Minggu, 11 Oktober 2015

NILAI KEBUDAYAAN DALAM PROSES UPACARA ADAT LAMPUNG PEPADUN SETELAH PERNIKAHAN



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masyarakat Lampung dalam bentuknya yang asli memiliki struktur hukum adat tersendiri. Bentuk masyarakat hukum adat tersebut berbeda antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lainnya, kelompok-kelompok tersebut menyebar diberbagai tempat di daerah lain di Lampung. Perbedaan kelompok tersebut tercermin dalam upacara adat dalam perkawinan tradisional.
Adat istiadat masyarakat Lampung dibedakan kedalam dua golongan adat yaitu Pepadun dan Peminggir (Sai Batin). Adat istiadat Pepadun dipakai oleh orang lampung yang tinggal di kawasan Abung, Way kanan / Sungkai, Tulang bawang dan Pubian bagian pedalaman. Masyarakat Lampung Pepadun mengenal adanya hukum adat yang dilandaskan pada bagian adat Lampung siwo migo, yang berisi beragam peraturan dan larangan yang harus ditaati oleh pemimpin dan masyarakatnya dalam segala hal kehidupan.
Begitu juga didalam proses pernikahan, adat pepadun memiliki beberapa peraturan yang harus dipatuhi oleh semua masyarakatnya. Beberapa tahapan yang harus dilakukan baik sebelum maupun sesudah pernikahan memiliki makna tersendiri. Bagi masyarakat adat pepadun proses pernikahan adalah proses yang sakral dimana dalam setiap tahapanya memiliki nilai-nilai budaya leluhur  yang sangat dihormati oleh masyarakatnya. Nilai budaya memang tidak bisa terlepas dari peran adat istiadat, dikarenakan budaya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Dimana Edward Taylor melihat kebudayaan merupakan sesuatu yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan yang didapat menusia sebagai anggota masyarakat.[1]
Didalam proses pernikahan bagi adat pepadun, memiliki tahapan-tahapan tersendiri baik sebelum maupun sesudah proses pernikahan. Penulis dimakalah ini hanya akan mengkaji pada tahapan poses setelah pernikahan, karena pada tahapan tersebut memilik banyak sekali kaitan dengan nilai budaya yang masih sangat kental dan dipertahankan oleh masyarakat adat pepadun diLampung dalam proses pernikahannya. 



BAB II
PEMBAHASAN

A. Hakikat Nilai Budaya
Nilai budaya merupakan nilai-nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan (believe), simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan prilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi.
Menurut Koentjaraningrat sistem nilai budaya merupakan abstraksi dari adat-istiadat yang merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga suatu masyarakat.[2]  Sementara itu Susanto mengatakan bahwa pada perkembangan,  pengembangan,  penerapan  budaya  dalam  kehidupan,  berkembang pula nilai – nilai yang melekat di masyarakat yang mengatur keserasian, keselarasan, serta keseimbangan. Nilai tersebut dikonsepsikan sebagai nilai budaya.[3]
Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai budaya adalah suatu bentuk konsepsi umum yang dijadikan pedoman dan petunjuk di dalam bertingkah laku baik secara individual, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut dalam proses kehidupan.
B. Upacara Setelah Pernikahan  Adat Lampung Pepadun
Adat Lampung pepadun memiliki beberapa proses upacara adat yang harus dilakukan bagi calon mempelai pria dan wanita, prosesnya sendiri memilik perbedaan tata cara untuk melakukanya. Secara umum ada tiga tahapan dalam proses pernikahan dalam adat Lampung pepadun, diawali dengan upacara adat pada hari sebelum pernikahan, pada hari pernikahan dan pada hari setelah pernikahan.[4] Dari ketiga tahapan tersebut, penulis hanya akan mengkaji tentang proses upacara adat setelah hari pernikahanya yang didalamnya terkait dengan nilai kebudayan masyarakat adat Lampung pepadun. Prosesi setelah pernikahan terdiri dari dua upacara adat yang disebut dengan Upacara Ngurukken Majeu/Ngekuruk dan Tabuhan Talo Balak.[5]


C. Nilai Budaya Dalam Proses Setelah Pernikahan
Ada beberapa tahapan ataupun proses yang harus dilakukan setelah hari pernikahan, meliputi:

a) Ngurukken Majeu
Ini merupakan proses dimana mempelai wanita dibawa ke rumah mempelai pria setelah melakukan proses akad nikah dengan menaiki rato, sejenis kereta roda empat dan jepanon atau tandu. Pengantin pria memegang tombak bersama pengantin wanita dibelakangnya. Bagian ujung mata tombak dipegang pengantin pria, digantungi kelapa tumbuh dan kendi berkepala dua, dan ujung tombak bagian belakang digantungi labayan putih atau tukal dipegang oleh pengantin wanita, yang disebut seluluyan. Kelapa tumbuh bermakna tersendiri bagi budaya adat pepadun dimana dapat dilambangkan umur yang panjang dan beranak pinak (memiliki keturunan), kendi bermakna keduanya hendaknya dingin hati dan setia dunia sampai akhirat, dan lebayan atau benang setungkal bermakna membangun rumah tangga yang sakinah dan mawadah. pengantin berjalan perlahan diiringi musik tradisional talo balak, dengan tema sanak mewang diejan. Dalam prosesi ini banyak sekali hal-hal yang masih menjadi kepercayaan masyarakat adat Lampung pepadun yang memiliki kaitan dengan nilai budaya yang ditinggalkan oleh leluhur mereka, dan bila hal-hal tersebut dilaksanakan oleh pasangan pengantin baru, dipercaya akan dapat membawa kebaikan dan kebahagian bagi pasangan pengantin baru yang akan menjalani proses kehidupan baru.
b) Tabuhan Talo Balak
Sesampai di rumah pengantin pria, mereka disambut tabuhan talo balak irama girang-girang dan tembakan meriam, serta orangtua dan keluarga dekat mempelai pria, sementara itu, ibu dari pengantin pria akan menaburkan beras kunyit campur uang logam. Ini diartikan sebagai simbol kesejahteraan nantinya bagi kedua pasangan pengantin baru tersebut.
Berikutnya pengantin wanita mencelupkan kedua kaki kedalam pasu, yakni wadah dari tanah liat beralas talam kuningan, berisi air dan anak pisang batu, kembang titew, daun sosor bebek dan kembang tujuh rupa, pelambang keselamatan, dingin hati dan berhasil dalam rumah tangga. Lalu dibimbing oleh mertua perempuan, pengantin wanita bersama pengantin pria masuk ke rumah, didudukan diatas kasur  yang digelar didepan appai pareppu atau kebik temen, yaitu kamat tidur utama pengantin. Kedua mempelai duduk bersila dengan posisi lutut kiri mempelai pria menindih lutut mempelai wanita. Maknanya agar kelak mempelai wanita patuh pada suaminya. Selanjutnya siger mempelai wanita diganti dengan kanduk tiling atau manduaro (selendang dililit di kepala), dan dimulailah serangkaian prosesi:
1.    Ibu mempelai pria dan wanita menyuapi kedua mempelai , dilanjutkan nenek serta tante dan diikuti sesepuh lain.
2.    Kedua mempelai memakan sirih dan bertukar sepah antara mereka, yang diartikan saling merasakan dikala senang dan susah dalam menjalani kehidupan berumah tangga nantinya.
3.    Proses berikutnya pemberian gelar yang dipimpin oleh istri kepala adat dengan memberi gelar kepada kedua mempelai, dengan cara menekan telunjuk tangan kiri diatas dahi kedua mempelai secara bergantian, sambil menyebutkan gelar yang diberikan kepada pasangan pengantin setelah menikah.
4.    Kemudian kedua mempelai menaburkan kacang goreng dan permen gula-gula kepada gadis-gadis yang hadir, dimaksudkan agar mereka segera mendapat jodoh. Dan seluruh anak kecil yang hadir diperintahkan merebut ayam panggang dan lauk pauk lain sisa kedua mempelai, dengan makna agar kedua mempelai segera mendapat keturunan.
Berdasarkan dari dua proses yang harus dilalui setelah proses pernikahan diatas, baik pengatin pria atau pun wanita harus melakukan dan melewati tahapan tersebut. Itu semua didasarkan pada peraturan adat budaya masyarakat Lampung pepadun. Dimana setiap pemimpin adat serta masyarakatnya harus mematuhi dan melaksanakan peraturan yang sudah menjadi budaya masyarakat Lampung pepadun. Ini membuktikan bahwa masyarakat adat Lampung pepadun masih memegang teguh nilai-nilai budaya dalam prosesi setelah pernikahan, diaman disetiap prosesnya memiliki fungsi dan tujuan yang sama yaitu untuk menciptakan sepasang keluarga baru yang bahagia dan tetap melestarikan budaya yang sudah diwariskan oleh leluhur masyarakat adat Lampung pepadun. 



BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Lampung dikenal dengan sebutan "Sai Bumi Khua Jukhai", secara Bahasa artinya Satu Bumi Dua Cabang. Sedangkan berdasarkan Makna yaitu "Sai Bumi (satu Bumi)" bermakna suku bangsa yang mendiami satu wilayah yang berasal dari keturunan yang sama, dan "Khua Jukhai (Dua Cabang)" bermakna dua jenis adat istiadat yang dikenal di masyarakat. Dari semboyan diatas kita mengenal dua adat istiadat yang ada di masyarakat Lampung yaitu Sai Batin dan Pepadun.
Dua kekayaan adat yang dimiliki masyarakat lampung tersebut yaitu Adat Sai Batin dan Adat Pepadun perlu dijaga kelestariannya. Karena walaupun berbeda tetapi tetapi berasal dari akar rumput yang sama yaitu Hulun Lampung. Perbedaan itu indah dan menjadikan kita kaya tradisi dan budaya.
Tidak terlepas juga dalam proses pernikahannya. Dimana prosesi pernikahan tiap suku bangsa berbeda-beda prosesnya. Masyarakat Lampung memeliki tradisi dan kekhasan sendiri dalam menyelenggarakan prosesi pernikahan adat, khususnya adat Lampung pepadun. Dalam adat pepadun memilik beragam peraturan dan larangan yang harus ditaati oleh pemimpin dan masyarakatnya dalam segala hal kehidupan. Pada proses setelah menikah pasangan pengatin harus melakukan dua prosesi adat yang disebut dengan upacara Ngurukken Majeu/Ngekuruk dan Tabuhan Talo Balak. Terdapat keunikan tersendiri dalam penyelenggaraannya.
 Di samping itu, setiap prosesinya syarat akan makna-makna yang memiliki nilai-nilai budaya yang diwarisi para leluhur masyarakat Lampung pepadun. Masih eksisnya upacara pernikahan adat ini menunjukan bahwa masyarakat Lampung masih menjaga tradisi dan adat leluhur yang merupakan salah satu khazanah budaya Indonesia yang perlu untuk dijaga dan dilestarikan.












DAFTAR PUSTAKA

Hadikusuma, Hilman,. Adat Istiadat Daerah Lampung. Bandar Lampung: Arian Jaya, 1996.
Puspawidjaja, Rizani, dkk. Adat Dan Upacara Perkawinan Daerah Lampung. Bandar  Lampung: Arian Jaya, 1994.

Surajiyo. “Hubungan dan Peranan Ilmu terhadap Pengembangan Kebudayaan Nasional, 2009.  http://research.mercubuana.ac.id/?p=84. Di akses online 28 November 2013.

Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005.

Susanto. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011.



[1] Taylor dalam Jujun S.Suriasumantri. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2010), hlm.261
[2] Koentjaraningrat dalam Surajiyo, Hubungan dan Peran Ilmu terhadap Pengembangan Kebudayaan Nasional. 2009. Hlm. 4
[3] Susanto. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011) hlm.22
[4] Hilman Hadikusuma. Adat Istiadat Daerah Lampung. (Bandar Lampung: Arian Jaya, 1996). h. 36
[5] Rizani. Puspawidja., dkk. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Lampung. (Bandar Lampung,:Arian Jaya. 1994). h. 21

Tidak ada komentar:

Posting Komentar