BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Salah
satu bagian program penyelenggaraan pembelajaran bahasa yang paling paling
setelah pelaksanaannya adalah evaluasi. Evaluasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
penyelenggaraan pembelajaran secara keseluruhan. Evaluasi sebagai suatu
pembelajaran, pembelajaran bahasa diselenggarakan untuk mencapai sejumlah
tujuan pembelajaran yang telah diidentifikasi dan dirumuskan berdasarkan telaah
mendalam terhadap kebutuhan yang perlu dipenuhi.[1]
Tujuan-tujuan pembelajaran itu diupayakan pencapaiannya melalui serangkaian
kegiatan pembelajaran yang dirancang secara matang dan saksama dan dilaksanakan
secara sungguh-sungguh agar tujuan-tujuan pembelajaran dapat dicapai secara
semestinya. Pada hakikatnya kedudukan evaluasi dalam desain pembelajaran adalah
”sebagai bagian akhir dari rangkaian tiga komponen pokok penyelenggaraan
pembelajaran, yaitu tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan evaluasi
hasil kegiatan pembelajaran.”[2]
Implikasi dari diterapkannya standar kompetensi dalam pembelajaran adalah
proses penilaian yang dilakukan oleh guru harus menggunakan acuan kriteria,
baik pada penilaian yang bersifat formatif maupun sumatif. Hal yang harus
diperhatikan dalam menerapkan standar kompetensi dalam penilaian seperti
mengembangkan penilaian otentik berkelanjutan (continuous authentic
assessment) yang menjamin pencapaian dan penguasaan kompetensi.
Salah satu contoh fokus pelaksanaan evaluasi di Sekolah-sekolah Victorians oleh Russell Cross dan
Margaret Gearon dari Universitas Melbourne
Australia, terletak pada:
• How
can schools and teachers be better prepared to use the CLIL approach to support Languages
education in Victorian schools?
• What
factors support or inhibit the implementation of Languages education using a CLIL approach in Victorian
schools?
• Does
the CLIL approach to languages learning improve student engagement and motivation in learning a language amongst Victorian
students?[3]
Berdasarkan contoh di atas maka fokus utama
evaluasi pada pembelajaran bahasa. “Pembelajaran Bahasa” lebih menekankan pada
kegiatan belajar peserta didik (child-centered) secara sungguh-sungguh
yang melibatkan aspek intelektual, emosional, dan sosial, sedangkan kata
“pengajaran” lebih cenderung pada kegiatan mengajar guru (teacher-centered) di
kelas. Dengan demikian, kata “pembelajaran bahasa” ruang lingkupnya lebih luas
daripada kata “pengajaran”. Dalam arti luas, pembelajaran merupakan suatu
proses atau kegiatan yang sistematis dan sistemik, yang bersifat interaktif dan
komunikatif antara pendidik (guru) dengan peserta didik (siswa), sumber
belajar, dan lingkungan untuk menciptakan suatu kondisi yang memungkinkan
terjadinya tindakan belajar peserta didik, baik di kelas maupun di luar kelas
yang dihadiri oleh guru atau tidak dengan untuk menguasai kompetensi seperti
menyimak, membaca, berbicara dan menulis.
Sebagaimana telah dikemukakan diatas, bahwa dalam
prosedur pembelajaran, pembelajaran diperlukan salah satu komponen pembelajaran
yaitu evaluasi. Evaluasi juga merupakan salah satu langkah yang harus ditempuh
guru untuk melihat umpan balik feedback.
Dengan demikian, di lihat dari berbagai konteks pembelajaran, evaluasi
mempunyai kedudukan yang sangat penting dan strategis karena evaluasi merupakan
suatu bagian yang tidak terpisahkan dari pembelajaran itu sendiri. Evaluasi pembelajaran
bahasa menekankan pada evalusi pengelolaan pembelajaran bahasa yang
dilaksanakan oleh pembelajar meliputi keefektifan strategi pembelajaran yang
dilaksanakan, keefektifan media pembelajaran bahasa, cara mengajar yang
dilaksanakan dan minat, serta sikap dan cara belajar siswa.
B.
Pembatasan Masalah
Dalam makalah ini
akan dibahas beberapa hal, seperti:
1. Pengertian Evaluasi Pengajaran Bahasa
2. Fungsi dan Tujuan Evaluasi Pengajaran Bahasa
3. Objek Evaluasi Pengajaran Bahasa
4. Instrumen Tes untuk Evaluasi Pengajaran Bahasa
5. Penelitian yang Relevan mengenai Evaluasi Pengajaran Bahasa.
C.
Manfaat Penulisan
Secara umum makalah ini dapat
bermanfaat untuk para pemerhati pendidikan seperti, dosen, mahasiswa, guru,
instruktur dan peneliti di bidang pendidikan. Sedangkan secara khusus, makalah
ini diperuntukkan untuk mahasiswa S3 pendidikan bahasa agar mendapatkan
pemahaman yang mendalam untuk melihat manfaat evaluasi dalam pembelajaran bahasa, sehingga kelak dapat seorang ahli bahasa yang dapat
mengevaluasi setiap programnya agar semakin lebih baik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Evaluasi dalam Pengajaran Bahasa
a) Pengertian Evaluasi
Istilah evaluasi
merupakan suatu istilah yang dalam bahasa Inggrisnya dikenal dengan kata evaluation yang berarti penilaian.
Hamalik mengemukakan bahwa evaluasi merupakan suatu proses yang berkelanjutan
tentang pengumpulan dan penafsiran informasi untuk menilai keputusan-keputusan
yang dibuat dalam rancang suatu sistem pengajaran.[4]
Selanjutnya, Wahyuni dan Ibrahim mengatakan bahwa evaluasi adalah kegiatan
identifikasi untuk melihat apakah suatu program yang telah direncanakan telah
tercapai atau belum, berharga atau tidak, dan dapat pula untuk melihat tingkat
efisiensi pelaksanaannya[5].
Kemudian, menurut Richards dan Renandaya “Evaluation
must take place at all stages of curriculum planning and implementation, and
involve all participants.[6]
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, secara
garis besar dapat disimpulkan bahwa evaluasi adalah suatu proses yang dilakukan
oleh seseorang secara terus menerus untuk menetapkan suatu keputusan terhadap
pencapaian suatu kegiatan atau program. Dikatakan evaluasi merupakan suatu
proses karena evaluasi tentunya dilakukan berdasarkan suatu kriteria tertentu.
Selain itu, evaluasi juga dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan pemberian
nilai terhadap kualitas tertentu. Dengan demikian, evaluasi merupakan penetapan
suatu keputusan hasil pengukuran dengan cara membandingkan angka hasil
pengukuran tersebut dengan criteria tertentu.[7]
Berdasarkan batasan Depdiknas (dalam Jihad
dan Haris) evaluasi merupakan kegiatan yang dilakukan guru untuk memperoleh
informasi secara objektif, berkelanjutan dan menyeluruh tentang proses dan
hasil belajar siswa, yang hasilnya digunakan sebagai dasar untuk menentukan
perlakuan selanjutnya.[8]
Sementara itu, Grondlund (dalam Jihad dan Haris) mengatakan penilaian sebagai
proses sistematik pengumpulan, penganalisaan dan penafsiran informasi untuk
menentukan sejauh mana siswa mencapai tujuan. Oleh karena itu, untuk melakukan
penilaian tentu saja harus melakukan suatu pengukuran. Sebagaimana yang
dikatakan oleh Arikunto, untuk dapat melaksanakan penilaian perlu melakukan
pengukuran terlebih dahulu, sedangkan pengkuran tidak akan mempunyai makna yang
berarti tanpa dilakukan penilaian.[9]
Pengukuran dapat
diartikan sebagai pemberian angka kepada suatu atribut atau karakteristik
tertentu yang didasarkan pada aturan atau formulasi yang tepat.[10] Dengan demikian, inti dari penilaian adalah
proses memberikan atau menentukan makna terhadap hasil belajar tertentu
berdasarkan hasil belajar yang diperoleh melalui pengukkuran. Proses pemberian
nilai tersebut berlangsung dalam bentuk interpretasi yang berakhir dengan judgement. Judgement merupakan tema
penilaian yang mengapllikasikan adanya suatu perbandingan antara kriteria dan
kenyataan dalam konteks situasi tertentu. Atas dasar itu, maka dalam penilaian
selalu ada objek/program, ada kriteria, dan ada judgement.[11]
b) Pengertian Evaluasi dalam Pengajaran Bahasa
Pengajaran merupakan serangkaian kegiatan
yang terpadu antara pelatihan, penugasan, penyediaan kondisi dengan komponen
kurikulum, bahan ajar, media, metode, lingkungan, guru, dan siswa untuk
mencapai tujuan tertentu.[12]
Pengajaran bahasa dapat
dibatasi sebagai suatu proses atau cara mengajarkan bahasa kepada siswa. dalam
pelaksanaannya, pengajaran bahasa ditandai oleh serangkaian kegiatan yang
sistematis dan berkesinambungan dengan melibatkan sejumlah komponen pendukung.
Dalam pengajaran bahasa, siswa tentunya ditempatkan sebagai subjek kegiatan,
sedangkan bahasa ditempatkan sebagai objek untuk diajarkan kepada siswa.
Evaluasi formatif dalam proses pembelajaran bahasa dan evaluasi sumatif di
akhir pembelajaran merupakaan hal yang penting dan saling melengkapi dalam
pembelajaran bahasa. Hal ini dipertegas oleh Richards “in the integrated approach, both formative evaluation during the
planning and implementation of the curriculum, and summative evaluation at the
end of the program, are important and complementary.[13]
Dalam
pengajaran bahasa, evaluasi juga merupakan bagian yang terpenting. Betapa
tidak, sebagai suatu pengajaran, pengajaran bahasa diselenggarakan untuk
mencapai sejumlah tujuan pengajaran yang telah diidentifikasikan dan dirumuskan
berdasarkan telaah mendalam terhadap kebutuhan yang harus dipenuhi. Oleh karena
itu, untuk mengetahui pencapaian hasil belajar tersebut dilakukan suatu
penilaian atau evaluasi. Penggunaan evaluasi dalam pengajaran bahasa dapat
dilakukan dengan menggunakan beberapa pendekatan.[14]
1. Pendekatan Diskret
Pendekatan diskret
bersumber pada pendekatan struktural dalam kajian kebahasaan. Dalam pendekatan
struktural, bahasa dianggap sebagai sesuatu yang memiliki struktur yang tertata
rapi, dan terrdiri dari komponen-komponen bahasa, yaitu komponen bunyi bahasa,
kosa kata, dan tata bahasa. Komponen-komponen itu tersusun secara berjenjang
menurut struktur tertentu. Dalam struktur itu, bagian-bagian kecil bersama-sama
membentuk bagian-bagian yang lebih besar lagi, dan demikian selanjutnya, sampai
terbentuknya bahasa sebagai struktur terbesar.
Dalam tes bahasa,
pendekatan diskret dimaksudkan untuk mengukur tingkat penguasaan terhadap satu
jenis kemampuan berbahasa atau komponen bahasa. Dalam pengertian itu, suatu
bentuk tes bahasa hanya dapat merupakan salah satu dari tes mendengarkan, tes
berbicara, tes membaca, tes menulis, tes bunyi bahasa, tes kata-kata, dan tes
tata bahasa. Dengan demikian, kemampuan mendengarkan, berbicara, membaca, dan
menulis harus diteskan secara terpisah. Kemampuan reseptif dan produktif harus
dites dalam tes yang berbeda.
2. Pendekatan integratif
Jika dalam pendekatan
diskret, aspek-aspek bahasa dan keterampilan berbahasa dapat dilakukan secara
terpisah, maka dalam tes integrative aspek dan keterampilan berbahasa itu dicakup
secara keseluruhan secara bersamaan. Jika dalam tes diskret, pada satu waktu
hanya mengevaluasi satu aspek kebahasaan saja, pendekatan integratif berusaha
mengukur kemampuan siswa mempergunakan berbagai aspek kebahasaan atau beberapa
keterampilan berbahasa. Dengan demikian, pendekatan integratif beranggapan
bahwa bahasa merupakan penggabungan dari bagian-bagian atau komponen-komponen
bahasa, yang bersama-sama membentuk bahasa.
Evaluasi pembelajaran
bahasa dengan pendekatan integrative dilakukan dengan cara mengukur penguasaan
kemampuan berbahasa. Atas dasar penguasaan terhadap gabungan beberapa bagian
dari komponen bahasa dan kemampuan berbahasa.
3. Pendekatan pragmatik
Pendekatan pragmatik
merupakan suatu pendekatan dalam evaluasi keterampilan berbahasa untuk mengukur
seberapa baik siswa mempergunakan elemen-elemen bahasa sesuai dengan konteks
komunikasi yang nyata. Pendekatan pragmatik mengutamakan peranan penggunaan bahasa
senyatanya dalam kajian terhadap bahasa, termasuk tes bahasa. Pendekatan
pragmatik mengaitkan bahasa dengan penggunaan senyatanya, yang melibatkan tidak
saja unsur-unsur kebahasaan seperti kata-kata, frasa, atau kalimat, tetapi
unsur-unsur di luarnya juga, yang selalu terkait dalam setiap bentuk penggunaan
bahasa. Kehadiran unsur-unsur
nonkebahasaan yang tidak dapat dihindarkan itu menghasilkan suatu bentuk
penggunaan bahasa yang lengkap, yang mampu mengungkapkan pesan sesuai dengan
yang ingin disampaikan oleh pemakai bahasanya.
Sesuai dengan
pandangannya terhadap bahasa, bentuk-bentuk evaluasi pembelajaran bahasa dalam
pendekatan pragmatik, dianggap sebagai tes yang memenuhi ciri-ciri pragmatik.
Bentuk-bentuk tes itu selalu menggunakan wacana yang mengandung konteks, bukan
semata-mata kalimat atau kata-kata lepas. Mengerjakan tes yang menggunakan
wacana mempersyaratkan kemampuan memahami unsur-unsur kebahasaan dan non
kebahasaan sebagai bagian dari pemahaman terhadap wacana secara keseluruhan.
4. Pendekatan Komunikatif
Pendekatan komunikatif
mendasarkan pandangannya terhadap penggunaan bahasa dalam komunikasi
sehari-hari senyatanya. Sebagai suatu pendekatan dengan orientasi
psikolinguistik dan sosiolinguistik, pendekatan komunikatif mementingkan
peranan unsur-unsur non kebahasaan, terutama unsur yang terkait dengan
terlaksananya komunikasi yang baik. Pendekatan komunikatif memperluas konteks
itu dengan memperhatikan unsur-unsur yang mengambil bagian dalam terwujudnya
komunikasi yang baik. Sebagai akibatnya, pendekatan komunikatif secara rinci
mempersoalkan seluk-beluk komunikasi (siapa yang berkomunikasi, bagaiman
hubungan antar mereka yang melakukan komunikasi, apa maksud dan tujuan dilakukannya
komunikasi, dalam bagaimana komunikasi terjadi, dan sebagainya) yang merupakan
tujuan pokok penggunaan bahasa.
Dalam tes bahasa,
penerapan pendekatan komunikatif berdampak terhadap berbagai segi
penyelenggaraannya, terutama jenis dan isi wacana yang digunakan, kemampuan
berbahasa yang menjadi sasaran, serta bentuk tugas, soal, atau pertanyaannya.
Semua itu harus ditentukan atas dasar ciri komunikatifnya, yaitu hubungan
kesesuaiannya dengan penggunaaan bahasa dalam komunikasi senyatanya.
Pendekatan pragmatik
mempunyai persamaan dengan pendekatan komunikatif. Keduanya menekankan
kemampuan siswa untuk berkomunikasi dengan bahasa dalam situasi tertentu. Penilaian terhadap
kemampuan siswa lebih ditekankan pada kemampuan menghasilkan dan atau memahami
informasi dan bukan pada semata-mata ketepatan bahasa yang digunakan.
Selain dapat dilakukan
dengan pendekatan yang telah disebutkan di atas, evaluasi dalam pengajaran
bahasa dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu tes dan non tes. Tes adalah suatu
cara untuk mengadakan evaluasi yang berbentuk tugas atau serangkaian tugas yang
harus dikerjakan oleh peserta tes, sehingga menghasilkan skor tentang prestasi
atau tingkah laku peserta tes, yang dibandingkan dengan nilai standar tertentu
yang telah ditetapkan.[15]
Berdasarkan pelaksanaannya, tes yang dapat dilaksanakan dalam pengajaran bahasa
adalah tes tulis, tes lisan, dan tes praktik. Berdasarkan kompetensi berbahasa,
tes dapat dibedakan menjadi tes kompetensi kebahasaan dan keterampilan
berbahasa. Selain tes, dalam pengajaran bahasa terdapat juga evaluasi yang
berbentuk nontes. Proses evaluasi nontes dapat diperoleh melalui berbagai
teknik, yaitu penilaian performansi, penilaian proyek, dan penilaian
portofolio.
B. Fungsi Evaluasi dalam
Pengajaran Bahasa
Menurut Jihad dan Haris
fungsi evaluasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu fungsi hasil belajar dan
fungsi evaluasi program pengajaran.[16]
Fungsi evaluasi hasil
belajar antara lain:
1. Fungsi formatif
Yaitu evaluasi yang dilakkukan selama proses pembelajaran berlangsung.
2. Fungsi sumatif
Yaitu evaluasi hasil belajar yang dilakukan pada akhir program
pembelajaran,
3. Fungsi diagnostik
Yaitu evaluasi yang dilakukan untuk mengungkapkan kesulitan-kesulitan
subyek didik
4. Fungsi selektif
Yaitu untuk memilih dan mengelompokkan subyek didik atas dasar
cirri-ciri atau kemampuan yang cocok pada suatu strategi belajar-mengajar
tertentu.
5. Fungsi motivasi
Yaitu untuk memberikan motivasi belajar.
Fungsi evaluasi program
pengajaran antara lain:
A. Laporan untuk orang tua dan siswa
-
Bagi siswa:
1. Dapat mengetahui apakah ia sudah menguasai bahan yang dibarikan oleh
guru,
2. Dapat memahami bagian yang mana yang belum dikuasai sehingga ia dapat
mempelajari seefektif mungkin,
3. Dapat menjadi penguatan bagi siswa yang sudah menguasai dan mendorong
untuk lebih giat lagi.
B. Laporan untuk sekolah
Dalam operasionalnya, pelaporan untuk sekolah lebih berorientasi dalam
membangun penguatan peserta didik dalam:
1. Mengadakan remedial
2. Mengadakan pengayaan
3. Perbaikan pembelajaran yang dilakukan guru,
4. Penilaian kinerja guru oleh kepala sekolah
C. Laporan untuk masyarakat
Fungsinya untuk
melakukan akuntabilitas publik untuk melihat kurikulum yang sedang dijalankan.
Tujuan dari evaluasi
pembelajaran bahasa yaitu yang paling utama untuk mengetahui keberhasilan
program pembelajaran bahasa yang telah dilaksanakan. Tujuan lainnya untuk
mengetahui efektifitas program pembalajaran yang memfokuskan pada guru,
metodologi, materi ajar, dan sebagainya. Menurut Richards and Renandya, “the primary purpose of evaluation is to
determinate whether or not the curriculum goals have been met, which, in the
case of a language programme, will be based on a assessment of the participants
in the progamme. Another purpose is to determine the effectiveness of the
curriculum and to evaluate the language programme itself, which will focus on
the teachers, the methodology, the materials and so on.[17]
Selanjutnya, tujuan
evaluasi pembelajaran bahasa menurut Michael M. Meyer
yaitu,
“Evaluation studies attempt to ascertain the general effectiveness of broad classes of
programs for the purposes of informing public policy. As with research
studies, the use of controlled conditions and even randomization adds to their
value. A given program or intervention is likely to vary from site to site with regard to the details of
implementation, and an evaluation
study often covers a variety of subpopulations. Thus, design of an
evaluation study can be extremely
difficult.” [18]
Berdasarkan
pendapat para pakar di atas, maka fungsi dan tujuan evaluasi pembelajaran
bahasa adalah untuk meninjau seberapa jauh keberhasilan program dan untuk
memberikan laporan ke masyarakat sebagai bentuk pertanggung jawaban
penyelenggara pendidikan, setelah melalui teknik pengambilan kesimpulan dengan
instrumen-instrumen yang valid dan reliable baik secara kualitatif maupun
kuantitatif.
C.
Instrumen untuk Evaluasi Pengajaran Bahasa
Banyak alat yang dapat digunakan dalam
kegiatan evaluasi, beberapa jenis bergantung dari sudut mana kita melihatnya. Jika
dilihat dari teknik atau cara yang digunakan, maka alat evaluasi dapat dibagi
menjadi dua, yaitu tes dan nontes. Istilah tes tidak hanya populer di
lingkungan persekolahan tetapi juga di luar sekolah bahkan di masyarakat umum.
Dalam kegiatan pembelajaran, tes banyak digunakan untuk mengukur hasil belajar
peserta didik dalam bidang kognitif, seperti pengetahuan, pemahaman, aplikasi,
analisis, sintesis, dan evaluasi. Penggunaan tes dalam dunia pendidikan sudah
dikenal sejak dahulu kala, sejak orang mengenal pendidikan itu sendiri.
Artinya, tes mempunyai makna tersendiri dalam pendidikan dan pembelajaran.
1.
Jenis Tes
Tes
merupakan suatu teknik atau cara yang digunakan dalam rangka melaksanakan
kegiatan pengukuran, yang didalamnya terdapat berbagai pertanyaan, pernyataan
atau serangkaian tugas yang harus dikerjakan atau dijawab oleh peserta didik
untuk mengukur aspek perilaku peserta didik. Tes
dapat dibedakan atas beberapa jenis, dan pembagian jenis-jenis ini dapat
ditinjau dari berbagai sudut pandang. Heaton, membagi tes menjadi empat bagian,
yaitu tes prestasi belajar (achievement test), tes penguasaan (proficiency
test), tes bakat (aptitude test), dan tes diagnostik (diagnostic
test).[19] Untuk
melengkapi pembagian jenis tes tersebut, Brown menambahkan satu jenis tes lagi
yang disebut tes penempatan (placement test). Dalam bidang psikologi,
tes dapat diklasifikasikan menjadi empat bagian, yaitu :
a.
Tes intelegensia umum, yaitu tes untuk mengukur kemampuan umum seseorang.
b.
Tes kemampuan khusus, yaitu tes untuk mengukur kemampuan potensial dalam bidang
tertentu.
c.
Tes prestasi belajar, yaitu tes untuk mengukur kemampuan aktual sebagai hasil
belajar.
d.
Tes kepribadian, yaitu tes untuk mengukur karakteristik pribadi seseorang.
Berdasarkan jumlah peserta didik, tes hasil belajar dapat
dibedakan atas dua jenis, yaitu tes kelompok dan tes perorangan. Tes kelompok,
yaitu tes yang diadakan secara kelompok. Disini guru akan berhadapan dengan
sekelompok peserta didik. Tes perorangan yaitu tes yang dilakukan secara
perorangan (individual). Disini guru akan berhadapan dengan seorang peserta
didik. Jika dilihat
dari cara penyusunannya, tes dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu tes buatan
guru dan tes yang dibakukan[20] :
a. Tes Buatan Guru (teacher-made test)
Tes
buatan guru adalah tes yang disusun sendiri oleh guru yang akan mempergunakan
tes tersebut. Tes ini biasanya digunakan untuk ulangan harian, formatif, dan
ulangan umum (sumatif). Tes buatan guru ini dimaksudkan
untuk mengukur tingkat penguasaan peserta didik terhadap materi pelajaran yang
sudah disampaikan. Bentuk soal harus dibuat secara logis dan rasional mengenai
pokok-pokok materi apa saja yang patut dan seharusnya ditanyakan sebagai bahan
pengetahuan penting untuk diketahui dan dipahami oleh peserta didiknya.
Kualitas tes atau tingkat kesahihan dan keandalannya masih belum menjamin
keobjektifannya, sebab hanya diberikan kepada sekelompok peserta didik, kelas,
dan madrasah tertentu saja. Jadi, masih bersifat sektoral, karena belum
diujicobakan kepada sekelompok besar, sehingga pengukurannya masih belum
meyakinkan.
Begitu juga tingkat
kesukaran itemnya tidak didasarkan atas sifat-sifat atau karakteristik peserta
didiknya. Mereka dianggap memiliki taraf berpikir dan taraf penguasaan materi
yang sama. Padahal, setiap peserta didik secara psikologis mempunyai kemampuan yang
berbeda. Oleh sebab itu, sebaiknya item-item tes disusun secara cermat
berdasarkan tingkat kemampuan individu yang heterogen, sedangkan
penjelasan-penjelasan yang bersifat umum bisa sama. Tes buatan guru bersifat
temporer, artinya hanya berlaku pada saat tertentu dan situasi tertentu pula.
Pada kesempatan lain belum tentu tes tersebut dapat digunakan, karena mungkin
berubah, baik bentuk itemya maupun kapasitas peserta didiknya.
Ada tes buatan guru yang
bersifat hafalan semata, dan ada pula yang bersifat analitis. Sebagai guru yang
profesional tentu akan menyusun soal yang berimbang dari kedua sifat tersebut.
Hal ini dimaksudkan agar peserta didik dapat mengetahui siapa yang mempunyai
kemampuan yang mantap dalam mengingat atau menghafal sesuatu, dan siapa pula
yang mempunyai daya pikir yang kritis, analitis, luas dan asosiatif. Situasi
terakhir inilah yang harus diciptakan guru.
2. Tes yang Dibakukan (standardized
test)
Tes yang dibakukan atau tes baku adalah tes yang sudah
memiliki derajat validitas dan reliabilitas yang tinggi berdasarkan
percobaan-percobaan terhadap sampel yang cukup besar dan representatif. Tes
baku adalah tes yang dikaji berulang-ulang kepada sekelompok besar peserta
didik, dan item-itemnya relevan serta mempunyai daya pembeda yang tinggi. Di
samping itu, tes baku telah diklasifikasikan sesuai dengan tingkat usia dan
kelasnya. Tes baku biasanya telah dianalisis secara statistik dan diuji secara
empiris oleh para ahli (pakar), karena itu dapat dinyatakan sahih (valid) untuk
digunakan secara umum. Pengolahan secara statistik dimaksudkan untuk mencari
derajat kesahihan dan keandalan serta daya pembeda yang tinggi dari setiap
item, sehingga soal itu betul-betul tepat diberikan dan dapat dijadikan alat
pengukur kemampuan setiap orang secara umum. Sedangkan pengujian secara empiris
dimaksudkan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan setiap item. Tes baku
bertujuan untuk mengukur kemampuan peserta didik dalam tiga aspek, yaitu
kedudukan belajar, kemajuan belajar, dan diagnostik. Beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam pengembangan tes baku, antara lain :
a.
Aspek yang hendak diukur. Dalam keterangan tes tersebut dijelaskan aspek
apa saja yang hendak diukur, misalnya kemampuan membaca, perbendaharaan
pengetahuan umum, sikap, minat, kepribadian.
b.
Pihak penyusun. Nama orang, baik secara individual maupun kelompok
ataupun organisasi yang merancang tes itu, perlu dicantumkan dalam tes
tersebut. Misalnya, tes bahasa Inggris yang diselenggarakan oleh Modern
Language Association (TEOFL) oleh College Entrance Examination Board and
Educationaal Testing Service, tes masuk perguruan tinggi negeri yang
sekarang kita kenal dengan istilah SNM-PTN. Nama pihak penyusun tes akan
memberikan jaminan mutu dan kesahihan tesnya.
c.
Tujuan penggunaan tes. Tujuan penggunaan tes perlu dirumuskan dengan
jelas dan tegas, sehingga tidak mengaburkan tester dalam mengambil kesimpulan
tentang peserta didik. Ada tujuan tes untuk diagnostik, ada pula untuk
mengetahui hasil belajar peserta didik. Semua itu harus dicantumkan dalam keterangan
tentang tes tersebut. Jika tujuan penggunaan tes tidak diketahui atau
diabaikan, maka fungsi tes tersebut akan hilang dan tidak akan mencapai apa
yang diharapkan. Dengan demikian, tester akan memperoleh gambaran yang keliru
tentang testi, akhirnya kesimpulan yang ditarik daripadanya akan salah pula.
d.
Sampel. Dalam tes itu disebutkan pula sampel yang akan digunakan dan
variasi heterogenitasnya untuk dikenai tes tersebut. Selain itu dinyatakan pula
lamanya waktu yang dibutuhkan dalam pelaksanaan tes itu dan berapa kali tes itu
dapat dicobakan kepada testi yang sama atau berlainan. Jika ketentuan tentang
sampel, waktu, dan frekuensi pelaksanaan ini kurang ditaati, fungsi tes itu
akan kurang meyakinkan.
e.
Kesahihan dan keandalan. Agar tes tersebut sahih (valid) dan andal
(reliabel), maka ketentuan-ketentuan tentang cara atau langkah-langkah yang
ditempuh harus dipatuhi, baik oleh tester maupun oleh testi, sehingga
pelaksanaannya dapat berjalan dengan lancar tanpa mengalami kesulitan yang
berarti. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kesahihan dan keandalan suatu tes.
f.
Pengadministrasian. Ketentuan-ketentuan pokok mengenai
pengadministrasian suatu tes perlu disusun secara teratur dan baik sesuai
dengan fungsi administrasi itu sendiri, mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
sampai pada penilaian. Dalam perencanaan perlu dimuat waktu, bahan atau materi,
tujuan dan cara pelaksanaannya. Sedangkan dalam pelaksanaan perlu dimuat tempat
atau ruangan dimana tes itu dilaksanakan, pengawas tes, dan jumlah peserta didik
yang mengikuti tes tersebut. Dalam penilaian perlu dimuat teknik atau prosedur
mengolah data, sehingga data tersebut dapat memberikan makna bagi semua pihak.
Oleh sebab itu, Anda harus membuat laporan untuk orang tua , pemerintah, kepala
madrasah dan peserta didik itu sendiri.
g.
Cara menskor. Setelah tes dilaksanakan dan data sudah terkumpul,
selanjutnya perlu diolah. Dalam pengolahan harus diperhatikan pendekatan
penilaian yang digunakan, standar norma, passing grade, dan peringkat (ranking).
Untuk pendekatan penilaian dapat digunakan penilaian acuan patokan (criterion-
referenced assessment) atau penilaian acuan norma (norm-referenced
assessment). Hal ini bergantung kepada tujuan dan maksud evaluasi itu
sendiri. Begitu juga dengan standar norma, ada standar 0 – 4, 0 – 10 dan 0 –
100. Standar norma yang digunakan harus disesuaikan dengan kebutuhan. Di
samping itu, perlu pula ditentukan batas lulus (passing grade) dan
peringkat (ranking) dari keseluruhan testi agar guru dapat mengetahui
kedudukan seorang peserta didik dibandingkan dengan peserta didik lainnya.
Semua catatan dan keterangan mengenai skoring tes ini harus didokumentasikan
dalam suatu berkas dan dibuat laporan pemeriksaan untuk dijadikan bahan pedoman
dalam pelaksanaan tes berikutnya. Dokumen ini harus dirahasiakan bagi siapapun.
Pada zaman modern sekarang ini, ketika teknologi sudah semakin canggih,
pelaksanaan penskoran dan penentuan batas lulus dapat dilakukan dengan cepat
dan tepat oleh pesawat komputer di samping secara manual.
h.
Kunci jawaban. Biasanya pada lembaran soal dilampirkan kunci jawaban
sekalian untuk dijadikan dasar dalam pemeriksaan. Ada kalanya lembar kunci
jawaban ini disatukan dengan petunjuk pelaksanaan, skoring, dan tata tertib
tes. Pada tes tertulis berbentuk esai, kunci jawabannya hanya memuat
pokok-pokok materi yang penting saja yang harus dicantumkan oleh testi sebagai
syarat dalam tesnya. Sedangkan dalam tes tertulis berbentuk objektif, kunci
jawabannya memuat jawaban yang pasti. Di samping itu, ditetapkan pula
ketentuan-ketentuan mengenai cara menggunakan kunci jawaban agar tidak salah
penggunaannya.
i.
Tabel skor mentah (raw score) dan skor terjabar. Selain
lampiran-lampiran peraturan mengenai pelaksanaan tes, disertakan pula
tabel-tabel yang diperlukan untuk pengolahan skor mentah ke dalam skor terjabar
serta petunjuk pelaksanaannya.
j.
Penafsiran. Akhirnya, setelah seluruh tes itu rampung dikerjakan
sampailah kepada penafsiran tentang hasil tes itu. Kecenderungan apa yang dapat
kita temukan dan bagaimana keputusan serta kesimpulannya, akan diperoleh
setelah diadakan penafsiran data.
Ketentuan-ketentuan
di atas merupakan ketentuan pokok yang harus diperhatikan dalam melaksanakan
suatu tes, sehingga hasil tes dapat memenuhi standar yang kita harapkan. Dalam
penyelenggaraan suatu tes hendaknya dibentuk suatu panitia dengan beberapa staf
anggotanya serta pembagian kerjanya (job description). Di samping itu,
disusun pula jadwal kerja panitia, dan yang tidak kurang pentingnya adalah
tersedianya dana untuk pembiayaan tes tersebut Ada beberapa perbedaan antara
tes baku dengan tes buatan guru yaitu[21] :
Tes Baku
|
Tes Buatan Guru
|
Ø Berdasarkan isi dan tujuan-tujuan yang bersifat umum.
Ø Mencakup pengetahuan dan kecakapan yang luas.
Ø Dikembangkan oleh tenaga yang berkompeten dan profesional.
Ø Item-item sudh diujicobakan, dianalisis, dan direvisi.
Ø Memiliki ukuran-ukuran bermacam-macam kelompok yang
secara luas mewakili performance seluruh daerah.
|
Ø Berdasarkan isi dan tujuan-tujuan yang bersifat khusus.
Ø Mencakup pengetahuan dan kecakapan yang khusus.
Ø Dikembangkan oleh seorang guru tanpa bantuan dari luar.
Ø Item-item jarang diujicobakan sebelum menjadi bagian
dari tes tersebut.
Ø Memiliki derajat kesahihan dan keandalan yang rendah.
Ø Biasanya terbatas pada kelas atau satu sekolah sebagai suatu
kelompok pemakainya.
|
Berdasarkan
aspek pengetahuan dan keterampilan, maka tes dapat dibagi menjadi dua jenis,
yaitu tes kemampuan dan tes kecepatan.
a. Tes Kemampuan (power test)
Prinsip
tes kemampuan adalah tidak adanya batasan waktu di dalam pengerjaan tes. Jika
waktu tes tidak dibatasi, maka hasil tes dapat mengungkapkan kemampuan peserta
didik yang sebenarnya. Sebaliknya, jika waktu pelaksanaan tes dibatasi, maka
ada kemungkinan kemampuan peserta didik tidak dapat diungkapkan secara utuh.[22] Artinya, skor yang diperoleh bukan
menggambarkan kemampuan peserta didik yang sebenarnya. Namun demikian, bukan
berarti peserta didik yang paling lambat harus ditunggu sampai selesai. Tes
kemampuan menghendaki agar sebagian peserta didik dapat menyelesaikan tes dalam
waktu yang disediakan. Implikasinya adalah guru harus menghitung waktu
pelaksanaan tes yang logis, rasional, dan proporsional ketika menyusun
kisi-kisi tes.
b. Tes Kecepatan (speed test)
Aspek
yang diukur dalam tes kecepatan adalah kecepatan peserta didik dalam
mengerjakan sesuatu pada waktu atau periode tertentu.[23] Pekerjaan tersebut biasanya relatif mudah,
karena aspek yang diukur benar-benar kecepatan bekerja atau kecepatan berpikir
peserta didik, bukan kemampuan lainnya. Misalnya, guru ingin mengetes kecepatan
berlari, kecepatan membaca, kecepatan mengendarai kendaraan, dan sebagainya
dalam waktu yang telah ditentukan.
Selanjutnya,
dilihat dari bentuk jawaban peserta didik, maka tes dapat dibagi menjadi tiga
jenis, yaitu tes tertulis, tes lisan, dan tes perbuatan. Tes tertulis atau
sering disebut paper and pencil test adalah tes yang menuntut jawaban
dari peserta didik dalam bentuk tertulis. Tes tertulis ada yang bersifat formal
dan ada pula yang bersifat nonformal. Tes yang bersifat formal meliputi jumlah
testi yang cukup besar yang diselenggarakan oleh suatu panitia resmi yang
diangkat oleh pemerintah. Tes formal mempunyai tujuan yang lebih luas dan
didasarkan atas standar tertentu yang berlaku umum. Sedangkan tes nonformal
berlaku untuk tujuan tertentu dan lingkungan terbatas yang diselenggarakan
langsung oleh pihak pelaksana dalam situasi setengah resmi tanpa melalui institusi
resmi. Tes tertulis ada dua bentuk, yaitu bentuk uraian (essay) dan
bentuk objektif (objective).
2.
Jenis Non Tes
Para ahli berpendapat
bahwa dalam melakukan evaluasi pembelajaran, kita dapat menggunakan teknik tes
dan nontes, sebab hasil belajar atau pembelajaran bersifat aneka ragam. Hasil
belajar dapat berupa pengetahuan teoritis, keterampilan dan sikap. Pengetahuan
teoritis dapat diukur dengan menggunakan teknik tes. Keterampilan dapat diukur
dengan menggunakan tes perbuatan. Adapun perubahan sikap dan petumbuhan anak
dalam psikologi hanya dapat diukur dengan teknik nontes, misalnya observasi,
wawancara, skala sikap, dan lain-lain.[24] Dengan kata lain, banyak proses dan hasil
belajar yang hanya dapat diukur dengan teknik nontes.
a. Observasi (observation)
Sebenarnya observasi merupakan suatu proses yang alami,
dimana kita semua sering melakukannya, baik secara sadar maupun tidak sadar di
dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam kelas, Anda sering melihat, mengamati dan
melakukan interpretasi. Dalam kehidupan sehari-haripun kita sering mengamati
orang lain. Pentingnya observasi dalam kegiatan evaluasi pembelajaran
mengharuskan guru untuk memahami lebih jauh tentang judgement, bertindak
secara reflektif, dan menggunakan komentar orang lain sebagai informasi untuk
membuat judgement yang lebih reliabel.
Observasi
merupakan salah satu alat evaluasi jenis nontes yang dilakukan dengan jalan
pengamatan dan pencatatan secara sistematis, logis, objektif dan rasional
mengenai berbagai fenomena, baik dalam situasi yang sebenarnya maupun dalam
situasi buatan untuk mencapai tujuan tertentu.[25] Observasi tidak hanya digunakan dalam
kegiatan evaluasi, tetapi juga dalam bidang penelitian, terutama penelitian
kualitatif (qualitative research). Tujuan utama observasi adalah (1)
untuk mengumpulkan data dan informasi mengenai suatu fenomena, baik yang berupa
peristiwa maupun tindakan, baik dalam situasi yang sesungguhnya maupun dalam
situasi buatan, (2) untuk mengukur perilaku kelas, interaksi antara peserta
didik dengan guru, dan faktor-faktor yang dapat diamati lainnya, terutama
kecakapan sosial (social skills). Dalam evaluasi, observasi dapat
digunakan untuk menilai proses dan hasil belajar peserta didik, seperti tingkah
laku peserta didik pada waktu belajar, berdiskusi, mengerjakan tugas, dan
lain-lain. Selanjutnya Good dkk. mengemukakan enam ciri observasi,[26] yaitu :
1.
Observasi mempunyai arah yang khusus, bukan secara tidak teratur melihat
sekeliling untuk mencarai kesan-kesan umum.
2.
Observasi ilmiah tentang tingkah laku adalah sistematis, bukan secara sesuka
hati dan untung-untungan mendekati situasi.
3.
Observasi bersifat kuantitatif, mencatat jumlah peristiwa tentang tipe-tipe
tingkah laku tertentu.
4.
Observasi mengadakan pencatatan dengan segera; pencatatan-pencatatan dilakukan
secepat-cepatnya, bukan menyandarkan diri pada ingatan.
5.
Observasi meminta keahlian, dilakukan oleh seseorang yang memang telah terlatih
untuk melakukannya.
6.
Hasil-hasil observasi dapat dicek dan dibuktikan untuk menjamin keadaan dan
kesahihan.
b. Wawancara (interview)
Wawancara
merupakan salah satu bentuk alat evaluasi jenis non-tes yang dilakukan melalui
percakapan dan tanya-jawab, baik langsung maupun tidak langsung dengan peserta
didik. Pengertian wawancara langsung adalah wawancara yang dilakukan secara
langsung antara pewawancara (interviewer) atau guru dengan orang yang
diwawancarai (interviewee) atau peserta didik tanpa melalui perantara.
Sedangkan wawancara tidak langsung artinya pewawancara atau guru menanyakan
sesuatu kepada peserta didik melalui perantara orang lain atau media. Jadi,
tidak menemui langsung kepada sumbernya.
Tujuan wawancara adalah :
1. Untuk memperoleh informasi secara langsung
guna menjelaskan suatu situasi dan kondisi tertentu.
2. Untuk melengkapi suatu penyelidikan
ilmiah.
3. Untuk memperoleh data agar dapat
mempengaruhi situasi atau orang tertentu.
Wawancara
mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihan wawancara antara lain
(1) dapat berkomunikasi secara langsung kepada peserta didik, sehingga
informasi yang diperoleh dapat diketahui objektifitasnya (2) dapat memperbaiki
proses dan hasil belajar (3) pelaksanaan wawancara lebih fleksibel, dinamis dan
personal. Sedangkan kelemahan wawancara adalah (1) jika jumlah peserta didik
cukup banyak, maka proses wawancara banyak menggunakan waktu, tenaga, dan biaya
(2) adakalanya terjadi wawancara yang berlarut-larut tanpa arah, sehingga data
kurang dapat memenuhi apa yang diharapkan (3) sering timbul sikap yang kurang
baik dari peserta didik yang diwawancarai dan sikap overaction dari guru
sebagai pewawancara, karena itu perlu adanya adaptasi diri antara pewawancara
dengan orang yang diwawancarai.
c. Skala Sikap (attitude scale)
Sikap
merupakan suatu kecenderungan tingkah laku untuk berbuat sesuatu dengan cara,
metode, teknik dan pola tertentu terhadap dunia sekitarnya, baik berupa
orang-orang maupun berupa objek-objek tertentu. Sikap mengacu kepada perbuatan
atau perilaku seseorang, tetapi tidak berarti semua perbuatan identik dengan
sikap. Perbuatan seseorang mungkin saja bertentangan dengan sikapnya. Anda
perlu mengetahui norma-norma yang ada pada peserta didik, bahkan sikap peserta
didik terhadap dunia sekitarnya, terutama terhadap mata pelajaran dan
lingkungan madrasah. Jika terdapat sikap peserta didik yang negatif, Anda perlu
mencari suatu cara atau teknik tertentu untuk menempatkan atau mengubah sikap
negatif itu menjadi sikap yang positif.
Dalam
mengukur sikap, Anda hendaknya memperhatikan tiga komponen sikap, yaitu (1)
kognisi, yaitu berkenaan dengan pengetahuan peserta didik tentang objek, (2)
afeksi, yaitu berkenaan dengan perasaan peserta didik terhadap objek, dan (3)
konasi, yaitu berkenaan dengan kecenderungan berprilaku peserta didik terhadap
objek. Anda juga harus memilih salah satu model skala sikap.[27] Adapun model-model skala sikap yang biasa
digunakan untuk menilai sikap peserta didik terhadap suatu objek, antara lain :
1. Menggunakan bilangan untuk menunjukkan
tingkat-tingkat dari objek sikap yang dinilai, seperti 1, 2, 3, 4 dan
seterusnya.
2. Menggunakan frekuensi terjadinya atau
timbulnya sikap itu, seperti : selalu, seringkali, kadang-kadang, pernah dan
tidak pernah.
3. Menggunakan
istilah-istilah yang bersifat kualitatif, seperti : bagus
sekali, baik, sedang, dan kurang. Ada juga
istilah-istilah lain, seperti :
sangat setuju, setuju, ragu-ragu (tidak
punya pendapat), tidak setuju,
dan sangat tidak setuju.
4. Menggunakan istilah-istilah yang
menunjukkan status/kedudukan, seperti : sangat rendah, di bawah rata-rata, di
atas rata-rata, dan sangat tinggi.
5. Menggunakan kode bilangan atau huruf,
seperti : selalu (diberi kode 5), kadang-kadang (4), jarang (3), jarang sekali
(2), dan tidak pernah (1).
Salah
satu model untuk mengukur sikap, yaitu dengan menggunakan skala sikap yang
dikembangkan oleh Likert. Dalam skala Likert, peserta didik tidak disuruh
memilih pernyataan-pernyataan yang positif saja, tetapi memilih juga
penyataan-pernyataan yang negatif. Tiap item dibagi ke dalam lima skala, yaitu
sangat setuju, setuju, tidak tentu, tidak setuju, dan sangat tidak setuju.
Setiap pernyataan positif diberi bobot 4, 3, 2, 1, dan 0, sedangkan pernyataan
negatif diberi bobot sebaliknya, yaitu 0, 1, 2, 3, dan 4.
E. Penelitian yang Relevan mengenai Evaluasi Pengajaran Bahasa
1. Evaluation of Two Popular EFL Coursebooks
Evaluation of Two Popular EFL Coursebooks
Manoochehr Jafarigohar
Department of Foreign Languages, Payame Noor
University, P.O. Box: 19395-4697 Tehran, Iran
E-mail: jafarigohar2007@yahoo.com
Esmaeil Ghaderi (Corresponding author)
Department of Foreign Languages, Payame Noor
University, P.O. Box: 19395-4697 Tehran, Iran
E-mail: ghaderi43@gmail.com
Received: 02-08-2013 Accepted: 08-09-2013 Published:
01-11-2013
doi:10.7575/aiac.ijalel.v.2n.6p.194 URL:
http://dx.doi.org/10.7575/aiac.ijalel.v.2n.6p.194
Abstract
This study investigates two EFL coursebooks commonly
taught in Iran, namely Topnotch and Total English. Thirty three
teachers with minimum one year experience of teaching the two books evaluated
them using a checklist of the evaluation of EFL coursebooks. Analysis of the
obtained data by t-test showed that the difference between the two
coursebooks was statistically significant in some criteria. Teachers were
more satisfied with Topnotch than Total English in the criteria such
as language components, tasks, activities, exercises, and critical discourse
analysis features. On the other hand, they were more satisfied with Total English than the other
coursebook in a criterion considered as
general considerations. The difference between the two
coursebooks was not significant in some criteria including structures,
skills, and teacher’s manual. Findings of the study can be beneficial for the
authors of the two coursebooks, EFL teachers, curriculum and material
developers, administrators of language institutes, and also students
interested in learning EFL.
Keywords:
Topnotch, Total English, EFL coursebook, evaluation
|
2.
Evaluation of Listening
Skill of ELT Textbook at Secondary School Level
Evaluation of Listening Skill of ELT Textbook at
Secondary School Level
Mumtaz Ahmed (Corresponding author)
Govt. Postgraduate College of Science Faisalabad Pakistan
E-mail: webmumtaz@gmail.com
Humaira Yaqoob
University of Sargodha Women Campus Faisalabad Pakistan
E-mail: humaira.yaqoob4@gmail.com
Maimoona Yaqoob
University of Sargodha Women Campus Faisalabad Pakistan
E-mail: monafasal@gmail.com
Doi:10.7575/aiac.alls.v.6n.3p.225 Received: 21/02/2014
URL: http://dx.doi.org/10.7575/aiac.alls.v.6n.3p.225
Accepted: 29/04/2015
Abstract
Textbook evaluation means development of textbook that
is based on rigorous research. In Pakistan text books are designed on
communicative language teaching which focuses on communication. Morley (1991)
has asserted that listening has a critical role in communication and in
language acquisition because the better the students understand, the better
they will be able to speak. In our text books, listening practices (text and
activities) are missing, and listening plays a secondary role as compared to
speaking, as it is part of oral work that are dialogues and role play,
neglecting that during conversation in English our students face hurdles in
quick thinking and accurate predicting because of
ignoring listening skill which help in learning sound,
rhythm, intonation, pronunciation, vocabulary and grammatical details. The
researchers’ intention here is to put different views on importance of
listening skill and to evaluate English Text Books prescribed in Punjab
government school whether they contain listening material, corresponding
activities and related audio video material in text books.
Keywords:
Evaluation, listening skill, ELT, textbook, Punjab Textbook Board
(PTB)
|
3.
AN EVALUATION OF GUIDED READING IN THREE PRIMARY
SCHOOLS IN THE WESTERN CAPE
AN EVALUATION OF
GUIDED READING IN THREE PRIMARY SCHOOLS IN THE WESTERN CAPE
A Kruizinga & R
Nathanson1
University of
Stellenbosch
___________________________________________________________________________
Given that the South
African government intends to improve its literacy rates by implementing
Guided Reading in the primary schools, teachers are challenged to give good
quality Guided Reading instruction. The study which this article draws on
evaluates how teachers understand and implement Guided Reading in Grade 1 and
2 at three public schools in the Western Cape. Data were drawn from
observations of teachers using Fountas & Pinnell’s Guided Reading
instruction and a Guided Reading Self-Assessment Inventory. Analyses of the
above-mentioned quantitative and qualitative research data indicate that
South African teachers have a superficial understanding of Guided Reading.
The study suggests that South African teachers struggle to implement Guided
Reading in the classroom, because they do not create Guided Reading groups
based on ongoing assessment and the teachers do not have access to levelled
Guided Reading books. Furthermore, the new policy requirements for Guided
Reading appear to fail to offer teachers a sufficient explanation of Guided
Reading. I argue that, without addressing these basic requirements, it is
unlikely that Guided Reading will be implemented with any success in the
South African classrooms.
|
4.
Improving the Process of
Student Evaluation
Improving the Process
of Student Evaluation
Gabriela Neacşu1, Laura Patache2,
Daniel Dăneci-Pătrău3, Camelia Boarcăş4, Alina Valentina Gherco5
Abstract: In this paper we analyzed the
process of student evaluation from ―Spiru Haret‖ University. The process
under consideration occurs according to a specific Procedure – Process of
student evaluation from the Manual of Quality Assurance Procedures, ―Spiru
Haret‖ University, Edition 1, 2012. The goal of this procedure, mentioned in
the Manual, is to present the student evaluation procedure by using the
Blackboard educational platform and other evaluation techniques of quality
learning, based on materials developed by teachers of ―Spiru Haret‖
University, as well as
corresponding
responsibilities, in order to increase the learning process quality and the
exigency degree in the examination process, as well as students‘ satisfaction
measured by accumulated competences. We appreciate that the purpose of this
procedure is first and foremost to ensure transparency and objectivity in
exam passing decision. After identifying the weaknesses with the―cause -
effect‖ chart, we have sought to improve student evaluation process using
PDCA (Plan-Do-Check-Act) method, resulting in the design of a new assessment
flowchart.
Keywords: higher education;
improvement of process; student evaluation; assessment
|
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Evaluasi merupakan suatu istilah yang dalam
bahasa Inggrisnya dikenal dengan kata evaluation
yang berarti penilaian. Dalam pengajaran bahasa, evaluasi juga merupakan
bagian yang terpenting. Betapa tidak, sebagai suatu pengajaran, pengajaran
bahasa diselenggarakan untuk mencapai sejumlah tujuan pengajaran yang telah
diidentifikasikan dan dirumuskan berdasarkan telaah mendalam terhadap kebutuhan
yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, untuk mengetahui pencapaian hasil belajar
tersebut dilakukan suatu penilaian atau evaluasi. Penggunaan evaluasi dalam
pengajaran bahasa dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa pendekatan.
Banyak alat yang dapat digunakan dalam
kegiatan evaluasi, beberapa jenis bergantung dari sudut mana kita melihatnya.
Jika dilihat dari teknik atau cara yang digunakan, maka alat evaluasi dapat
dibagi menjadi dua, yaitu tes dan nontes. Dalam kegiatan pembelajaran, tes
banyak digunakan untuk mengukur hasil belajar peserta didik dalam bidang kognitif, seperti
pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.
Pengetahuan teoritis dapat diukur dengan
menggunakan teknik tes. Keterampilan dapat diukur dengan menggunakan tes
perbuatan. Adapun perubahan sikap dan petumbuhan anak dalam psikologi hanya
dapat diukur dengan teknik nontes, misalnya observasi, wawancara, skala sikap,
dan lain-lain
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainal. Evaluasi Pembelajaran : Prinsip-Teknik-Prosedur, Cetakan Ke-3, Bandung : PT.Remaja Rosdakarya. 2011.
Good, C.V., A.S.Bar, and D.E.Scates. The Metodology of
Educational Research. New York : Appleton Century-Crofts, Inc. 1936.
Gronlund, N.E. Measurement and Evaluation
in Teaching, Fifth Edition. New York : Mc Millan Publishing Co., Inc. 1985.
Nitko, A. J., Educational Assessment of Students, Second Edition, New Jersey : Englewood
Cliffs. 1996.
[1] H.H Renner. et.al. A Practical Introduction to
Measurement and Evaluation. (USA: Apleton-Century
Crafts, Inc.1967), h. 20.
[2] Zainal Arifin. Evaluasi
Pembelajaran: Prinsip-Teknik-Prosedur. (Bandung:PT.Remaja Rosdakarya, 2011), h. 32.
[3] Russell
Cross dan Margaret Gearon “Research and
Evaluation and of the Content and
Language Integrated Learning (CLIL) Approach to Teaching and Learning
Languages in Victorian Schools”. (Universitas Melbourne Australia, 2013), h. 6.
[4] Oemar Hamalik. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan
Pendekatan Sistem, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2008), h. 210.
[5] Sri Wahyuni dan Syukur
Ibrahim, Asesmen Pembelajaran Bahasa,
(Bandung:PT Refika Aditama, 2012), h. 3.
[6] Jack C. Richards and Willy
A. Renandya, Methodology in Language
Teaching, (New York: Cambridge,
2002) h. 77.
[7] Hamzah B. Uno, Assessment Pembelajaran, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2012), h.3.
[8] Asep Jihad &Abdul
Haris, Evaluasi Pembelajaran,
(Yogyakarta: Multipresindo, 2012) h. 55.
[9] Asep Jihad & Abdul
Haris, Evaluasi Pembelajaran,(Yogyakarta:
Multipresindo, 2012) h. 55.
[10] Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h.
2.
[11] Asep Jihad dan Abdul Haris, Evaluasi Pembelajaran, (Yogyakarta:Multipresindo,
2012) h. 54.
Sebagai Bahasa Kedua” (http://file.upi.edu/direktori/dual- modes/pembinaan_bahasa_indonesia_sebagai_bahasa_kedua/7_bbm_5.pdf, diakses 17 Mei
2016, pukul 17.00 WIB)
[13] Jack C. Richards And Willy
A. Renandya op.cit. h. 77
[14] Sri Wahyuni dan Abd.
Syukur Ibrahim, Asesmen Pembelajaran
Bahasa, (Bandung: PT Refika Aditama, 2012) hh, 5-7.
[15] Sri Wahyuni dan Abd.
Syukur Ibrahim. Asesmen Pembelajaran
Bahasa, (Bandug: PT Refika Aditama, 2012) h11.
[16] Asep
Jihad dan Abdul Haris. Evaluasi
Pembelajaran, (Yogyakarta: Multipresindo, 2010) hh, 56-57.
[17] Jack C. Richards And Willy A. Renandya, op.
cit, h. 77
[18] Michael
M. Meyer. The Case of Bilingual Education
Strategies Assessing Evaluation Studies Education,
Bilingual--United States—Evaluation, (Washington
D.C: National Academies Press 1992), h.
22.
[19] Zainal Arifin. Evaluasi
Pembelajara: Prinsip-Teknik-Prosedur, Cetakan
Ke-3. (Bandung : PT.Remaja
Rosdakarya. 2011), h. 130.
[22] A. J.Nitko. Educational Assessment of Students,
Second Edition. (New
Jersey : Englewood Cliffs. 1996), h. 134
[24] N. E. Gronlund. Measurement
and Evaluation in Teaching, Fifth Edition. (New York : Mc Millan
Publishing Co., Inc. 1985), h. 91.
[26] Good, C.V., A.S.Bar, and D.E.Scates. The Metodology of Educational Research. (New York : Appleton
Century-Crofts, Inc. 1936), h. 404
id like to use your article as my reference in my research. could you tell me your full nme, please?
BalasHapusMy full Name is Franscy
BalasHapusapakah sama antara pengajaran dan pembelajaran ?
BalasHapus