BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat
Lampung dalam bentuknya yang asli memiliki struktur hukum adat tersendiri.
Bentuk masyarakat hukum adat tersebut berbeda antara kelompok masyarakat yang
satu dengan yang lainnya, kelompok-kelompok tersebut menyebar diberbagai tempat
di daerah lain di Lampung. Perbedaan kelompok tersebut tercermin dalam upacara
adat dalam perkawinan tradisional.
Adat istiadat
masyarakat Lampung dibedakan kedalam dua golongan adat yaitu Pepadun dan Peminggir (Sai
Batin). Adat istiadat Pepadun dipakai oleh orang lampung yang tinggal di
kawasan Abung, Way kanan / Sungkai, Tulang bawang dan Pubian bagian
pedalaman. Masyarakat Lampung Pepadun mengenal adanya hukum adat yang
dilandaskan pada bagian adat Lampung siwo migo, yang berisi
beragam peraturan dan larangan yang harus ditaati oleh pemimpin dan masyarakatnya dalam segala hal kehidupan.
Begitu juga didalam proses pernikahan, adat pepadun
memiliki beberapa peraturan yang harus dipatuhi oleh semua masyarakatnya.
Beberapa tahapan yang harus dilakukan baik sebelum maupun sesudah pernikahan
memiliki makna tersendiri. Bagi masyarakat adat pepadun proses pernikahan
adalah proses yang sakral dimana dalam setiap tahapanya memiliki nilai-nilai
budaya leluhur yang sangat dihormati
oleh masyarakatnya. Nilai budaya memang tidak bisa terlepas dari peran adat istiadat,
dikarenakan budaya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama
lain. Dimana Edward Taylor melihat kebudayaan merupakan sesuatu yang kompleks
yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat
dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan yang didapat menusia sebagai anggota
masyarakat.[1]
Didalam proses pernikahan bagi adat pepadun, memiliki
tahapan-tahapan tersendiri baik sebelum maupun sesudah proses pernikahan.
Penulis dimakalah ini hanya akan mengkaji pada tahapan poses setelah
pernikahan, karena pada tahapan tersebut memilik banyak sekali kaitan dengan
nilai budaya yang masih sangat kental dan dipertahankan oleh masyarakat adat
pepadun diLampung dalam proses pernikahannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Nilai Budaya
Nilai budaya merupakan
nilai-nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, yang mengakar
pada suatu kebiasaan, kepercayaan (believe), simbol-simbol, dengan
karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan
prilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi.
Menurut Koentjaraningrat sistem nilai budaya merupakan abstraksi dari
adat-istiadat yang merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam
pikiran sebagian besar warga suatu masyarakat.[2] Sementara itu Susanto mengatakan bahwa pada
perkembangan, pengembangan, penerapan budaya
dalam kehidupan, berkembang pula nilai – nilai yang melekat di
masyarakat yang mengatur keserasian, keselarasan, serta keseimbangan. Nilai
tersebut dikonsepsikan sebagai nilai budaya.[3]
Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai budaya adalah
suatu bentuk konsepsi umum yang dijadikan pedoman dan petunjuk di dalam
bertingkah laku baik secara individual, kelompok atau masyarakat secara
keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut dalam proses kehidupan.
B. Upacara Setelah Pernikahan Adat Lampung Pepadun
Adat Lampung pepadun memiliki beberapa proses upacara
adat yang harus dilakukan bagi calon mempelai pria dan wanita, prosesnya
sendiri memilik perbedaan tata cara untuk melakukanya. Secara umum ada tiga
tahapan dalam proses pernikahan dalam adat Lampung pepadun, diawali dengan
upacara adat pada hari sebelum pernikahan, pada hari pernikahan dan pada hari
setelah pernikahan.[4]
Dari ketiga tahapan tersebut, penulis hanya akan mengkaji tentang proses
upacara adat setelah hari pernikahanya yang didalamnya terkait dengan nilai
kebudayan masyarakat adat Lampung pepadun. Prosesi setelah pernikahan terdiri
dari dua upacara adat yang disebut dengan Upacara
Ngurukken Majeu/Ngekuruk dan Tabuhan Talo Balak.[5]
C. Nilai Budaya Dalam Proses Setelah
Pernikahan
Ada
beberapa tahapan ataupun proses yang harus dilakukan setelah hari pernikahan,
meliputi:
a) Ngurukken Majeu
Ini merupakan proses dimana mempelai wanita dibawa ke rumah mempelai pria setelah melakukan proses akad nikah dengan menaiki rato, sejenis kereta roda empat dan jepanon atau
tandu. Pengantin pria memegang tombak bersama pengantin wanita dibelakangnya.
Bagian ujung mata tombak dipegang pengantin pria, digantungi kelapa tumbuh dan
kendi berkepala dua, dan ujung tombak bagian belakang digantungi labayan putih
atau tukal dipegang oleh pengantin wanita, yang disebut seluluyan. Kelapa
tumbuh bermakna
tersendiri bagi budaya adat pepadun dimana dapat dilambangkan umur yang panjang dan beranak pinak (memiliki keturunan), kendi bermakna keduanya hendaknya dingin hati dan setia dunia
sampai akhirat, dan lebayan atau benang setungkal bermakna membangun rumah
tangga yang sakinah dan mawadah. pengantin berjalan perlahan diiringi musik
tradisional talo balak, dengan tema sanak mewang diejan. Dalam prosesi ini banyak sekali hal-hal
yang masih menjadi kepercayaan masyarakat adat Lampung pepadun yang memiliki
kaitan dengan nilai budaya yang ditinggalkan oleh leluhur mereka, dan bila
hal-hal tersebut dilaksanakan oleh pasangan pengantin baru, dipercaya akan
dapat membawa kebaikan dan kebahagian bagi pasangan pengantin baru yang akan
menjalani proses kehidupan baru.
b) Tabuhan Talo Balak
Sesampai di rumah pengantin pria, mereka disambut tabuhan talo
balak irama girang-girang dan tembakan meriam, serta orangtua dan keluarga
dekat mempelai pria, sementara itu, ibu
dari pengantin pria akan menaburkan beras kunyit
campur uang logam. Ini
diartikan sebagai simbol kesejahteraan nantinya bagi kedua pasangan pengantin
baru tersebut.
Berikutnya pengantin wanita mencelupkan kedua kaki kedalam pasu,
yakni wadah dari tanah liat beralas talam kuningan, berisi air dan anak pisang
batu, kembang titew, daun sosor bebek dan kembang tujuh rupa, pelambang
keselamatan, dingin hati dan berhasil dalam rumah tangga. Lalu dibimbing
oleh mertua perempuan, pengantin wanita bersama pengantin pria masuk ke rumah,
didudukan diatas kasur yang digelar
didepan appai pareppu atau kebik temen, yaitu kamat tidur utama pengantin. Kedua
mempelai duduk bersila dengan posisi lutut kiri mempelai pria menindih lutut
mempelai wanita. Maknanya agar kelak mempelai wanita patuh pada suaminya.
Selanjutnya siger mempelai wanita diganti dengan kanduk tiling atau manduaro
(selendang dililit di kepala), dan dimulailah serangkaian prosesi:
1. Ibu mempelai pria dan wanita menyuapi kedua mempelai ,
dilanjutkan nenek serta tante dan diikuti sesepuh lain.
2. Kedua mempelai memakan sirih dan bertukar sepah antara mereka, yang diartikan saling merasakan dikala
senang dan susah dalam menjalani kehidupan berumah tangga nantinya.
3. Proses berikutnya pemberian gelar yang
dipimpin oleh istri kepala adat dengan memberi gelar
kepada kedua mempelai, dengan cara menekan telunjuk tangan kiri
diatas dahi kedua mempelai secara bergantian, sambil menyebutkan gelar yang diberikan kepada
pasangan pengantin setelah menikah.
4. Kemudian kedua
mempelai menaburkan kacang goreng dan permen gula-gula kepada gadis-gadis yang
hadir, dimaksudkan
agar mereka segera mendapat jodoh. Dan seluruh anak kecil yang hadir diperintahkan merebut ayam panggang
dan lauk pauk lain sisa kedua mempelai, dengan makna agar kedua mempelai segera mendapat keturunan.
Berdasarkan
dari dua proses yang harus dilalui setelah proses pernikahan diatas, baik
pengatin pria atau pun wanita harus melakukan dan melewati tahapan tersebut.
Itu semua didasarkan pada peraturan adat budaya masyarakat Lampung pepadun.
Dimana setiap pemimpin adat serta masyarakatnya harus mematuhi dan melaksanakan
peraturan yang sudah menjadi budaya masyarakat Lampung pepadun. Ini membuktikan
bahwa masyarakat adat Lampung pepadun masih memegang teguh nilai-nilai budaya
dalam prosesi setelah pernikahan, diaman disetiap prosesnya memiliki fungsi dan
tujuan yang sama yaitu untuk menciptakan sepasang keluarga baru yang bahagia
dan tetap melestarikan budaya yang sudah diwariskan oleh leluhur masyarakat
adat Lampung pepadun.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Lampung dikenal
dengan sebutan "Sai Bumi Khua Jukhai", secara Bahasa artinya
Satu Bumi Dua Cabang. Sedangkan berdasarkan Makna yaitu "Sai Bumi (satu Bumi)" bermakna suku bangsa
yang mendiami satu wilayah yang berasal dari keturunan yang sama, dan "Khua
Jukhai (Dua Cabang)"
bermakna dua jenis adat istiadat yang dikenal di masyarakat. Dari semboyan
diatas kita mengenal dua adat istiadat yang ada di masyarakat Lampung yaitu Sai Batin dan Pepadun.
Dua kekayaan
adat yang dimiliki masyarakat lampung tersebut yaitu Adat Sai Batin dan Adat
Pepadun perlu dijaga kelestariannya. Karena walaupun berbeda tetapi tetapi
berasal dari akar rumput yang sama yaitu Hulun Lampung. Perbedaan itu indah dan
menjadikan kita kaya tradisi dan budaya.
Tidak terlepas juga dalam proses pernikahannya. Dimana
prosesi pernikahan tiap suku bangsa berbeda-beda prosesnya.
Masyarakat Lampung memeliki tradisi dan kekhasan sendiri dalam menyelenggarakan
prosesi pernikahan adat, khususnya adat Lampung pepadun. Dalam adat pepadun
memilik beragam peraturan dan larangan yang
harus ditaati oleh pemimpin dan masyarakatnya dalam segala hal kehidupan. Pada
proses setelah menikah pasangan pengatin harus melakukan dua prosesi adat yang
disebut dengan upacara Ngurukken Majeu/Ngekuruk dan Tabuhan Talo
Balak. Terdapat keunikan tersendiri dalam penyelenggaraannya.
Di samping itu, setiap prosesinya syarat akan
makna-makna yang memiliki nilai-nilai budaya yang diwarisi para leluhur
masyarakat Lampung
pepadun. Masih eksisnya upacara pernikahan adat ini menunjukan bahwa masyarakat
Lampung masih menjaga tradisi dan adat leluhur yang merupakan salah satu
khazanah budaya Indonesia yang perlu untuk dijaga dan dilestarikan.
DAFTAR PUSTAKA
Hadikusuma, Hilman,. Adat Istiadat Daerah Lampung. Bandar Lampung: Arian Jaya, 1996.
Puspawidjaja,
Rizani, dkk. Adat Dan Upacara Perkawinan Daerah Lampung. Bandar Lampung: Arian Jaya, 1994.
Surajiyo. “Hubungan
dan Peranan Ilmu terhadap Pengembangan Kebudayaan Nasional”, 2009. http://research.mercubuana.ac.id/?p=84. Di akses
online 28 November 2013.
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu: Sebuah
Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005.
Susanto. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam
Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta: PT. Bumi
Aksara, 2011.
[1] Taylor
dalam Jujun
S.Suriasumantri.
Filsafat
Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2010), hlm.261
[2] Koentjaraningrat
dalam Surajiyo, Hubungan dan Peran Ilmu
terhadap Pengembangan Kebudayaan Nasional. 2009. Hlm. 4
[3] Susanto. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi
Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011)
hlm.22
[5] Rizani.
Puspawidja., dkk. Adat dan Upacara
Perkawinan Daerah Lampung. (Bandar Lampung,:Arian Jaya. 1994). h. 21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar