A. PENDAHULUAN
Bahasa seolah mengakar dalam pikiran seseorang sebagai
sebuah sarana komunikasi dengan khalayak lain dan pemerolehannya secara
langsung dapat dipelajari. Layaknya seorang siswa yang belajar bahasa, maka
dengan terus menerus mempelajarinya ia akan sedikit demi sedikit menguasai
bahasa tersebut. Kita sadar bahwa dalam kedudukannya manusia merupakan satu
dari sekian mahluk yang diciptakan oleh
Tuhan yang diberi mandat sebagai mahluk
bahasa. Hal itu tergambar dengan telah terjadi banyak fenomena bahasa dalam kehidupan kita sehari-hari.
Alwasilah (2010:64) memberikan pandangan tentang bahasa
bahwa fenomena bahasa akan tetap menarik ilmuwan sepanjang masa karena bahasa
adalah tindakan verbal, maka fenomena bahasa tiada lain kecuali fenomena speech act, linguistics acts, atau language
acts. Pandangan-pandanganyang telah diungkapkan tersebut menyajikan sebuah
pemahaman yang dapat kita pahami sehingga menjelaskan kepada kita tentang
pentingnya bahasa untuk dikembangkan secara terus menerus bahkan ada beberapa
hal yang harus dipertahankan.
Seiring perkembanganya, bahasa berkembang dengan
dipengaruhi berbagai hal. Faktor sosial seperti letak, perbedaan kebudayaan dan
lain-lain setidaknya menjadi titik tolak terbentuknya pola dan variasi dalam
berbahasa. Pelopor dalam penelitian dalam
variasi bahasa seperti Labov pada masa awalnya mengemukakan pandangan bahwa
sosiolinguistik akan menekankan para penelitinya untuk terus melakukan
observasi atau dengan kata lain ia akan menjadi seorang investigator dalam
berbagai variasi bahasa yang ada dalam masyarakat.
Ada beberapa pendapat yang memberikan penjelasan tentang bagaimana proses
pemilihan dan variasi bahasa. Fasold (dalam Fasya 2009:4) mengungkapkan bahwa
ternyatapemilihan bahasa tidak sesederhana yang dibayangkan, yakni memilih
sebuah bahasa secara keseluruhan (whole language) dalam suatu peristiwa
komunikasi. Hal ini akan berkaitan erat
dengan bila kita membayangkan seseorang yang menguasai dua bahasa atau lebih
harus memilih bahasa mana yang akan ia gunakan. Sebagai contoh ketika seorang
penutur bahasa Sunda berbicara kepada lawan tuturnya dengan menggunakan bahasa
Sunda maka ia telah melakukan pemilihan bahasa kategori pertama yaitu Bahasa
Sunda. Selain itu ada kemungkinan penutur akan melakukan tuturan dengan melakukan
alih kode (code switching). Ini
mungkin saja terjadi ketika pada saat
mereka berbicara datang seorang temanya yang berasal dari luar masyarakat Sunda
dan ikut bergabung dalam percakapan tersebut. Secara tidak sadar, mungkin
mereka akan mengalihkan kode bahasanya ke dalam bahasa Indonesia.
Kita tahu betul bahwa lingkungan pasar tradisional
merupakan tempat dimana kita menemukanbanyak karakteristik bahasa beserta
variasinya. Penelitian sebelumnya yaitu Samsudin (2012:8) meneliti penggunaan
bahasa Indonesia di pasar Andonou dan di Mall Mandunga kota Kendari yang
mendapati hasil berupa pemilihan
Bahasa Indonesia muncul dalam beberapa dialek seperti dialek Tolaki, dialek
Buton dan bahasa Indonesia dialek Jawa.
Temuan dalam penelitian tersebut bisa saja terjadi
mengingat pasar merupakan sebuah tempat berkumpulnya orang dengan berbagai
latar bahasa yang dimilikinya dan berakibat langsung sepertidalam beberapa
kesempatanBahasa Indonesia ditemukan dalam dialek yang bersifat kedaerahan.
Bahasa Indonesia dialek kedaerahan di samping digunakan sebagai alat komunikasi
juga digunakan sebagai strategi penjual dan pembeli dalam melaksanakan
aktivitas jual beli.
Ada beberapa bahan kajian yang terlihat jelas pada
situasi pasar dalam aspek yang berkaitan dengan pemilihan bahasa, pola
interaksi percakapan serta strategi tutur pada jenis kelaminya. Hal ini menjadi
menarik ketika ternyata pedagang baik yang menjual dan membeli mempunyai cara
tersendiri untuk bahasa yang mereka gunakan satu denganyang lainya. Adanya
berbagai variasi bahasa yang digunakan dalam lingkungan para pedagang
menimbulkan beberapa kode bahasa yang biasa mereka gunakan satu dengan yang
lain. Kode itu muncul sebagai akibat dari tindakan alamiah mereka dalam
berkomunikasi. Adapun kode bahasa yang cukup jelas dapat kita rasakan adalah
kode berupa pemilihan bahasa, dialek serta pemakaian bahasanya.
Pemilihan kode bahasa beserta kajian-kajian lain seperti
pola interaksi percakapan dan dampak yang muncul pada setiap individu pedagang
dan pembeli akan menjadi sebuah hal yang baru untuk terus diteliti. Masyarakat Cicadas
khususnya masyarakat di pasar tradisional kecamatan Cicadas pun merupakan salah
satu bagian dari masyarakat yang ada. Berdasarkan latar belakang yang tergambar
di atas maka dengan adanya penelitian ini maka sedikitnya memberikan masukan
berupa penggambarankhusus terutama mengenai pemilihan kode, pola interaksi
percakapan dan dampak yang dampak bahasa yang terjadi terhadap transaksi
pedagang dan pembeli di pasar tradisional Cicadas sehingga khalayak ramai
ataupun pengguna data dapat lebih mengetahui dan memanfaatkannya untuk menambah
kekayaan bahasa yang dimilki terutama bagi para peneliti linguistik.
Dengan
adanya kaitan sosial dengan bahasa masyarakat, maka hal
inilah yang menjadi faktor penyebab utama munculnya variasi bahasa. Crystall
(1980:111) mengatakan bahwa variasi bahasa merupakan aneka ragam pengggunaan
dan jenis bahasa dengan karakteristiknya yang digunakan dalam kelompok sosial
tertentu. Menurutnya variasi bahasa sering dikelompokan berdasarkan pembagian
sosial seperti kelas sosial, status pekerjaan, usia dan jenis kelamin. Kita
tentunya sadar betul proporsi bahasa pada tatanan tersebut. Banyak penelitian
yang yang membuktikan bahwa terdapat beberapa perbedaan yang signifikan dengan
bahasa berdasarkan pembagian yang disebutkan di atas.
Pada masyarakat yang bersifat
multilingual, terkadang kecakapan berbahasa dalam berbagai pola dan jenisnya
mempengaruhi intelektual seseorang. Keraf (2007:3) mengungkapkan bahwa setiap
jaman pada kehidupan manusia, manusia akan selalu memilih aspek apapun yang
dianggapnya paling cocok, atau dengan kata lain orang bebas menciptakan seni
atau wacana baru yang menurutnya paling sesuai untuk dipergunakan. Kajian
bahasa idiolek adalah variasi bahasa yang bersifat perorangan.
Dalam menganalisa
bahasa sangat mungkin kita membagi fokus yang hendak diteliti ke dalam bentuk
kode. Dalam bahasa kita kenal dengan berbagai macam kode bahasa yang ada.
Wardhaugh (1986:99) menyebut “... that
the particular dialect or language one chooses to use on any occasion is a
code, a system used communication between two or more parties”. Menurutnya
masyarakat bilingual atau multilingual dihadapkan pada masalah untuk memilih
sebuah kode (bisa berupa dialek atau
bahasa) tertentu pada saat mereka bertutur, dan mereka mungkin juga
memutuskan untuk berganti dari satu kode ke kode lain atau mencampur
kode-kodetersebut.
Poedjosoedarmo
(1978:30) mengungkapkan bahwa pemahaman lain kode bagi sebagian orang mengacu
pada suatu sistem tutur yang dalam penerapannya mempunyai ciri khas sesuai
dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan mitra tutur dan situasi
tutur yang ada. Kode biasanya berbentuk varian bahasa yang secara nyata dipakai
untuk berkomunikasi antaranggota suatu masyarakat bahasa. Latar belakang
penutur tentunya sangat mempengaruhi kode bahasa yang hendak dipergunakan. Dalam situasi pasar,
maka para penutur akan lebih banyak menggunakan kosakata yang berhubungan
dengan barang dagangan saja dibanding dengan situasi yang lainya.
Kridalaksana
(1984:102) memberikan beberapa pendapat tentang arti kode bahasa
yaitu pertama menurutnya kode adalah lambang suatu
sistem ungkapan yang dipakai untuk menggambarkan
makna tertentu. Jika kita memahami makna tersebut secara tidak langsung
dapat kita pahami bahwa kode mungkin tidak hanya berbentuk ucapan saja
melainkan ada wujud lain namun terjadi pada masyarakat. Kedua menurutnya bahwa
kode merupakan sistem bahasa dalam satu masyarakat atau suatu varian tertentu
dalam satu bahasa. Dari petikan ungkapan tersebut kita bisa pahami setidaknya
adalah bahwa dengan ternyata pemahaman bahasa tidak cukup hanya dengan melihat
bahasa tersebut dipergunakan namun dibalik bahasa tersebut ternyata masih ada
nilai-nilai tersendiri yang patut untuk
Dalam Fasya (2009)
diterangkan bahwa Indonesia merupakan negara yang terdiri atas berbagai suku
bangsa dan suku Sunda termasuk salah satu diantaranya. Bahasa yang digunakan
oleh suku Sunda disebut bahasa Sunda. Menurut Satjadibrata (1960) bahasa Sunda
mempunyai sembilan buah dialek, yaitu dialek Bandung, dialek Banten, dialek
Cianjur, dialek Purwakarta, dialek Cirebon, dialek Kuningan, dialek Sumedang,
dialek Garut, dan dialek Ciamis. Dari kesembilan dialek tersebut, yang
dijadikan bahasa Sundalulugu (bahasa standar) adalah bahasa Sunda dialek
Bandung yang sering digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah sesuai dengan
Lambaran Nagara No.125 Tahun 1893,
ayat 6 yang menetapkan bahwa bahasa pribumi yang diajarkan di sekolah adalah
bahasa pribumi yang dianggap paling bersih seperti dikutip Fasya (2000:66).
Dalam komunikasi sehari-hari bahasa Sunda dialek Bandung mempunyai kedudukan
yang penting dalam masyarakat Sunda. Hal ini ditandai dengan penggunaan istilah
yang populer dalam Masyarakat Sunda, yakni bahasa Sundalulugu atau sering kita sebut dengan bahasa Sunda
standar dan bahasa Sundawewengkonyaitu bahasa Sunda non-standar. Namun, secara sosial penggunaan
bahasa Sunda Bandung terbatas pada kelompok sosial tertentu, yakni kalangan
priyayi sebagai kelas sosial yang bekerja di kantor atau kaum terpelajar yang
masih menaruh perhatian atas variasi ini.
B.
METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan ialah
metode deskriptif kualitatif. Secara umum ada tiga komponen utama dalam sebuah
penelitian kualitatif menurut Strauss dan Corbin (1990:18). Komponen yang
pertama adalah data, yang dapat diambil dari berbagai sumber. Wawancara dan
observasi merupakan sumber data yang paling banyak digunakan saat ini. Komponen
sealnjutnya adalah adanya prosedur analisis dan interpretasi yang digunakan
untuk mengkonseptualisasikan data. Komponen yang terakhir adalah laporan yang
bersifat lisan ataupun tulisan. Komponen yang terakhir ini merupakan bukti dan
contoh bagaimana sebuah penelitian kualitatif dapat disajikan sehingga apa yang
sudah dilakukan itu dapat bermanfaat bagi pembacanya.
C.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Wujud Kode Masyarakat Pedagang dengan Pembeli di Pasar
Cicadas
Kode bahasa Sunda
menjadi bahasa yang dominan untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari di
masyarakat pasar Cicadas karena dipengaruhi oleh letak geografisnya yang berada
di daerah kabupaten Bandung. Berikut hasil analisa terhadap penggunaan bahasa
Sunda serta penggunaan tingkat tutur yang di lingkungan pasar tradisional Cicadas
Kabupaten Bandung.
1. Penggunaan Kode Bahasa Sunda
Kode bahasa Sunda
merupakan bahasa yang sangat penting digunakan dalam percakapan transaksi
pedagang dan pembeli di pasar tradisional Cicadas. Dilihat berdasarkan data
yang diambil dalam percakapan yang terjadi dalam 16 data percakapan yang
diambil dari pedagang dan pembeli berdasarkan jenis kelamin mereka maka
penggunaan bahasa Sunda hampir muncul dan bertahan dipergunakan oleh mereka pada setiap tuturan yang
mereka lakukan. Berikut pemaparan yang dapat digambarkan sebagai bukti
penggunaan bahasa Sunda secara pembentukan kata yang muncul.
a. Pedagang Laki-laki dengan Pembeli
Laki-laki
Penggunaan bahasa Sunda
pada percakapan yang melibatkan pedagang laki-laki dan pembeli laki-laki banyak
menggunakan kata dengan prefiks sa-, seperti kata sabaraha, satengah,
dan sakilo. Kata sabaraha merupakan bentuk interogratif yang
paling sering digunakan dan merupakan sebuah kata dengan maksud menanyakan.
Seperti dalam potongan percakapan berikut:
Potongan percakapan DL1BL1:
- BL1 :
sabaraha satenga:h
(berapa ini setengah (kilo) (memegang
kol))
- DL1 : wayahna
ayeunamah dalapan juta sakilo
(mohon maklum, sekarang harganya delapan juta (ribu) satu kilo)
Kata satengah merupakan kata
campuran dengan menyatukan kata tengah dan prefiks sa-, sehingga meminta
barang dalam jumlah tengah mungkin dalam hal ini adalah dalam kilogram sama
seperti dalam kata sakilo (satu kilo).
Kode Percakapan DL1BL1
- DL1 : wayahna
ayeunamah dalapan juta sakilo
(mohon maklum, sekarang harganya delapan juta (ribu) satu kilo)
- BL1 : ah ni
sakitu
(ah masa segitu)
Sementara itu bentuk yang lain adalah
penggunaan sufiks –na seperti dalam kata wayahna yang berarti
merayu/menyadarkan. Sementara itu untuk kata yang tanpa ditambahi dengan
sisipan adalah kata ayeuna (sekarang), mah, dalapan (delapan), juta
(juta), nyeta (itulah makanya), deui, juragan dan heula
(dulu(an). Adapun bentuk lain adalah berupa kata ah dan ni.
Bentuk kata seperti ini merupakan bentuk keluhan atau menandakan
ketidaksetujuan akan hal berupa barang dan harga yang ada. Ketika DL1
menyebutkan harga dengan secara langsung ajuan harga tersebut sikeluhkan.
b. Pedagang Laki-laki dengan Pembeli
Perempuan
Hampir sama dengan
percakapan pedagang laki-laki dengan pembeli laki-laki. Percakapan antara
pedagang laki-laki dengan pembeli perempuan pun juga dicirikan oleh penggunaan
diksi dengan awallan sa- yaitu kata sakumaha, sabaraha, sakitu,
satengah, dan sakilo. Seperti dalam potongan percakapan berikut:
Kode Percakapan DL2BP2:
- BP2 : suung sabaraha
(jamur berapa)
- DL2 : lima rebu
(lima ribu)
Kode Percakapan DL2BP1
- DL2 :
sakumaha bu
(berapa banyak bu)
- BP1 : satengah
jeung sakilo
(setengah dan satu kilo)
Memang menggunakan
sabaraha sudah pasti tidak akan terpisah dari transaksi. Namanya transaksi
perdagangan sudah pasti akan melibatkan dua pihak yang hendak membeli dan
menjual, kata sabaraha dan jawaban harga satu atau jumlah barang
merupakan bagian pasangan ujaran yang paling pas dalam hal ini seperti yang
diterangkan dalam pembahasan selanjutnya tentang pasangan ujaran terdekat.
Sementara itu
penggunaan kata bahasa Sunda lainnya adalah kata ayeuna, mah, dalapan, juta,
nyeta, naek, sok, atuh, naon deui dan juragan. Untuk pedagang
perempuan pun juga hampir sama dengan dua percakapan yang telah diberikan
dengan jelas tentang pemilihan kode bahasa yang digunakan. Banyak pedagang
perempuan yang juga menggunakan bahasa Sunda untuk mereka pergunakan dalam bertransaksi
seperti pada dua percakapan berikut:
c. Pedagang Perempuan dengan Pembeli
Laki-laki
Dalam segi morfologi, sebagai ciri khas bahasa Sunda yang
dipergunakan pedagang perempuan dan pembeli laki-laki tidak jauh berbeda dengan
pilihan kata yang lain sebelumnya. Bentuk kata sisipan yang dipergunakan adalah
kata “rebueun” yang berasal dari kata rebu dan akhiran –eun.
Seperti dalam potongan percakapan berikut:
Kode Percakapan DP1BLI:
- BL1 : cik ceu
cengek dua rebueun mah
(coba ceu cabe rawit dua ribu)
- DP1 :
sabaraha
(berapa)
- BL1 : cengek
dua rebueun
(cabe rawit dua ribu)
- DP1 : oh
(oh)
Pada percakapan ini akhiran –eun yang muncul
diutarakan pembeli, mungkin ini akan menggambarkan perasaan pembeli laki-laki
yang tidak terlalu banyak ingin bicara dengan penjual wanita. Dengan menakar
jumlah dengan harga barang yang disertakan akhiran maka barang yang diminta
oleh pembeli merupakan barang dengan jumlah takaran sesuai harga yang
disebutkan misal dua rebueun berarti pembeli tidak mau berdebat lagi
dengan menerima harga yang diberikan oleh pedagang. Selanjutnya ada juga kata
dengan sisipan tengah –ar- seperti dalam kata harejo pada
potongan percakapan berikut:
Kode Percakapan DP1BL1:
- BL1 : harejo
kieu cabe teh nya
(warnanya hijau seperti ini cabenya)
- DP1 : harejo
ge da cengek
(hijau juga cabe rawit)
Kata harejo
menunjukkan penggunaan sebuah sisipan untuk mengungkapkan sifat untuk benda
yang jamak. Dalam petikan contoh di atas terlihat bahwa kata harejo mengacu
pada bendanya yaitu cabe.. dengan kata lain si penutur mengungkapkan bahwa
sebagian besar cabe berwarna hijau. Tambahan kata lainnya kebanyakan merupakan
kata dasaran yang tidak ditambahi dengan sisipan.
d. Pedagang Perempuan dengan Pembeli
Perempuan
Percakapan yang melibatkan pedagang perempuan dengan pembeli
perempuan menggambarkan penggunaan bahasa Sunda yaitu pada kata “sabarahaan”
yang terdiri dari kata sabaraha dengan sufiks –an seperti dalam potongan
percakapan berikut:
Kode Percakapan BP1DP2:
- BP1 : bu ari
ieu kangkung sabarahaan bu
(bu kalau ini kangkung berapa harganya bu
- DP2 : sarebuan
neng
(seribuan neng)
Ungkapan kata sabarahaan
“berapa harga satu buahnya?” merupakan sebuah ekspresi untuk menanyakan
barang tertentu namun BP1 berniat menanyakan secara lebih sepesifik barang
tersebut. Pertanyaan yang diajukan seperti ungkapan tersebut biasanya
akan menimbulkan jawaban sarebuan yaitu kata sarebu dan sufiks –an
sebagai respon yang menjawab pertanyaan tadi kata sarebuan memiliki fungsi yang
sama artinya bahwa harga barang yang ditanyakan tersebut seharga yang
diberikan. Terdapat juga sufiks lainnya yaitu sufiks –na, seperti dalam kata “tidituna”.
Dalam sufiks ini sering digunakan untuk mengungkapan adapun pembuka percakapan
dikenali dengan sedikit perubahan tempo ucapan. Misalkan dalam percakapan BP1
membuat panggilan “bu” menjadi sedikit lebih panjang dari ucapan lainnya. Ini
setidaknya memberikan sinyal kepada BP1 yang bersangkutan dan mengajak dia
untuk berdialog atau melakukan transaksi. Sebenarnya kadar keakraban dari BP1
dan DP2 tidak terlalu akrab, namun ada sedikit usaha dari BP1 untuk membuat
percakapan sedikit luwes sehingga BP1 dapat menawar harga secara lebih murah.
Contoh-contoh di atas
memberikan kita gambaran bahwa masyarakat pedagang dan pembeli di pasar
tradisional Cicadas masih memegang teguh bahasa daerahnya yaitu bahasa Sunda.
16 buah percakapan transaksi yang ada menunjukkan keseluruhan hampir menggunakan bahasa Sunda sebagai sarana
untuk berkomunikasi tanpa terkecuali. Pemilihan bahasa Sunda menjadi dominan
karena seluruh pembeli yang ada pada data percakapan semuanya mengawali dengan
ungkapan berbahasa Sunda. Adapun menurut penulis, penggunaan bahasa lain di
luar bahasa Sunda terjadi pada saat ada salah satu peserta dari percakapan
memberikan stimulus berupa bahasa lain.
Maka secara umum dapat
digambarkan bahwa penggunaan bahasa Sunda pada kalangan pedagang dan pembeli
berbahasa Sunda di pasar tradisional Cicadas Kabupaten Bandung banyak
menggunakan kata prefiks sa- seperti kata sabaraha, satengah dan sakilo.
Kata-kata tersebut digunakan untuk bertanya jawab. Kata sabaraha akan
menimbulkan jawaban kata berawalan sa- juga. Selanjutnya adalah kata dengan
sufiks –na seperti dalam kata wayahna yang berate merayu/ menyadarkan.
Kata sisipan lain adalah kata “rebueun” yang berasal dari kata rebu dan
akhiran –eun, sisipan tengah –ar- seperti dalam kata harejo.
D. SIMPULAN
Dari hasil analisis terhadap percakapan transaksi
masyarakat pedagang dan pembeli di pasar tradisional Cicadas, kita dapat
melihat bahwa percakapan mereka memilki beberapa ciri yang dapat dirasakan
terutama dalam konsep percakapan, pilihan bahasa, pola giliran bicara serta
beberapa pengaruh yang ditimbulkan. Dengan mengacu pada pertanyaan penelitian
dan proses analisis yang ada pada pembahasan dengan berladaskan teori yang
relevan maka terdapat beberapa hasil yang dapat dikerucutkan berkaitan dengan
variasi dan kode bahasa percakapan transaksi pedagang dan pembeli di pasar Cicadas
yaitu :
Penggunaan kode bahasa Sunda sangat penting digunakan
dalam percakapan transaksi pedagang dan pembeli di pasar tradisional Cicadas.
Dilihat berdasarkan data yang diambil dalam percakapan yang terjadi dalam 16
data percakapan yang diambil dari pedagang dan pembeli berdasarkan jenis
kelamin mereka maka penggunaan bahasa sunda hampir muncul dan bertahan
dipergunakan oleh mereka pada setiap tuturan yang mereka lakukan. Kode yang muncul adalah bahasa sunda
dengan diksi prefiks sa- seperti dalam kata sabarahadan sakit, awalan
sa-, dengan kalimat “satengah” yang
berarti memesan sejumlah setengah dalam kilogram. Diksi lain yang menunjukan
intensitas penggunaan bahasa Sunda yaitu dengan akhiran –na dalam kata “wayahna”, akhiran –eunseperti dalam kata sarebuen dan lain-lain.
Alwasilah, A. Chaedar. Filsafat Bahasa dan Pendidikan.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010
Corbin,
Juliet dan Strauss. Basic of Qualitative
Research. New Delhi: Sage Publication. 2003
Fasya,
Mahmud. Pemilihan Bahasa dalam Masyarakat
Sunda. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. 2009
Keraf, Gorys. Lingusitik Bandingan Historis. Jakarta: Gramedia. 1991
Kridalaksana, Harimurti. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia. 1984
Poedjosoedarmo,
Supomo. Kode dan Alih Kode.
Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa. 1986
Samsudin,
Muhammad dan Hurhayati. Penggunaan Bahasa
Indonesia dalam Aktifitas Jual Beli di Pasar Anduonohu dan di Mall Mandunga
Kota Kendari: Kajian Sosioliguistik.2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar