sosial penggunaan bahasa Sunda Bandung terbatas pada kelompok sosial tertentu, yakni kalangan priyayi sebagai kelas sosial yang bekerja di kantor atau kaum terpelajar yang masih menaruh perhatian atas variasi ini.


B. METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan ialah metode deskriptif kualitatif. Secara umum ada tiga komponen utama dalam sebuah penelitian kualitatif menurut Strauss dan Corbin (1990:18). Komponen yang pertama adalah data, yang dapat diambil dari berbagai sumber. Wawancara dan observasi merupakan sumber data yang paling banyak digunakan saat ini. Komponen sealnjutnya adalah adanya prosedur analisis dan interpretasi yang digunakan untuk mengkonseptualisasikan data. Komponen yang terakhir adalah laporan yang bersifat lisan ataupun tulisan. Komponen yang terakhir ini merupakan bukti dan contoh bagaimana sebuah penelitian kualitatif dapat disajikan sehingga apa yang sudah dilakukan itu dapat bermanfaat bagi pembacanya. 


C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Wujud Kode Masyarakat Pedagang dengan Pembeli di Pasar Cicadas
Kode bahasa Sunda menjadi bahasa yang dominan untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat pasar Cicadas karena dipengaruhi oleh letak geografisnya yang berada di daerah kabupaten Bandung. Berikut hasil analisa terhadap penggunaan bahasa Sunda serta penggunaan tingkat tutur yang di lingkungan pasar tradisional Cicadas Kabupaten Bandung.

1.    Penggunaan Kode Bahasa Sunda
Kode bahasa Sunda merupakan bahasa yang sangat penting digunakan dalam percakapan transaksi pedagang dan pembeli di pasar tradisional Cicadas. Dilihat berdasarkan data yang diambil dalam percakapan yang terjadi dalam 16 data percakapan yang diambil dari pedagang dan pembeli berdasarkan jenis kelamin mereka maka penggunaan bahasa Sunda hampir muncul dan bertahan dipergunakan oleh mereka pada setiap tuturan yang mereka lakukan. Berikut pemaparan yang dapat digambarkan sebagai bukti penggunaan bahasa Sunda secara pembentukan kata yang muncul.


a.    Pedagang Laki-laki dengan Pembeli Laki-laki
Penggunaan bahasa Sunda pada percakapan yang melibatkan pedagang laki-laki dan pembeli laki-laki banyak menggunakan kata dengan prefiks sa-, seperti kata sabaraha, satengah, dan sakilo. Kata sabaraha merupakan bentuk interogratif yang paling sering digunakan dan merupakan sebuah kata dengan maksud menanyakan. Seperti dalam potongan percakapan berikut:
Potongan percakapan DL1BL1:
  • BL1    : sabaraha satenga:h
(berapa ini setengah (kilo) (memegang kol))
  • DL1    : wayahna ayeunamah dalapan juta sakilo
(mohon maklum, sekarang harganya delapan juta (ribu) satu kilo)
Kata satengah merupakan kata campuran dengan menyatukan kata tengah dan prefiks sa-, sehingga meminta barang dalam jumlah tengah mungkin dalam hal ini adalah dalam kilogram sama seperti dalam kata sakilo (satu kilo).
    Kode Percakapan DL1BL1
  • DL1    : wayahna ayeunamah dalapan juta sakilo
(mohon maklum, sekarang harganya delapan juta (ribu) satu kilo)
  • BL1     : ah ni sakitu
(ah masa segitu)
Sementara itu bentuk yang lain adalah penggunaan sufiks –na seperti dalam kata wayahna yang berarti merayu/menyadarkan. Sementara itu untuk kata yang tanpa ditambahi dengan sisipan adalah kata ayeuna (sekarang), mah, dalapan (delapan), juta (juta), nyeta (itulah makanya), deui, juragan dan heula (dulu(an). Adapun bentuk lain adalah berupa kata ah dan ni. Bentuk kata seperti ini merupakan bentuk keluhan atau menandakan ketidaksetujuan akan hal berupa barang dan harga yang ada. Ketika DL1 menyebutkan harga dengan secara langsung ajuan harga tersebut sikeluhkan.

b.    Pedagang Laki-laki dengan Pembeli Perempuan
Hampir sama dengan percakapan pedagang laki-laki dengan pembeli laki-laki. Percakapan antara pedagang laki-laki dengan pembeli perempuan pun juga dicirikan oleh penggunaan diksi dengan awallan sa- yaitu kata sakumaha, sabaraha, sakitu, satengah, dan sakilo. Seperti dalam potongan percakapan berikut:
Kode Percakapan DL2BP2:
  • BP2     : suung sabaraha
(jamur berapa)
  • DL2    : lima rebu
(lima ribu)
    Kode Percakapan DL2BP1
  • DL2    : sakumaha bu
(berapa banyak bu)
  • BP1    : satengah jeung sakilo
(setengah dan satu kilo)
Memang menggunakan sabaraha sudah pasti tidak akan terpisah dari transaksi. Namanya transaksi perdagangan sudah pasti akan melibatkan dua pihak yang hendak membeli dan menjual, kata sabaraha dan jawaban harga satu atau jumlah barang merupakan bagian pasangan ujaran yang paling pas dalam hal ini seperti yang diterangkan dalam pembahasan selanjutnya tentang pasangan ujaran terdekat.
    Sementara itu penggunaan kata bahasa Sunda lainnya adalah kata ayeuna, mah, dalapan, juta, nyeta, naek, sok, atuh, naon deui dan juragan. Untuk pedagang perempuan pun juga hampir sama dengan dua percakapan yang telah diberikan dengan jelas tentang pemilihan kode bahasa yang digunakan. Banyak pedagang perempuan yang juga menggunakan bahasa Sunda untuk mereka pergunakan dalam bertransaksi seperti pada dua percakapan berikut:

c.    Pedagang Perempuan dengan Pembeli Laki-laki
            Dalam segi morfologi, sebagai ciri khas bahasa Sunda yang dipergunakan pedagang perempuan dan pembeli laki-laki tidak jauh berbeda dengan pilihan kata yang lain sebelumnya. Bentuk kata sisipan yang dipergunakan adalah kata “rebueun” yang berasal dari kata rebu dan akhiran –eun. Seperti dalam potongan percakapan berikut:
    Kode Percakapan DP1BLI:
  • BL1    : cik ceu cengek dua rebueun mah
(coba ceu cabe rawit dua ribu)
  • DP1    : sabaraha
(berapa)
  • BL1    : cengek dua rebueun
(cabe rawit dua ribu)
  • DP1    : oh
(oh)
            Pada percakapan ini akhiran –eun yang muncul diutarakan pembeli, mungkin ini akan menggambarkan perasaan pembeli laki-laki yang tidak terlalu banyak ingin bicara dengan penjual wanita. Dengan menakar jumlah dengan harga barang yang disertakan akhiran maka barang yang diminta oleh pembeli merupakan barang dengan jumlah takaran sesuai harga yang disebutkan misal dua rebueun berarti pembeli tidak mau berdebat lagi dengan menerima harga yang diberikan oleh pedagang. Selanjutnya ada juga kata dengan sisipan tengah –ar- seperti dalam kata harejo pada potongan percakapan berikut:
    Kode Percakapan DP1BL1:
  • BL1    : harejo kieu cabe teh nya
(warnanya hijau seperti ini cabenya)
  • DP1     : harejo ge da cengek
(hijau juga cabe rawit)
Kata harejo menunjukkan penggunaan sebuah sisipan untuk mengungkapkan sifat untuk benda yang jamak. Dalam petikan contoh di atas terlihat bahwa kata harejo mengacu pada bendanya yaitu cabe.. dengan kata lain si penutur mengungkapkan bahwa sebagian besar cabe berwarna hijau. Tambahan kata lainnya kebanyakan merupakan kata dasaran yang tidak ditambahi dengan sisipan.

d.    Pedagang Perempuan dengan Pembeli Perempuan
            Percakapan yang melibatkan pedagang perempuan dengan pembeli perempuan menggambarkan penggunaan bahasa Sunda yaitu pada kata “sabarahaan” yang terdiri dari kata sabaraha dengan sufiks –an seperti dalam potongan percakapan berikut:
    Kode Percakapan BP1DP2:
  • BP1    : bu ari ieu kangkung sabarahaan bu
(bu kalau ini kangkung berapa harganya bu
  • DP2    : sarebuan neng
(seribuan neng)
Ungkapan kata sabarahaan “berapa harga satu buahnya?” merupakan sebuah ekspresi untuk menanyakan barang tertentu namun BP1 berniat menanyakan secara lebih sepesifik barang tersebut. Pertanyaan yang diajukan seperti ungkapan  tersebut biasanya akan menimbulkan jawaban sarebuan yaitu kata sarebu dan sufiks –an sebagai respon yang menjawab pertanyaan tadi kata sarebuan memiliki fungsi yang sama artinya bahwa harga barang yang ditanyakan tersebut seharga yang diberikan. Terdapat juga sufiks lainnya yaitu sufiks –na, seperti dalam kata “tidituna”. Dalam sufiks ini sering digunakan untuk mengungkapan adapun pembuka percakapan dikenali dengan sedikit perubahan tempo ucapan. Misalkan dalam percakapan BP1 membuat panggilan “bu” menjadi sedikit lebih panjang dari ucapan lainnya. Ini setidaknya memberikan sinyal kepada BP1 yang bersangkutan dan mengajak dia untuk berdialog atau melakukan transaksi. Sebenarnya kadar keakraban dari BP1 dan DP2 tidak terlalu akrab, namun ada sedikit usaha dari BP1 untuk membuat percakapan sedikit luwes sehingga BP1 dapat menawar harga secara lebih murah.
Contoh-contoh di atas memberikan kita gambaran bahwa masyarakat pedagang dan pembeli di pasar tradisional Cicadas masih memegang teguh bahasa daerahnya yaitu bahasa Sunda. 16 buah percakapan transaksi yang ada menunjukkan keseluruhan hampir menggunakan bahasa Sunda sebagai sarana untuk berkomunikasi tanpa terkecuali. Pemilihan bahasa Sunda menjadi dominan karena seluruh pembeli yang ada pada data percakapan semuanya mengawali dengan ungkapan berbahasa Sunda. Adapun menurut penulis, penggunaan bahasa lain di luar bahasa Sunda terjadi pada saat ada salah satu peserta dari percakapan memberikan stimulus berupa bahasa lain.
Maka secara umum dapat digambarkan bahwa penggunaan bahasa Sunda pada kalangan pedagang dan pembeli berbahasa Sunda di pasar tradisional Cicadas Kabupaten Bandung banyak menggunakan kata prefiks sa- seperti kata sabaraha, satengah dan sakilo. Kata-kata tersebut digunakan untuk bertanya jawab. Kata sabaraha akan menimbulkan jawaban kata berawalan sa- juga. Selanjutnya adalah kata dengan sufiks –na seperti dalam kata wayahna yang berate merayu/ menyadarkan. Kata sisipan lain adalah kata “rebueun” yang berasal dari kata rebu dan akhiran –eun, sisipan tengah –ar- seperti dalam kata harejo.


D. SIMPULAN
Dari hasil analisis terhadap percakapan transaksi masyarakat pedagang dan pembeli di pasar tradisional Cicadas, kita dapat melihat bahwa percakapan mereka memilki beberapa ciri yang dapat dirasakan terutama dalam konsep percakapan, pilihan bahasa, pola giliran bicara serta beberapa pengaruh yang ditimbulkan. Dengan mengacu pada pertanyaan penelitian dan proses analisis yang ada pada pembahasan dengan berladaskan teori yang relevan maka terdapat beberapa hasil yang dapat dikerucutkan berkaitan dengan variasi dan kode bahasa percakapan transaksi pedagang dan pembeli di pasar Cicadas yaitu :  
Penggunaan kode bahasa Sunda sangat penting digunakan dalam percakapan transaksi pedagang dan pembeli di pasar tradisional Cicadas. Dilihat berdasarkan data yang diambil dalam percakapan yang terjadi dalam 16 data percakapan yang diambil dari pedagang dan pembeli berdasarkan jenis kelamin mereka maka penggunaan bahasa sunda hampir muncul dan bertahan dipergunakan oleh mereka pada setiap tuturan yang mereka lakukan. Kode yang muncul adalah bahasa sunda dengan diksi prefiks sa-  seperti dalam kata sabarahadan sakit, awalan sa-, dengan kalimat “satengah” yang berarti memesan sejumlah setengah dalam kilogram. Diksi lain yang menunjukan intensitas penggunaan bahasa Sunda yaitu dengan akhiran –na dalam kata “wayahna, akhiran –eunseperti dalam kata sarebuen dan lain-lain.




DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010
Corbin, Juliet dan Strauss. Basic of Qualitative Research. New Delhi: Sage Publication. 2003
Fasya, Mahmud. Pemilihan Bahasa dalam Masyarakat Sunda. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. 2009
Keraf, Gorys. Lingusitik Bandingan Historis. Jakarta: Gramedia. 1991
Kridalaksana, Harimurti. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia. 1984
Poedjosoedarmo, Supomo. Kode dan Alih Kode. Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa. 1986

Samsudin, Muhammad dan Hurhayati. Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Aktifitas Jual Beli di Pasar Anduonohu dan di Mall Mandunga Kota Kendari: Kajian Sosioliguistik.2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar