BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Sejak jaman dahulu penciptaan karya
sastra, serta telaah dan pengajarannya sudah ada, semakin hari terus mengalami
perkembangan seiring dengan semakin banyaknya penemuan yang membuat dunia
menjadi lebih modern. Secara definisi, karya sastra yang terus berkembang
merupakan karya yang dihasilkan oleh manusia dan memiliki nilai keindahan
bahasa (estetik), karya tersebut bisa berbentuk tulisan atau pun ucapan
(lisan). Secara khusus telaah karya sastra dalam hal telaah dan pengajarannya
terbagi menjadi dua, yaitu sastra lama, dan sastra baru.
Sastra lama merupakan karya sastra
yang berbentuk lisan atau ucapan, sering juga disebut sebagai sastra melayu
yang proses terjadinya berasal dari ucapan serta cerita orang orang zaman dulu.
Cerita-cerita tersebut banyak yang mengandung pelajaran serta hikmah yang dapat
diambil oleh orang-orang yang mendengarnya.
Belum ada perhitungan pasti berapa
jumlah karya sastra lama yang terdapat di Indonesia. Tapi kalau dilihat dari
jumlah penduduk serta jumlah suku yang terdapat di Indonesia, nampaknya karya
sastra lama berjumlah ratusan ribu bahkan jutaan. Karena setiap suku, daerah,
bahkan kampung memiliki sastra lama tersendiri yang diceritakan menjadi dongeng
turun temurun dari masa ke masa. Seperti contohnya saja tentang legenda si
maling kundang, yang terus diceritakan dari masa ke masa. Mayoritas cerita
rakyat yang dikisahkan secara turun temurun masuk dalam kategori sastra lama.
Secara umum, sastra lama mencakup dongeng, mitos, legenda, sage, fabel,
parabel, gurindam, pantun, hingga mantra. Jenis-jenis sastra lama yang telah
disebutkan telah diajarkan di sekolah-sekolah di Indonesia, akan tetapi
perkembangannya stagnan. Perlu upaya bersama untuk memajukan pengajaran sastra
di Indonesia dari semua pihak yang berkecimpung dalam pengajaran bahasa.
Problematika pengajaran sastra
Indonesia di berbagai jenjang pendidikan selama ini sering dianggap kurang
penting dan dianaktirikan oleh para guru, apalagi pada guru yang pengetahuan
dan apresiasi sastra (dan budayanya) rendah. Hal ini menyebabkan mata pelajaran
yang idealnya menarik dan besar sekali manfaatnya bagi para siswa ini disajikan
hanya sekedar memenuhi tuntutan kurikulum, kering, kurang hidup, dan cenderung
kurang mendapat tempat di hati siswa.
Permasalahan pembelajaran sastra
lama/sastra lisan bagi siswa di sekolah dewasa ini juga telah diangkat dalam
pengantar telaah dan pengajaran sastra lama dalam bab 14 oleh Emzir &
Rohman,
“Pembelajaran sastra lama/ lisan ini
tidak akan mencapai titik apresiasi yang optimal sebab transformasi sastra yang
tidak normatif akan membingungkan siswa. Pada usia pra-sekolah secara tidak
langsung sebenarnya sudah dikenalkan dilingkungan rumah oleh ibu/ayah tentang
cerita rakyat (mite, legenda atau dongeng) misalnya tentang asal-usul suatu nama
daerah, fenomena alam dan sebenarnya yang sebenarnya itu adalah pengenalan awal
sastra lisan. Orangtua itu akan mengacu kepada cerita rakyat murni yang
bersumber dari tradisi lisan . Setelah anak memasuki usia sekolah, maka
mulailah mereka mengenal teks-teks sastra.”[1]
Permasalahan yang diangkat oleh
Emzir & Rohman di atas secara tidak langsung menyatakan bahwa apresiasi
sastra yang tinggi harus dilakukan sejak dini oleh para orangtua sehingga
ketika anak masuk sekolah minat sastra anak baik lisan maupun tulisan sudah
tertanam. Bila kita kaji secara mendalam hal ini berkaitan langsung dengan
tujuan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah untuk menumbuhkan
keterampilan, rasa cinta, dan penghargaan para siswa terhadap bahasa dan sastra
Indonesia sebagai bagian dari budaya warisan leluhur. Dengan demikian, tugas
guru bahasa dan sastra tidak hanya
memberi pengetahuan (aspek kognitif), tetapi juga keterampilan (aspek
psikomotorik) dan menanamkan rasa cinta (aspek afektif), baik melalui kegiatan
di dalam kelas ataupun di luar kelas.
Berdasarkan latar belakang masalah
di atas, maka makalah ini berjudul Telaah dan Pengajaran Sastra Lama/Sastra
Lisan yang mengkaji beberapa hal yang
berkait dengan realitas sastra baik secara teoretik dan penerapan pengajaran
sastra serta perkembangannya di Indonesia terkini. Kajian ini diharapkan dapat
menggugah kembali kesadaran kita untuk menempatkan pengajaran sastra Indonesia
pada tempat yang layak dan sejajar dengan mata ajar lainnya.
B. Tujuan
Penulisan
Berdasarkan
latar belakang masalah maka dapat dirumuskan tujuan penulisan makalah ini,
sebagai berikut:
1.
Menelaah
sastra lama.
2. Menelaah sastra lisan.
3. Menelaah pengajaran sastra
lama.
4. Menelaah pengajaran sastra lisan.
C. Manfaat Penulisan
Secara umum makalah ini dapat
bermanfaat untuk para pemerhati pendidikan seperti, dosen, mahasiswa, guru,
instruktur dan peneliti di bidang pendidikan. Sedangkan secara khusus, makalah
ini diperuntukkan untuk mahasiswa S3 pendidikan bahasa agar mendapatkan
pemahaman yang mendalam tentang Telaah dan Pengajaran Sastra Lama/Sastra Lisan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Hakikat
Sastra Lama
Sastra lama adalah sastra yang lahir
dan tumbuh pada masa lampau atau pada masyarakat Indonesia lama. Sastra lama
juga biasa disebut sebagai sastra klasik. Sastra lama tumbuh dan berkembang
seiring dengan kondisi masyarakat pada zamannya. Oleh karena itu sastra lama
mempunyai nuansa kebudayaan yang kental dan memiliki corak yang lekat dengan
nilai dan adat istiadat yang berlaku di dalam suatu daerah atau masyarakat
tertentu. Indonesia adalah bangsa yang majemuk baik adat-istiadat, budaya
maupun bahasa. Setiap suku atau daerah di Indonesia memiliki ciri khas dan cita
rasa sastranya masing-masing. Prularisme ini tentu sangat menpengaruhi dan
memperkaya khazanah kesusastraan Indonesia.
Hakikat sastra lama menurut Emzir dan
Rohman bisa dilihat dari dua bentuk, yaitu sastra lama dan sastra lama tulis.
Sastra lisan lebih awal muncul daripada sastra
tulis. Sastra tulis ini muncul setelah dikenal sistem aksara di beberapa
wilayah di Indonesia. Oleh karena itu konsep pembahasan sastra lama langsung
tertuju pada sastra lisan. Pembicaraan tradisi lisan ini dimulai dengan konsep
folklore. Jadi, folklore adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang
tersebar dan diwariskan turun-temurun, dalam bentuk lisan maupun contoh yang
disertai gerak isyarat atau alat bantu mengingat, yang berada dalam pelbagai
kolektif apa saja, secara tradisional dan mempunyai varian-varian tertentu.[2]
Selanjutnya
pengertian yang sama folklore dalam tradisi lisan menurut Abrams, folklore; “since the mid-nineteenth century, has been
the collective name applied to sayings, verbal compositions, and social rituals
that have been handed down solely, or at least primarily, by word of mouth and
example rather than in written form.”[3]
Pengertian folklore menurut Endraswara yang disebut tradisi lisan
“mempunyai wilayah diaspora, marginal, sastra lisan dianggap lebih bebas
bergerak untuk menyuarakan hati nurani. Biasanya, para pendukung sastra lisan
merasa tertekan menghadapi kekuasaan.”[4]
Menurut Mario Klarer mengapa tradisi
lisan merupakan bentuk dari sastra lama karena
sebelum karya sastra itu divisualkan maka yang ada adalah tradisi lisan,
“Not
only the visual—writing is always pictorial—but also the acoustic element, the
spoken word, is an integral part of literature, for the alphabet translates
spoken words into signs. Before writing developed as a system of signs, whether
pictographs or alphabets, “texts” were passed on orally. This predecessor of
literary expression, called “oral poetry,”
consisted of texts stored in a bard’s or minstrel’s memory which could be
recited upon demand.”[5]
Berdasarkan
teori-teori di atas maka dapat disimpulkan bahwa salah satu ciri khas sastra
lama adalah tradisi lisan yang disebut folklore. Folklore merupakan tradisi lisan
yang disampaikan secara turun temurun dengan maksud mempertahankan petuah adat
istiadat setempat. Tradisi lisan tersebut tertuang dalam bentuk pantun, syair,
hikayat, legenda, mite, sage, parabel, dan fabel.
B. Tradisi Lisan dan Folklor
Kata tradisi yang berarti
menyampaikan atau meneruskan. Dalam kamus pengertian yang sama kata tradisi
diartikan sebagai hal yang disampaikan atau yang di teruskan dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Tradisi lisan dan folklore adalah bagaimana secara
turun temurun tradisi ini ditanamkan oleh para tetua adat sehingga bisa
diteruskan oleh generasi berikutnya.
Pengelompokkan Folklore menurut Emzir dan Rohman dibagi menjadi tiga, yaitu
(1) folklore lisan, semua materinya adalah lisan (2) folklore sebagian lisan,
materialnya tidak seluruhnya lisan misalnya perangkat seremonial dan upacaranya
itu sendiri/baik folklore lisan dan (3)folklore
material, tradisi penuturannya akan menghasilkan tradisi lisan dan dokumen
tradisi lisan, dan dokumen tradisi lisan juga bisa dituturkan kembali menjadi
tradisi lisan sehingga terjadi siklus tradisi lisan.
Isi dari folklore itu bisa berupa
pesan atau kesaksian, yang disampaikan melalui ucapan, dongeng, pidato,
nyanyian, pantun, cerita rakyat, nasehat, balada, atau lagu. Tradisi juga
dipahami sebagai suatu adat kebiasaan yang di pertahankan turun-temurun dan
masih dihayati oleh masyarakat pendukungnya.
C. Ciri-Ciri Tradisi Lisan
Tradisi lisan muncul berkaitan
dengan usaha mengabadikan pengalaman-pengalaman kelompok dimasa lampau melalui
cerita yang diturunkan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Unsur penting dalam tradisi lisan adalah
pesan-pesan verbal yang berupa pernyataan-pernyataan yang pernah dibuat dimasa
lampau oleh generasi yang hidup sebelum generasi yang sekarang ini. Yang perlu
diperhatikan dalam hubungan tradisi lisan ini adalah yang berbentuk murni di
dalamnya seperti: (1) bahasa rakyat (folkspeech)
seperti logat, julukan, pangkat tradisional dan gelar kebangsawanan; (2)
ungkapan seperti peribahasa, pepatah, pameo; (3) pertanyaan tradisional
(teka-teki); (4)puisi rakyat seperti pantun, gurindam dan syair; (5) cerita
prosa rakyat seperti mite, legenda, dan dongeng; dan (6) nyanyian rakyat.[6]
Tradisi
lisan sering dihubungkan dengan folklor, karena foklor menyangkut tradisi dalam
kelompok masyarakat atau komunitas tetentu, Pewarisan melalui cara lisan atau
tutur kata. Tradisi lisan hanyalah bagian dari foklor. Tradisi lisan mempunyai
keterbatasan yaitu adanya unsur subjektifitas lebih besar dibandingkan unsur
tertulis.
D. Fungsi Tradisi Lisan bagi Masyarakat
Tradisi lisan bagi masyarakat merupakan salah satu bentuk
ekspresi kebudayaan daerah yang jumlahnya beratus-ratus di seluruh Indonesia.
Kemampuan tradisi lisan untuk melingkupi segala sendi kehidupan manusia,
membuktikan bahwa nenek moyang kita di masa lampau telah mengenal ajaran
kehidupan yang terkandung dalam tradisi lisan.
Tradisi lisan dalam masyarakat
merupakan salah satu karya sastra kuno dalam masyarakat primitif, hal ini
digambarkan dalam karya tradisi lisan yang pengarangnya selalu anonim atau
tanpa diketahui siapa pengarangnya, meskipun tradisi lisan tersebut berlangsung
turun temurun.
Hal
ini diperjelas dari konsep Cuddon bahwa tradisi lisan merupakan ciri-ciri dari tradisi masyarakat
primitif, “there is a great body of anonymous
literature, especially that belonging to early or primitive societies, most of
which is of the oral tradition (q.v.). Much Homeric poetry was anonymous in
origin, so was OE poetry (of which Bewoulf is a notable example).[7]
Tradisi lisan menurut Emzir dan
Rohman dalam kehidupan
bermasyarakat memiliki beberapa fungsi.
Pertama, berfungsi
sebagai sistem proteksi di bawah sadar masyarakat terhadap suatu impian seperti
cerita sang kuriang. Kedua, berfungsi
untuk pengesahan kebudayaan seperti cerita asal-usul. Ketiga, berfungsi sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma
social dan sebagai alat kontrol sosial seperti peribahasa. Keempat, berfungsi sebagai alat pendidikan anak seperti cerita si
kancil.[8]
Berdasarkan konsep-konsep di atas maka dapat
disimpulkan bahwa fungsi tradisi lisan telah ada sejak zaman peradaban awal
manusia primitif dalam bermasyarakat adalah berfungsi sebagai sistem proteksi
masyarakat, asal-usul budaya, alat pemaksa, alat kontrol sosial dan alat
pendidikan.
E.Kondisi
Pembelajaran Sastra Lama di Indonesia
Kajian
terhadap sastra di Indonesia sesungguhnya sudah mempunyai sejarah yang relatif
cukup panjang, bersamaan dengan munculnya minat kajian terhadap sastra lisan di
Eropa Barat. Minat terhadap sastra-sastra lokal di Nusantara bahkan sudah mulai
tumbuh dan berkembang dengan baik sejak pemerintahan Hindia Belanda mendirikan
Bataviaasch Genootshap van Kunsten en Wetenshappen (Lembaga Kesenian dan Ilmu
Pengetahuan Batavia) pada tahun 1778. Kajian terhadap tradisi lisan di
Indonesia pertama kali dilakukan sekitar tahun 1870. Kajian awal ini terfokus
pada teks-teks lokal Batak dan Minangkabau. Baru setelah itu bermunculan
karanga-karangan dan terbitan-terbitan dari hampir semua daerah di Nusantara. Tokoh-tokoh
terkemuka dalam bidang kajian tradisi lisan Nusantara antara lain: N. Adrian,
C. C. Kruyt, van der Veen, J. Woensdrecht.[9]
Kebudayaan
Indonesia secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yakni kebudayaan
nasional dan kebudayaan nusantara. Yang pertama adalah kebudayaan kesatuan
Indonesia, yang besifat modern; sedangkan yang kedua adalah
kebudayaa-kebudayaan daerah yang pada umumnya bersifat tradisional. Salah satu
titik berat kebudayaan nasional itu adalah nasionalisme dan sifat kekotaan,
sedangkan kebudayaan nusantara masih tetap berorientasi kepada kehidupan
pedesaan, alam agraris dan kelisanan.
Kesusastraan
daerah dan kesusastraan lisan, dalam politik kebudayaan nasional, terutama pada
masa Orde Baru, sesungguhnya mengalami semacam kehidupan yang tertekan.
Mengikuti pembagian Heryanto, maka secara umum di Indonesia terdapat empat
kategori tipe ideal sastra, yakni: (1) sastra resmi atau yang diabsahkan; (2)
sastra terlarang; (3) sastra yang diremehkan, dan (4) sastra yang dipisahkan.[10]
Sastra resmi adalah sastra yang bergerak dalam domain estetika humanisme
universal, yang mendapat kehormatan mewakili sastra indonesia dan
disosialisasikan melalui pendidikan formal. Sastra terlarang, adalah
kesusastraan yang harus dibasmikan dan dimusuhi oleh lembaga resmi pemerintahan
karena dianggap mengancam status quo
kesusastraan atau bahkan kehidupan sosial pada umumnya. Contohnya: karya-karya
sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dipandang berideologi komunis.
Kesusastraan yang diremehkan, adalah kesusastraan yang disisihkan dari kritik
dan sejarah kesusastraan. Contohnya jenis ini antara lain sastra pop, hiburan,
remaja dan radio. Kesusastraan yang dipisahkan, adalah berbagai khazanah
kesusastraan daerah (termasuk sastra lisan) yang ditulis dalam bahasa daerah,
kadang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia namun tidak diakui sebagai karya
sastra.
F. Model Pembelajaran Sastra lama
Lembaga pendidikan mempunyai tanggung jawab dan peran
untuk membentuk karakter para peserta didik dan secara langsung ataupun tidak
langsung mengajarkan dan mentransmisikan muatan budaya tertentu berupa
nilai-nilai, sikap, peran, dan pola-pola prilaku. Berdasarkan itu, peran
lembaga pendidikan adalah mempersiapkan individu dan masyarakat agar memiliki
kemampuan dan motivasi serta berpartisipasi aktif dalam aktualisasi dan
institusionalisasi masyarakat.
Pada era globalisasi lembaga pendidikan memiliki peran strategis karena dalam
proses pembangunan tidak hanya berhubungan dengan ilmu saja, tetapi karakter
berbasis budaya juga diperlukan. Dalam hal ini, karya sastra (lisan) mewadahi
nilai-nilai manusia dan sosialnya dalam beragam bentuknya, misalnya dalam wujud
penuturan cerita atau dongeng anak, nyanyian tradisional, wayang, dan prosa
liris. Apresiasi terhadap karya sastra adalah salah satu tolak ukur
keberhasilan pendidikan yang berkenaan dengan pembinaan seseorang terhadap
fenomena estetis, dan merupakan perluasan cakrawala dalam kehidupan nilai-nilai
yang pada gilirannya akan memperkaya pandangan hidup seseorang. Penghayatan
mengenai fenomena estetis akan menjadikan seseorang lebih tanggap pula terhadap
kebudayaan sebagai hasil kreatifitas manusia dalam kesejarahannya. Bahkan para
humanis mengatakan, bahwa karya sastra sangat penting artinya dalam kehidupan
bangsa karena suatu bangsa akan menghadapi resiko besar bila manusia hidup
tanpa nilai.
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan ekonomi yang begitu pesat tanda
disertai dengan penghayatan dan pengamalan nila-nilai agama serta seni budaya
akan menimbulkan dehumanisasi. Dalam konteks seperti ini kiranya mendesak
dirumuskan dan diimplementasikan paradigma, pendekatan, dan metode pendidikan
berkarakter budaya yang mampu menjawab tuntutan dan tantangan yang berkembang
dimasyarakat, sehingga krisis moral, spriritual, ketegangan dan pertentangan
antar kelompok etnoreligius dapat dikurangi.
Perubahan pembelajaran sastra lisan secara tradisional menjadi pembelajaran
yang berdasarkan teori belajar dan model–model pembelajaran tertentu akan
memberi dampak terhadap proses transfer rasa dan karsa. Hanya saja jalannya
transfer rasa dan karsa itu dengan cara belajar berdasar teori belajar dan
model –model pembelajaran tersebut, tidak berlangsung seperti dalam
pembelajaran secara tradisional.
Transfer jiwa atau konsep dalam berkesenian lebih banyak bergantung dari bakat,
kemauan, kesungguhan dan kemampuan peserta didik. Sebagaimana diketahui dalam
sastra terdapat unsur-unsur reaktivitas, ilham, pencerahan, dan ketrampilan.
Namun, dalam kenyataannya sulit untuk menentukan kapan kreatifitas dan
ketrampilan itu muncul.
Apapun bentuk transfer adalah proses pembelajaran. Proses pembelajaran itu
merupakan bentuk upaya pelestarian sastra lisan. Selanjutnya, pembelajaran itu
merupakan kegiatan apresiasi sastra terhadap peserta didik. Kegiatan apresiasi
itu merupakan peran lembaga pendidikan dalam membentuk karakter serta didik
melalui peristiwa kreatifitas sastra yang berisi nilai –nilai yang dapat
diimplementasikan dalam kehidupan.
Pembelajaran sastra lisan pada lembaga pendidikan seharusnya mampu menjadi guiding
light yang berfungsi untuk menuntun manusia berbudi pekerti luhur. Sebagai
contoh adalah menghargai dan menghormati keanekaragaman, menghargai dan
mempraktekkan nilai-nilai demokrasi yang terdapat dalam sastra lisan. Oleh
karena itu, pluralisme dan multikulturalisme perlu dikembangkan sebagai wujud
Bhineka Tunggal Ika dikalangan peserta didik. Pendekatan pendidikan yang
sentalistis-sastra Indonesia hanya sastra tulis- selama ini tampaknya tidak
mempertimbangkan keunikan budaya lokal, sehingga menyebabkan tidak timbulnya
apresiasi terhadap budaya-budaya lain yang berbeda.
Berdasarkan Kepmendiknas No. 232/U/2000 pembelajaran di lembaga pendidikan
berbasis budaya. Pembelajaran berbasis budaya tersebut bertujuan untuk
menumbuhkan kesadaran akan identitas dan jati diri budaya pada siswa seraya
secara simultan meningkatkan toleransi dan apresiasi terhadap kemajemukan
budaya lokal yang terdapat dilingkungan masyarakatnya melalui proses
pembelajaran yang memuat konteks budaya berbagai ragam budaya.[11]
Pembelajaran berbasis budaya juga bertujuan untuk menumbuhkan minat dan
penghargaan siswa terhadap kesenian dalam konteks luas dan khususnya sastra
lisan yang berspiritkan tradisi lokal, disamping mengembangkan kemungkinan
pelaksanaan pembelajaran yang berwawasan multikultural melalui dukungan dan
partisipasi masyarakat.
G. Materi
Pembelajaran Sastra Lisan
Pembelajaran sastra berbasis budaya tidak akan mencapai
tujuan bila guru tidak memiliki inovasi dan peserta didik hanya diberikan tugas
menghapal periodisasi sastra, tokoh, karya dn istilah. Ada
enam tawaran pemikiran dalam proses pembelajaran sastra khususnya sastra lisan.[12]
Pertama, meninggalkan tradisi memberi
tugas yang sifatnya menghujani peserta didik dengan menghapal materi berkaitan
dengan periodisasi, tokoh-tokoh, pengarang, istilah dan teori. Kedua, lembaga pendidik harus
menyediakan koleksi sastra sehingga akses peserta didik terhadap karya lebih
mudah. Ketiga, pendidikan harus
melengkapi ensiklopedia pengetahuannya dengan karya sastra. Artinya peserta
didik harus telah atau bersama ikut melahap karya sastra sehingga peserta didik
tidak berada dalam keadaan kosong apresiasi.
Keempat,
pembelajaran sastra harus berorientasi kepada peserta didik, yakni apresiasi
peserta didik terhadap karya sastra menjadi sentral. Dalam hal ini peserta
didik disuguhi karya sastra dan dipersilahkan untuk mengonsumsinya. Kelima, peserta didik diberikan
kesempatan untuk mengemukakan pikiran dan pendapatnya tentang karya sastra yang
telah dibacanya tanpa mengacu pada norma atau batasam-batasan tertentu. Pola
yang menjadi pikiran peserta didik pun diakomodasi dan dijadikan sebagai bahan
diskusi. Keenam, materi pembelajaran
dibebaskan dari aspek-aspek teoretis karena pembelajaran sastra bertujuan
melakukan apresiasi.
Berkaitan
dengan itu materi sastra lisan dalam pembelajaran sastra memiliki tantangan
yang lebih kompleks. Pembelajaran sastra tulis dengan mudah dapat dilaksanakan
karena ketersediaan karya sastra itu. Akan tetapi, pembelajaran sastra
lisan dalam pandangan pendidik tentu harus menghadirkan sastra dalam bentuk
lisan ke dalam ruang pembelajaran, menghadirkan penuturan sastra lisan
kehadapan peserta didik. Tentu saja demikian, karena kehadiran penutur sastra
lisan diruang pembelajaran akan memberikan motivasi dan wawasan baru bagi
peserta didik karena bersentuhan langsung dengan penggiat sastra lisan itu .
Hal itu tentu memiliki kelemahan berkaitan dengan kesiapan infrastuktur lembaga
terhadap pembelajaran materi sastra lisan .
Menghadirkan sastra lisan kedalam ruang pembelajaran dapat pula dilakukan
dengan memanfaatkan teknologi yang ada. Berbagai macam rekaman sastra lisan
yang dilakukan oleh studio rekaman beredar luas ditengah masyarakat,
diperjualbelikan untuk hiburan masyarakat, baik dalam bentuk kaset maupun CD.
Kaset dan CD itu dapat dijadikan bahan pembelajaran dengan cara diputar atau
ditayangkan dalam ruang pembelajaran melalui tape atau video recorder atau LCD.
Hal itu sangat memudahkan bagi peserta didik untuk mengapresiasi sastra lisan
itu, meskipun terdapat kelemahan dimana peserta didik tidak dapat mengapresiasi
konteks sastra lisan itu.[13]
Seiring dengan tawaran pemikiran di atas, maka dalam pembelajaran ini pendidik
dan lembaga pendidikan dapat bekerja sama dengan perguruan tinggi dan lembaga
penelitian, seperti fakultas sastra dan balai bahasa. Disamping itu dapat pula
dimanfaatkan laporan-laporan hasil penelitian dan dokumentsi yang telah
dilakukan oleh kedua lembaga tersebut yang selama ini mengendap dilemari arsip
masing-masing. Laporan penelitian dan dokumentasi itu diperbanyak untuk
keperluan pembelajaran itu.
Selain itu, pembelajaran sastra lisan dapat memanfaatkan lingkungan sosial
dengan cara membawa peserta didik ketengah masyarakat untuk melakukan apresiasi
terhadap sastra lisan.[14]
Dengan begitu, model pembelajaran tidak selalu harus dalam ruang, sekali kala
peserta didik dalam proses pembelajaran dibawa dan diajak bersentuhan langsung
dengan realita yang ada. Model pembelajaran ini telah banyak diterapkan
dinegara barat dengan konsep sekolah alam.
H. Bentuk-bentuk
Sastra Lama sebagai Materi Pembelajaran
1. Prosa
Lama
a. Dongeng
Dongeng
adalah prosa cerita yang isinya bersifat khayalan atau hanya ada di dalam
fantasi pengarang. Dongeng dibedakan menjadi:
1)
Fabel. Fabel adalah dengeng tentang kehidupan dunia
binatang. Dongeng tentang kehidupan kehidupan binatang ini dimaksudkan mejadi
teladan bagi kehidupan manusia pada umumnya.
2)
Legenda. Legenda adalah sebuah dongeng yang dihubungkan
dengan keajaiban alam, terjadinya suatu tempat dan setengah mengadung unsur
sejarah.
3)
Mite. Mite adalah dongeng yang berhubungan dengan cerita
jin, peri ruh halus, dewa dan hal-hal yang berhubungan dengan kepercayaan
animisme.
4)
Sage. Sage adalah dongeng yang mengandung unsur sejarah
meskipun tidak seluruhnya berdasarkan sejarah. Cerita-certia lisan yang intinya
historis, terjadi di suatu tempat tertentu dan pada zaman tertentu. Ada yang
menceritakan tentang ruh-ruh halus, mengenai ahli-ahli sihir, setan atau
mengenai tokoh-tokoh historis. Selalu ada ketegangan antara dunia manusia dan
dunia gaib. Manusia selalu kalah.
b.
Hikayat
Hikayat adalah cerita yang panjang yang
sebagian isinya mungkin terjadi sungguh-sungguh, tetapi di dalamnya banyak
terdapat hal yang tidak masuk akal, penuh keajaiban. Meurut Dick dan Rahmanto,
hikayat sebagai jenis prosa cerita Melayu Lama mengisahkan kebesaran dan
kepahlawanan orang-orang ternama, para raja atau para orang suci disekitar
istana dengan segala kesaktian, keanehan dan mukjizat tokoh utamanya; kadang
mirip cerita sejarah atau berbentuk riwayat hidup.
c. Tambo
Tambo
adalah cerita sejarah, yaitu cerita tentang kejadian atau asal usul keterunan
raja.
d. Wira Carita
Wira carita adalah cerita yang pelaku
utamanya adalah seorang kesatria yang gagah berani, pandai berperang dan selalu
memperoleh kemenangan.
2.
Puisi Lama
a. Mantra
Mantra merupakan
karya sastra lama yang berisi pujian-pujian terhadap sesuatu yang gaib
atau yang di keramatkan, seperti dewa, roh dan binatang. Mantra biasa nya di
ucapkan oleh pawang atau dukun sewaktu melakukan upacara keagamaan
ataupun ketika berdoa.
b. Pantun
Pantun merupakan puisi lama
yang terdiri dari empat baris dalam satu baitnya. Baris
pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan
keempatnya adalah isi. Bunyi terakhir pada
kalimat-kalimanya berpola a-b-a-b. Dengan demikian, bunyi akhir pada kalimat ketiga dan bunyi akhir kalimat
kedua sama denga bunyi akhir pada kalimat keempat.
c. Gurindam
Gurindam di
sebut juga sajak pribahasa atau sajak dua seuntai. Gurindam
memiliki beberapa persamaan dengan pantun yakni pada isinya. Gurindam
banyak mengandungnasihat atau pendidikan, terutama yang berkaitan dengan
masalah keagamaan.
d. Syair
Syair merupan bentuk puisi
klasik yang merupakan pengaruh kebudayaanArab. Dilihat dan jumlah
barisnya, syair hampir sama dengan pantun, yakni sama-sama terdiri atas empat
baris. Perbedaan nya terletak pada persajakan. Pantun bersajak a-b-a-b,
sedangkan syair bersajak a-a-a-a. selain itu, pantun memiliki sampiran,
sedangkan syair tidak memilikinya.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sastra lisan adalah hasil rasa yang merupakan sumber keindahan, yang termaksut dalam
hasil karya sastra. Sastra lisan lahir dari sebuah
peradaban dalam masyarakat, yang hidup, berkembang dan terus ada di dalam
masyarakat tersebut. Dalam kebaradaan nya di tengah masyarakat sastra memiliki
peranan dalam mengaktualisasikan suatu kebudayaan dari masyarakat.
Sastra bisa
di anggap luhur dan tinggi bila sasta masuk ke dalam sendi kehidupan masyarakat
yaitu budaya, dimana sastra adalah alat budaya masyarakat dalam berbudaya.
Maka dari
itu sebuah sastra akan selalu berkembang dan dinamis dengan perkembangan
masyarakat nya, sastra yang bisa di terima dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat akan tepat untuk mengaktualisasi kebudayaan tersebut. Jika sastra
tidak dapat dinamis maka berbanding terbalik dengan tujuan dari sastra itu
sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M.H. A Glossary of
Literary Terms. USA: Thomson Learning, 1999.
Cuddon, J.
A.. The Penguin Dictionary of Literary Terms and Literary Theory England: Penguin Books,
1999.
Emzir & Saifur Rohman. Teori
dan Pengajaran Sastra. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2015.
Endraswara, Suwardi. Metodologi
Penelitian Antropologi Sastra. Yogyakarta: Penerbit
Ombak, 2013.
Finnegan, Ruth. Oral Poetry. London: Cambrige Unuversity
Press. 1979.
Klarer, Mario. An
Introduction to Literary Studies. New York: Routledge, 2004.
Y. T., Yoseph. Studi Sastra Lisan. Yogyakarta:
Lamalera, 2011.
[1] Emzir &
Saifur Rohman. Teori dan Pengajaran Sastra (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015), h. 226.
[4] Suwardi
Endraswara. Metodologi Penelitian
Antropologi Sastra (Yogyakarta: Penerbit Ombak,
2013), h. 71.
[7] J. A. Cuddon. The
Penguin Dictionary of
Literary Terms and
Literary Theory (England:
Penguin Books, 1999), h. 41.
[9] Yoseph Y. T., Studi Sastra Lisan. (Yogyakarta: Lamalera, 2011), h. 33
[10] Ibid.,
h. 33.
[11] Emzir &
Saifur Rohman. Teori dan Pengajaran Sastra (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015), h.232
[12] Ibid.,233
[13] Ibid.,
234
[14] Ruth Finnegan. Oral Poetry. (London: Cambrige University Press. 1979), h. 123.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar