Minggu, 11 Oktober 2015

MAKNA DAN TRADISI UPACARA CANOYU SEBAGAI USAHA MENSOSIALISASIKAN KEBUDAYAAN JEPANG DI INDONESIA



BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Keanekaragaman kebudayaan pada bangsa Jepang dapat kita lihat dari kegiatan-kegiatan religi dan cara hidup masyarakatnya. Banyak hal yang mempengaruhi keanekaragaman kebudayaan bangsa Jepang, salah satu diantaranya iklim dan bentang alam yang indah. Kedua hal tersebut memainkan peran besar dalam pembentukan kebudayaan Jepang yang unik. Pegunungannya yang tertutup dengan pohon-pohon yang hijau, dataran rendahnya yang semerbak oleh kebun-kebun bunga, kesemuanya ini telah mempengaruhi seni dan segala aspek kehidupan. Seni merangkai bunga, upacara minum teh, persajakan, kimono, dan sebagainya, dikembangkan selaras dengan perubahan musim.
Dari sekian banyak kebudayaan tersebut, upacara minum teh atau yang sekarang kita kenal dengan sebutan Chanoyu, terus berkembang sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang. Upacara minum teh bukan sekadar kegiatan yang dilangsungkan dengan tuan rumah sebagai penjamu, dan tamu sebagai orang yang dijamu. Tetapi lebih kepada tata cara yang diatur sedemikian halus dan teliti untuk menghidangkan dan meminum teh. Teh yang digunakan pun bukan teh yang biasa. Upacara minum teh di Jepang menggunakan teh hijau yang telah digiling halus disebut dengan matcha.
Kebiasaan minum teh telah menjadi semacam “ritus” dikalangan masyarakat Jepang dan China. Bahkan hingga kini upacara minum teh di tengah masyarakat Jepang merupakan suatu hal yang sakral. Di China, budaya minum teh sudah dikenal sejak 3000 tahun sebelum Masehi, pada zaman Kaisar Shen Nung berkuasa, dan upacara minum teh juga memiliki sejarah dan tradisi yang panjang di Jepang. Seringkali sejarah upacara ini dikaitkan dengan orang-orang yang dianggap berpengaruh seperti para rohaniwan. Dengan adanya keterkaitan antara upacara minum teh dengan orang-orang ini kemudian membuat upacara minum teh dianggap sebagai sebuah kebudayaan tertinggi di masyarakat Jepang.[1]




BAB II
PEMBAHASAN

A.   Sejarah Upacara Minum Teh di Jepang
Seni minum teh merupakan salah satu unsur budaya asing yang berawal dari China dan menyebar ke Jepang dan kemudian oleh masyarakat Jepang dijadikan sebagai kebudayaan yang khas. Jepang sendiri sebelumnya tidak pernah mengenal tanaman teh sebelum menyebar di negara China terutama pada era Dinasti Tang (618-907), dimana pada saat itu hubungan antara Jepang dengan China mencapai puncaknya. Peradaban dari Dinasti Tang mengalir masuk ke Jepang dan salah satunya adalah teh. Adapun yang konon pembawa budaya ini adalah seorang pendeta Jepang yang bernama pendeta Eichu. Beliau menyebrang ke China dan dalam perjalanannya bersama dengan pasukan Dinasti Tang, pendeta Eichu kemudian tinggal di China selama kurang lebih 30 tahun. Ketika beliau kembali ke Jepang, ia membawa kebiasaan minum teh yang merupakan salah satu kebiasaan di negara China.
Upacara minum teh ini kemudian pertama kali dilakukan dalam suatu jamuan resmi oleh Kaisar Shomu (724-749) dengan menyertakan para biarawan-biarawan untuk ikut serta dalam upacara tersebut. Lambat laun, teh kemudian berkembang menjadi kegiatan seni dan menjadi pusat semua kelas masyarakat. Bahkan ketika itu, berkembang pula suatu pandangan, yaitu mereka yang tidak mempunyai pengetahuan tentang teh dianggap miskin pengetahuan.

B.   Tradisi Upacara Canoyu dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Jepang
Budaya minum teh telah dilakukan selama kurang lebih 2000 tahun. Sebagai pengadopsi budaya China, upacara minum teh merupakan suatu kebiasaan umum. Akan tetapi, orang-orang di Jepang sudah menganggap budaya minum teh adalah suatu tradisi yang menyeluruh yang dilakukan secara khidmat. Pada umumnya teh yang dibuat harus memperhatikan tiga hal terpenting, yakni tidak dengan gula, teh diminum dalam keadaan panas, dan tidak boleh ada kotoran sedikit pun atau dalam kondisi segar dan steril. Minum teh bagi masyarakat Jepang merupakan suatu kebutuhan sehari-hari yang dapat dilakukan dan masyarakat Jepang sangat menggemari kebiasaan minum teh, baik di rumah atau di kedai teh. Begitu juga ketika rapat dan mengobrol bersama teman-teman, teh biasanya disajikan setiap hari, setiap tamu berkunjung, hingga setiap hari raya atau acara-acara khusus di Jepang. Walaupun teh pada setiap acara hanya sebagai pelengkap atau makna simbolik, tetapi keberadaan teh dalam rangkaian acara tersebut dianggap sakral dan penting. Teh juga dapat disajikan khusus pada acara pernikahan, tahun baru, dan sebagainya.[2]

C.    Makna Dibalik Upacara Canoyu
Budaya minum teh tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Jepang. Akan tetapi kegiatan menyeduh teh dan menikmatinya tidak hanya menjadi sebuah rutinitas biasa, melainkan minum teh memiliki makna penting yang terkandung didalamnya. Makna tersebut antara lain:
1.    Sebagai tanda hormat, generasi muda selalu menunjukkan rasa hormat kepada generasi tua. Hal tersebut merupakan suatu cara untuk menyampaikan rasa terima kasih kepada orang yang lebih tua.
2.    Untuk mengumpulkan keluarga, apabila anak laki-laki dan peremuan meninggalkan rumah untuk bekerja dan menikah, mereka mungkin jarang untuk menemui orang tua mereka. Kemudian mereka pergi ke rumah makan dan minum teh dengan keluarga merupaka suatu kegiatan penting untuk mengumpulkan keluarga. Fenomena tersebut mencerminkan nilai-nilai keluarga yang erat dan tetap terjaga sampai keturunan-keturunan berikutnya.
3.    Untuk meminta maaf, orang-orang serius membuat permintaan maaf mereka kepada orang lain dengan menuangkan teh untuk mereka. Misalnya, pada anak-anak yang melayani orang tua mereka dengan menuangkan teh sebagai tanda menyesal akan kesalahan yang sudah diperbuatnya dan upacara tersebut berlangsung secara khidmat.
4.    Sebagai lambang dari kesetiaan, apabila dalam pernikahan atau pertunangan, teh dapat dijadikan hadiah yang dipersembahkan oleh kedua mempelai pengantin. Memberikan teh merupakan hadiah pernikahan sebagai bentuk doa dan harapan kepada kedua mempelai agar kesetiaan satu sama lain tetap kuat dan terus terjaga. [3]

D.   Penerapan Kebudayaan Canoyu di Indonesia
Jepang merupakan negara yang maju dan kaya akan kebudayaan leluhurnya yang secara bekelanjutan dipertahankan dan diwariskan dari generasi ke generasi secara bertahap. Kebudayaan Jepang hingga saat ini yang masih bertahan dan terus dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Rahasia utama yang dimiliki Jepang adalah memadukan pelajaran dan motivasinya yang dikombinasikan dengan unsur seni pada berbagai hal yang bersifat rumit, sehingga suatu masyarakat tidak dapat dipisahkan dari kebudayaannya. Tidak ada masyarakat tanpa kebudayaan dan tidak ada kebudayaan yang melayang-layang diangkasa tanpa masyarakat sebagai pendukungnya.[4]
Pada masyarakat, kebudayaan sering diartikan sebagai the general body of arts,  yang meliputi seni sastra, seni musik, seni pahat, seni rupa, pengetahuan filsafat atau nilai-nilai keindahan dari kehidupan manusia. Dapat disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan hasil buah budi manusia untuk mencapai kesempurnaan dalam hidup, baik segala sesuatu yang diciptakan dalam bentuk konkret maupun abstrak. [5]
Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka berikut dapat dipaparkan mengenai kebiasaan minum teh di masyarakat Jepang sebagai salah satu pemenuhan aspek yang terkandung dalam penerapan kebudayaan Jepang, yakni:
1.    Seni Sastra, kebiasaan minum teh dalam masyarakat Jepang telah mengispirasi para pujangga kuno untuk menuangkannya ke dalam puisi, pepatah, dan novel.
2.    Seni Musik, musik merupakan sebuah karya seni yang terdiri dari bunyi-bunyian instrumental atau vokal maupun keduanya, yang menghasilkan sebuah karya yang indah dan harmonis. Bentuk kesenian musik ini merupakan suatu bentuk kesenian yang paling agung karena di dalam musik mengungkapkan perasaan manusia yang penuh kebajikan.
3.    Seni Rupa, hasil konkret dari bentuk seni rupa ini adalah lukisan. Lukisan-lukisan yang menggambarkan seseorang yang sedang melakukan upacara minum teh, lukisan tersebut tidak hanya digambar pada kain kanvas saja melainkan pada kipas, dan pada perangkat minum teh.
4.    Pengetahuan Filsafat atau nilai keindahan dari kehidupan manusia, pengetahuan filsafat secara mendasar menjadi landasan pokok terciptanya kebiasaan minum teh dengan beberapa upacara teh yang ada. Adanya keselarasan dalam seluruh rangkaian upacara dan kepercayaan masyarakat Jepang kepada ajaran Shinto dan kemudian diungkapkan dalam bentuk rasa syukur kepada sang pencipta.
Mensosialisasikan suatu kebudayaan asing khususnya kebudayaan Canoyu  merupakan suatu cara yang dapat dilakukan agar kebudayaan Jepang dapat diterapkan dan dinikmati oleh masyarakat secara umum, khususnya di Indonesia, serta kebudayaan Canoyu juga dapat dijadikan sebagai alat untuk menerapkan dan mempelajari bahasa asing khususnya bahasa Jepang[6]





BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan


Jepang merupakan salah satu negara yang mempunyai bermacam-macam kebudayaan. Meskipun peradaban Jepang kuno sebagian dibangun diatas budaya-budaya yang diperkenalkan dari daratan Asia, selama 1000 tahun terakhir bangsa Jepang telah menyerap unsur-unsur budaya ini dan menciptakannya kembali menjadi budaya Jepang sendiri. Sepanjang sejarahnya, Jepang telah menyerap banyak gagasan dari negara-negara lain, diantaranya adalah teknologi, adat-istiadat, dan bentuk-bentuk pengungkapan kebudayaan lainnya. Jepang telah mengembangkan kebudayannya yang unik sambil mengintegrasikan masukan-masukan dari luar itu. Kita dapat melihat bahwa gaya hidup orang Jepang dewasa ini merupakan perpaduan budaya tradisional dibawah pengaruh Asia dan budaya modern barat. Bangsa Jepang juga sangat bangga akan hasil karya mereka. Mereka bangga menggunakan karya cipta dan keanekaragaman kebudayaan mereka. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kebudayaan dari Jepang yang telah mendunia.





Daftar Pustaka


Castile, Rand. 1971. The Way of Tea. Tokyo: Weatherhill
E.Mutschow, Herbert. 1986. Historical Canoyu. Tokyo: The Japan Times
Erwin, K. 2009. Sejarah dari Secangkir Teh. Jakarta: Gramedia
Kakuzo, Okura. The Book of Tea. 1976. Rutland: Charles Tuttle
Tastsusaburo, Mayashiya. 1974. Japanese Arts and the Tea Ceremony. New York: Weatherhill






[1] Kakuzo, Okura. The Book of Tea. 1976. Rutland: Charles Tuttle
[2] Mayashiya Tastsusaburo. 1974. Japanese Arts and the Tea Ceremony. New York: Weatherhill
[3] Ibid. hlm.119
[4] Rand Castile. 1971. The Way of Tea. Tokyo: Weatherhill
[5] Erwin, K. 2009. Sejarah dari Secangkir Teh. Jakarta: Gramedia 
[6] Herbert E. Mutschow. 1986. Historical Canoyu. Tokyo: The Japan Times

Tidak ada komentar:

Posting Komentar