Minggu, 07 Agustus 2016

TELAAH DAN PENGAJARAN SASTRA LAMA / SASTRA LISAN

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah       


          Sejak jaman dahulu penciptaan karya sastra, serta telaah dan pengajarannya sudah ada, semakin hari terus mengalami perkembangan seiring dengan semakin banyaknya penemuan yang membuat dunia menjadi lebih modern. Secara definisi, karya sastra yang terus berkembang merupakan karya yang dihasilkan oleh manusia dan memiliki nilai keindahan bahasa (estetik), karya tersebut bisa berbentuk tulisan atau pun ucapan (lisan). Secara khusus telaah karya sastra dalam hal telaah dan pengajarannya terbagi menjadi dua, yaitu sastra lama, dan sastra baru.
            Sastra lama merupakan karya sastra yang berbentuk lisan atau ucapan, sering juga disebut sebagai sastra melayu yang proses terjadinya berasal dari ucapan serta cerita orang orang zaman dulu. Cerita-cerita tersebut banyak yang mengandung pelajaran serta hikmah yang dapat diambil oleh orang-orang yang mendengarnya.
            Belum ada perhitungan pasti berapa jumlah karya sastra lama yang terdapat di Indonesia. Tapi kalau dilihat dari jumlah penduduk serta jumlah suku yang terdapat di Indonesia, nampaknya karya sastra lama berjumlah ratusan ribu bahkan jutaan. Karena setiap suku, daerah, bahkan kampung memiliki sastra lama tersendiri yang diceritakan menjadi dongeng turun temurun dari masa ke masa. Seperti contohnya saja tentang legenda si maling kundang, yang terus diceritakan dari masa ke masa. Mayoritas cerita rakyat yang dikisahkan secara turun temurun masuk dalam kategori sastra lama. Secara umum, sastra lama mencakup dongeng, mitos, legenda, sage, fabel, parabel, gurindam, pantun, hingga mantra. Jenis-jenis sastra lama yang telah disebutkan telah diajarkan di sekolah-sekolah di Indonesia, akan tetapi perkembangannya stagnan. Perlu upaya bersama untuk memajukan pengajaran sastra di Indonesia dari semua pihak yang berkecimpung dalam pengajaran bahasa.
            Problematika pengajaran sastra Indonesia di berbagai jenjang pendidikan selama ini sering dianggap kurang penting dan dianaktirikan oleh para guru, apalagi pada guru yang pengetahuan dan apresiasi sastra (dan budayanya) rendah. Hal ini menyebabkan mata pelajaran yang idealnya menarik dan besar sekali manfaatnya bagi para siswa ini disajikan hanya sekedar memenuhi tuntutan kurikulum, kering, kurang hidup, dan cenderung kurang mendapat tempat di hati siswa.
            Permasalahan pembelajaran sastra lama/sastra lisan bagi siswa di sekolah dewasa ini juga telah diangkat dalam pengantar telaah dan pengajaran sastra lama dalam bab 14 oleh Emzir & Rohman,
          “Pembelajaran sastra lama/ lisan ini tidak akan mencapai titik apresiasi yang optimal sebab transformasi sastra yang tidak normatif akan membingungkan siswa. Pada usia pra-sekolah secara tidak langsung sebenarnya sudah dikenalkan dilingkungan rumah oleh ibu/ayah tentang cerita rakyat (mite, legenda atau dongeng) misalnya tentang asal-usul suatu nama daerah, fenomena alam dan sebenarnya yang sebenarnya itu adalah pengenalan awal sastra lisan. Orangtua itu akan mengacu kepada cerita rakyat murni yang bersumber dari tradisi lisan . Setelah anak memasuki usia sekolah, maka mulailah mereka mengenal teks-teks sastra.”[1]

            Permasalahan yang diangkat oleh Emzir & Rohman di atas secara tidak langsung menyatakan bahwa apresiasi sastra yang tinggi harus dilakukan sejak dini oleh para orangtua sehingga ketika anak masuk sekolah minat sastra anak baik lisan maupun tulisan sudah tertanam. Bila kita kaji secara mendalam hal ini berkaitan langsung dengan tujuan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah untuk menumbuhkan keterampilan, rasa cinta, dan penghargaan para siswa terhadap bahasa dan sastra Indonesia sebagai bagian dari budaya warisan leluhur. Dengan demikian, tugas guru bahasa dan sastra  tidak hanya memberi pengetahuan (aspek kognitif), tetapi juga keterampilan (aspek psikomotorik) dan menanamkan rasa cinta (aspek afektif), baik melalui kegiatan di dalam kelas ataupun di luar kelas.
            Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka makalah ini berjudul Telaah dan Pengajaran Sastra Lama/Sastra Lisan yang mengkaji beberapa hal yang berkait dengan realitas sastra baik secara teoretik dan penerapan pengajaran sastra serta perkembangannya di Indonesia terkini. Kajian ini diharapkan dapat menggugah kembali kesadaran kita untuk menempatkan pengajaran sastra Indonesia pada tempat yang layak dan sejajar dengan mata ajar lainnya.
B.   Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang masalah maka dapat dirumuskan tujuan penulisan makalah ini, sebagai berikut:
1.    Menelaah sastra lama.
2.    Menelaah sastra lisan.
3.    Menelaah pengajaran sastra lama.
4.    Menelaah pengajaran sastra lisan.

C.  Manfaat Penulisan
            Secara umum makalah ini dapat bermanfaat untuk para pemerhati pendidikan seperti, dosen, mahasiswa, guru, instruktur dan peneliti di bidang pendidikan. Sedangkan secara khusus, makalah ini diperuntukkan untuk mahasiswa S3 pendidikan bahasa agar mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang Telaah dan Pengajaran Sastra Lama/Sastra Lisan.


BAB II
PEMBAHASAN

A.     Hakikat Sastra Lama


          Sastra lama adalah sastra yang lahir dan tumbuh pada masa lampau atau pada masyarakat Indonesia lama. Sastra lama juga biasa disebut sebagai sastra klasik. Sastra lama tumbuh dan berkembang seiring dengan kondisi masyarakat pada zamannya. Oleh karena itu sastra lama mempunyai nuansa kebudayaan yang kental dan memiliki corak yang lekat dengan nilai dan adat istiadat yang berlaku di dalam suatu daerah atau masyarakat tertentu. Indonesia adalah bangsa yang majemuk baik adat-istiadat, budaya maupun bahasa. Setiap suku atau daerah di Indonesia memiliki ciri khas dan cita rasa sastranya masing-masing. Prularisme ini tentu sangat menpengaruhi dan memperkaya khazanah kesusastraan Indonesia.
          Hakikat sastra lama menurut Emzir dan Rohman bisa dilihat dari dua bentuk, yaitu sastra lama dan sastra lama tulis.
        Sastra lisan lebih awal muncul daripada sastra tulis. Sastra tulis ini muncul setelah dikenal sistem aksara di beberapa wilayah di Indonesia. Oleh karena itu konsep pembahasan sastra lama langsung tertuju pada sastra lisan. Pembicaraan tradisi lisan ini dimulai dengan konsep folklore. Jadi, folklore adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak isyarat atau alat bantu mengingat, yang berada dalam pelbagai kolektif apa saja, secara tradisional dan mempunyai varian-varian tertentu.[2]

Selanjutnya pengertian yang sama folklore dalam tradisi lisan menurut Abrams, folklore; “since the mid-nineteenth century, has been the collective name applied to sayings, verbal compositions, and social rituals that have been handed down solely, or at least primarily, by word of mouth and example rather than in written form.”[3] Pengertian folklore menurut Endraswara yang disebut tradisi lisan “mempunyai wilayah diaspora, marginal, sastra lisan dianggap lebih bebas bergerak untuk menyuarakan hati nurani. Biasanya, para pendukung sastra lisan merasa tertekan menghadapi kekuasaan.”[4]
            Menurut Mario Klarer mengapa tradisi lisan merupakan bentuk dari sastra lama karena  sebelum karya sastra itu divisualkan maka yang ada adalah  tradisi lisan, 
            “Not only the visual—writing is always pictorial—but also the acoustic element, the spoken word, is an integral part of literature, for the alphabet translates spoken words into signs. Before writing developed as a system of signs, whether pictographs or alphabets, “texts” were passed on orally. This predecessor of literary expression, called “oral poetry,” consisted of texts stored in a bard’s or minstrel’s memory which could be recited upon demand.”[5]
            Berdasarkan teori-teori di atas maka dapat disimpulkan bahwa salah satu ciri khas sastra lama adalah tradisi lisan yang disebut folklore. Folklore merupakan tradisi lisan yang disampaikan secara turun temurun dengan maksud mempertahankan petuah adat istiadat setempat. Tradisi lisan tersebut tertuang dalam bentuk pantun, syair, hikayat, legenda, mite, sage, parabel, dan fabel.

B.  Tradisi Lisan dan Folklor
            Kata tradisi yang berarti menyampaikan atau meneruskan. Dalam kamus pengertian yang sama kata tradisi diartikan sebagai hal yang disampaikan atau yang di teruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tradisi lisan dan folklore adalah bagaimana secara turun temurun tradisi ini ditanamkan oleh para tetua adat sehingga bisa diteruskan oleh generasi berikutnya.
            Pengelompokkan Folklore menurut  Emzir dan Rohman dibagi menjadi tiga, yaitu (1) folklore lisan, semua materinya adalah lisan (2) folklore sebagian lisan, materialnya tidak seluruhnya lisan misalnya perangkat seremonial dan upacaranya itu sendiri/baik folklore lisan  dan (3)folklore material, tradisi penuturannya akan menghasilkan tradisi lisan dan dokumen tradisi lisan, dan dokumen tradisi lisan juga bisa dituturkan kembali menjadi tradisi lisan sehingga terjadi siklus tradisi lisan.

            Isi dari folklore itu bisa berupa pesan atau kesaksian, yang disampaikan melalui ucapan, dongeng, pidato, nyanyian, pantun, cerita rakyat, nasehat, balada, atau lagu. Tradisi juga dipahami sebagai suatu adat kebiasaan yang di pertahankan turun-temurun dan masih dihayati oleh masyarakat pendukungnya.

C.  Ciri-Ciri Tradisi Lisan

            Tradisi lisan muncul berkaitan dengan usaha mengabadikan pengalaman-pengalaman kelompok dimasa lampau melalui cerita yang diturunkan secara turun-temurun dari generasi ke generasi.  Unsur penting dalam tradisi lisan adalah pesan-pesan verbal yang berupa pernyataan-pernyataan yang pernah dibuat dimasa lampau oleh generasi yang hidup sebelum generasi yang sekarang ini. Yang perlu diperhatikan dalam hubungan tradisi lisan ini adalah yang berbentuk murni di dalamnya seperti: (1) bahasa rakyat (folkspeech) seperti logat, julukan, pangkat tradisional dan gelar kebangsawanan; (2) ungkapan seperti peribahasa, pepatah, pameo; (3) pertanyaan tradisional (teka-teki); (4)puisi rakyat seperti pantun, gurindam dan syair; (5) cerita prosa rakyat seperti mite, legenda, dan dongeng; dan (6) nyanyian rakyat.[6]
            Tradisi lisan sering dihubungkan dengan folklor, karena foklor menyangkut tradisi dalam kelompok masyarakat atau komunitas tetentu, Pewarisan melalui cara lisan atau tutur kata. Tradisi lisan hanyalah bagian dari foklor. Tradisi lisan mempunyai keterbatasan yaitu adanya unsur subjektifitas lebih besar dibandingkan unsur tertulis.

D.  Fungsi Tradisi Lisan bagi Masyarakat
            Tradisi lisan bagi masyarakat merupakan salah satu bentuk ekspresi kebudayaan daerah yang jumlahnya beratus-ratus di seluruh Indonesia. Kemampuan tradisi lisan untuk melingkupi segala sendi kehidupan manusia, membuktikan bahwa nenek moyang kita di masa lampau telah mengenal ajaran kehidupan yang terkandung dalam tradisi lisan. 
            Tradisi lisan dalam masyarakat merupakan salah satu karya sastra kuno dalam masyarakat primitif, hal ini digambarkan dalam karya tradisi lisan yang pengarangnya selalu anonim atau tanpa diketahui siapa pengarangnya, meskipun tradisi lisan tersebut berlangsung turun temurun.
            Hal ini diperjelas dari  konsep Cuddon bahwa tradisi lisan merupakan ciri-ciri dari tradisi masyarakat primitif,there is a great body of anonymous literature, especially that belonging to early or primitive societies, most of which is of the oral tradition (q.v.). Much Homeric poetry was anonymous in origin, so was OE poetry (of which Bewoulf is a notable example).[7]

            Tradisi lisan menurut Emzir dan Rohman dalam kehidupan bermasyarakat memiliki beberapa fungsi.
Pertama, berfungsi sebagai sistem proteksi di bawah sadar masyarakat terhadap suatu impian seperti cerita sang kuriang. Kedua, berfungsi untuk pengesahan kebudayaan seperti cerita asal-usul. Ketiga, berfungsi sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma social dan sebagai alat kontrol sosial seperti peribahasa. Keempat, berfungsi sebagai alat pendidikan anak seperti cerita si kancil.[8]

            Berdasarkan konsep-konsep di atas maka dapat disimpulkan bahwa fungsi tradisi lisan telah ada sejak zaman peradaban awal manusia primitif dalam bermasyarakat adalah berfungsi sebagai sistem proteksi masyarakat, asal-usul budaya, alat pemaksa, alat kontrol sosial dan alat pendidikan.


E.Kondisi Pembelajaran Sastra Lama di Indonesia

Kajian terhadap sastra di Indonesia sesungguhnya sudah mempunyai sejarah yang relatif cukup panjang, bersamaan dengan munculnya minat kajian terhadap sastra lisan di Eropa Barat. Minat terhadap sastra-sastra lokal di Nusantara bahkan sudah mulai tumbuh dan berkembang dengan baik sejak pemerintahan Hindia Belanda mendirikan Bataviaasch Genootshap van Kunsten en Wetenshappen (Lembaga Kesenian dan Ilmu Pengetahuan Batavia) pada tahun 1778. Kajian terhadap tradisi lisan di Indonesia pertama kali dilakukan sekitar tahun 1870. Kajian awal ini terfokus pada teks-teks lokal Batak dan Minangkabau. Baru setelah itu bermunculan karanga-karangan dan terbitan-terbitan dari hampir semua daerah di Nusantara. Tokoh-tokoh terkemuka dalam bidang kajian tradisi lisan Nusantara antara lain: N. Adrian, C. C. Kruyt, van der Veen, J. Woensdrecht.[9]
Kebudayaan Indonesia secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yakni kebudayaan nasional dan kebudayaan nusantara. Yang pertama adalah kebudayaan kesatuan Indonesia, yang besifat modern; sedangkan yang kedua adalah kebudayaa-kebudayaan daerah yang pada umumnya bersifat tradisional. Salah satu titik berat kebudayaan nasional itu adalah nasionalisme dan sifat kekotaan, sedangkan kebudayaan nusantara masih tetap berorientasi kepada kehidupan pedesaan, alam agraris dan kelisanan.
Kesusastraan daerah dan kesusastraan lisan, dalam politik kebudayaan nasional, terutama pada masa Orde Baru, sesungguhnya mengalami semacam kehidupan yang tertekan. Mengikuti pembagian Heryanto, maka secara umum di Indonesia terdapat empat kategori tipe ideal sastra, yakni: (1) sastra resmi atau yang diabsahkan; (2) sastra terlarang; (3) sastra yang diremehkan, dan (4) sastra yang dipisahkan.[10]
           Sastra resmi adalah sastra yang bergerak dalam domain estetika humanisme universal, yang mendapat kehormatan mewakili sastra indonesia dan disosialisasikan melalui pendidikan formal. Sastra terlarang, adalah kesusastraan yang harus dibasmikan dan dimusuhi oleh lembaga resmi pemerintahan karena dianggap mengancam status quo kesusastraan atau bahkan kehidupan sosial pada umumnya. Contohnya: karya-karya sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dipandang berideologi komunis. Kesusastraan yang diremehkan, adalah kesusastraan yang disisihkan dari kritik dan sejarah kesusastraan. Contohnya jenis ini antara lain sastra pop, hiburan, remaja dan radio. Kesusastraan yang dipisahkan, adalah berbagai khazanah kesusastraan daerah (termasuk sastra lisan) yang ditulis dalam bahasa daerah, kadang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia namun tidak diakui sebagai karya sastra.
 
F.  Model Pembelajaran Sastra lama

Lembaga pendidikan mempunyai tanggung jawab dan peran untuk membentuk karakter para peserta didik dan secara langsung ataupun tidak langsung mengajarkan dan mentransmisikan muatan budaya tertentu berupa nilai-nilai, sikap, peran, dan pola-pola prilaku. Berdasarkan itu,  peran lembaga pendidikan adalah mempersiapkan individu dan masyarakat agar memiliki kemampuan dan motivasi serta berpartisipasi aktif dalam aktualisasi dan institusionalisasi masyarakat.
            Pada era globalisasi lembaga pendidikan memiliki peran strategis karena dalam proses pembangunan tidak hanya berhubungan dengan ilmu saja, tetapi karakter berbasis budaya juga diperlukan. Dalam hal ini, karya sastra (lisan) mewadahi nilai-nilai manusia dan sosialnya dalam beragam bentuknya, misalnya dalam wujud penuturan cerita atau dongeng anak, nyanyian tradisional, wayang, dan prosa liris. Apresiasi terhadap karya sastra adalah salah satu tolak ukur keberhasilan pendidikan yang berkenaan dengan pembinaan seseorang terhadap fenomena estetis, dan merupakan perluasan cakrawala dalam kehidupan nilai-nilai yang pada gilirannya akan memperkaya pandangan hidup seseorang. Penghayatan mengenai fenomena estetis akan menjadikan seseorang lebih tanggap pula terhadap kebudayaan sebagai hasil kreatifitas manusia dalam kesejarahannya. Bahkan para humanis mengatakan, bahwa karya sastra sangat penting artinya dalam kehidupan bangsa karena suatu bangsa akan menghadapi resiko besar bila manusia hidup tanpa nilai.
            Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan ekonomi yang begitu pesat tanda disertai dengan penghayatan dan pengamalan nila-nilai agama serta seni budaya akan menimbulkan dehumanisasi. Dalam konteks seperti ini kiranya mendesak dirumuskan dan diimplementasikan paradigma, pendekatan, dan metode pendidikan berkarakter budaya yang mampu menjawab tuntutan dan tantangan yang berkembang dimasyarakat, sehingga krisis moral, spriritual, ketegangan dan pertentangan antar kelompok etnoreligius dapat dikurangi.
            Perubahan pembelajaran sastra lisan secara tradisional menjadi pembelajaran yang berdasarkan teori belajar dan model–model pembelajaran tertentu akan memberi dampak terhadap proses transfer rasa dan karsa. Hanya saja jalannya transfer rasa dan karsa itu dengan cara belajar berdasar teori belajar dan model –model pembelajaran tersebut, tidak berlangsung seperti dalam pembelajaran secara tradisional.
            Transfer jiwa atau konsep dalam berkesenian lebih banyak bergantung dari bakat, kemauan, kesungguhan dan kemampuan peserta didik. Sebagaimana diketahui dalam sastra terdapat unsur-unsur reaktivitas, ilham, pencerahan, dan ketrampilan. Namun, dalam kenyataannya sulit untuk menentukan kapan kreatifitas dan ketrampilan itu muncul.
            Apapun bentuk transfer adalah proses pembelajaran. Proses pembelajaran itu merupakan bentuk upaya pelestarian sastra lisan. Selanjutnya, pembelajaran itu merupakan kegiatan apresiasi sastra terhadap peserta didik. Kegiatan apresiasi itu merupakan peran lembaga pendidikan dalam membentuk karakter serta didik melalui peristiwa kreatifitas sastra yang berisi nilai –nilai yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan.
            Pembelajaran sastra lisan pada lembaga pendidikan seharusnya mampu menjadi guiding light yang berfungsi untuk menuntun manusia berbudi pekerti luhur. Sebagai contoh adalah menghargai dan menghormati keanekaragaman, menghargai dan mempraktekkan nilai-nilai demokrasi yang terdapat dalam sastra lisan. Oleh karena itu, pluralisme dan multikulturalisme perlu dikembangkan sebagai wujud Bhineka Tunggal Ika dikalangan peserta didik. Pendekatan pendidikan yang sentalistis-sastra Indonesia hanya sastra tulis- selama ini tampaknya tidak mempertimbangkan keunikan budaya lokal, sehingga menyebabkan tidak timbulnya apresiasi terhadap budaya-budaya lain yang berbeda.
            Berdasarkan Kepmendiknas No. 232/U/2000 pembelajaran di lembaga pendidikan berbasis budaya. Pembelajaran berbasis budaya tersebut bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran akan identitas dan jati diri budaya pada siswa seraya secara simultan meningkatkan toleransi dan apresiasi terhadap kemajemukan budaya lokal yang terdapat dilingkungan masyarakatnya melalui proses pembelajaran yang memuat konteks budaya berbagai ragam  budaya.[11] Pembelajaran berbasis budaya juga bertujuan untuk menumbuhkan minat dan penghargaan siswa terhadap kesenian dalam konteks luas dan khususnya sastra lisan yang berspiritkan tradisi lokal, disamping mengembangkan kemungkinan pelaksanaan pembelajaran yang berwawasan multikultural melalui dukungan dan partisipasi masyarakat.
           
G.   Materi Pembelajaran Sastra Lisan

Pembelajaran sastra berbasis budaya tidak akan mencapai tujuan bila guru tidak memiliki inovasi dan peserta didik hanya diberikan tugas menghapal periodisasi sastra, tokoh, karya dn istilah. Ada enam tawaran pemikiran dalam proses pembelajaran sastra khususnya sastra lisan.[12] Pertama, meninggalkan tradisi memberi tugas yang sifatnya menghujani peserta didik dengan menghapal materi berkaitan dengan periodisasi, tokoh-tokoh, pengarang, istilah dan teori. Kedua, lembaga pendidik harus menyediakan koleksi sastra sehingga akses peserta didik terhadap karya lebih mudah. Ketiga, pendidikan harus melengkapi ensiklopedia pengetahuannya dengan karya sastra. Artinya peserta didik harus telah atau bersama ikut melahap karya sastra sehingga peserta didik tidak berada dalam keadaan kosong apresiasi.
Keempat, pembelajaran sastra harus berorientasi kepada peserta didik, yakni apresiasi peserta didik terhadap karya sastra menjadi sentral. Dalam hal ini peserta didik disuguhi karya sastra dan dipersilahkan untuk mengonsumsinya. Kelima, peserta didik diberikan kesempatan untuk mengemukakan pikiran dan pendapatnya tentang karya sastra yang telah dibacanya tanpa mengacu pada norma atau batasam-batasan tertentu. Pola yang menjadi pikiran peserta didik pun diakomodasi dan dijadikan sebagai bahan diskusi. Keenam, materi pembelajaran dibebaskan dari aspek-aspek teoretis karena pembelajaran sastra bertujuan melakukan apresiasi.

            Berkaitan dengan itu materi sastra lisan dalam pembelajaran sastra memiliki tantangan yang lebih kompleks. Pembelajaran sastra tulis dengan mudah dapat dilaksanakan karena ketersediaan karya sastra itu. Akan tetapi, pembelajaran  sastra lisan dalam pandangan pendidik tentu harus menghadirkan sastra dalam bentuk lisan ke dalam ruang pembelajaran, menghadirkan penuturan sastra lisan kehadapan peserta didik. Tentu saja demikian, karena kehadiran penutur sastra lisan diruang pembelajaran akan memberikan motivasi dan wawasan baru bagi peserta didik karena bersentuhan langsung dengan penggiat sastra lisan itu . Hal itu tentu memiliki kelemahan berkaitan dengan kesiapan infrastuktur lembaga terhadap pembelajaran materi sastra lisan .
            Menghadirkan sastra lisan kedalam ruang  pembelajaran dapat pula dilakukan dengan memanfaatkan teknologi yang ada. Berbagai macam rekaman sastra lisan yang dilakukan oleh studio rekaman beredar luas ditengah masyarakat, diperjualbelikan untuk hiburan masyarakat, baik dalam bentuk kaset maupun CD. Kaset dan CD itu dapat dijadikan bahan pembelajaran dengan cara diputar atau ditayangkan dalam ruang pembelajaran melalui tape atau video recorder atau LCD. Hal itu sangat memudahkan bagi peserta didik untuk mengapresiasi sastra lisan itu, meskipun terdapat kelemahan dimana peserta didik tidak dapat mengapresiasi konteks sastra lisan itu.[13]
            Seiring dengan tawaran pemikiran di atas, maka dalam pembelajaran ini pendidik dan lembaga pendidikan dapat bekerja sama dengan perguruan tinggi dan lembaga penelitian, seperti fakultas sastra dan balai bahasa. Disamping itu dapat pula dimanfaatkan laporan-laporan hasil penelitian dan dokumentsi yang telah dilakukan oleh kedua lembaga tersebut yang selama ini mengendap dilemari arsip masing-masing. Laporan penelitian dan dokumentasi itu diperbanyak untuk keperluan pembelajaran itu.
            Selain itu, pembelajaran sastra lisan dapat memanfaatkan lingkungan sosial dengan cara membawa peserta didik ketengah masyarakat untuk melakukan apresiasi terhadap sastra lisan.[14] Dengan begitu, model pembelajaran tidak selalu harus dalam ruang, sekali kala peserta didik dalam proses pembelajaran dibawa dan diajak bersentuhan langsung dengan realita yang ada. Model pembelajaran ini telah banyak diterapkan dinegara barat dengan konsep sekolah alam.

H.   Bentuk-bentuk Sastra Lama sebagai Materi Pembelajaran

1.    Prosa Lama

a.    Dongeng
Dongeng adalah prosa cerita yang isinya bersifat khayalan atau hanya ada di dalam fantasi pengarang. Dongeng dibedakan menjadi:
1)    Fabel. Fabel adalah dengeng tentang kehidupan dunia binatang. Dongeng tentang kehidupan kehidupan binatang ini dimaksudkan mejadi teladan bagi kehidupan manusia pada umumnya.
2)    Legenda. Legenda adalah sebuah dongeng yang dihubungkan dengan keajaiban alam, terjadinya suatu tempat dan setengah mengadung unsur sejarah.
3)    Mite. Mite adalah dongeng yang berhubungan dengan cerita jin, peri ruh halus, dewa dan hal-hal yang berhubungan dengan kepercayaan animisme.
4)    Sage. Sage adalah dongeng yang mengandung unsur sejarah meskipun tidak seluruhnya berdasarkan sejarah. Cerita-certia lisan yang intinya historis, terjadi di suatu tempat tertentu dan pada zaman tertentu. Ada yang menceritakan tentang ruh-ruh halus, mengenai ahli-ahli sihir, setan atau mengenai tokoh-tokoh historis. Selalu ada ketegangan antara dunia manusia dan dunia gaib. Manusia selalu kalah.

b.    Hikayat
Hikayat adalah cerita yang panjang yang sebagian isinya mungkin terjadi sungguh-sungguh, tetapi di dalamnya banyak terdapat hal yang tidak masuk akal, penuh keajaiban. Meurut Dick dan Rahmanto, hikayat sebagai jenis prosa cerita Melayu Lama mengisahkan kebesaran dan kepahlawanan orang-orang ternama, para raja atau para orang suci disekitar istana dengan segala kesaktian, keanehan dan mukjizat tokoh utamanya; kadang mirip cerita sejarah atau berbentuk riwayat hidup.
c.    Tambo
Tambo adalah cerita sejarah, yaitu cerita tentang kejadian atau asal usul keterunan raja.

d.    Wira Carita
Wira carita adalah cerita yang pelaku utamanya adalah seorang kesatria yang gagah berani, pandai berperang dan selalu memperoleh kemenangan.

2.    Puisi Lama
a.    Mantra
Mantra merupakan karya sastra lama yang berisi pujian-pujian  terhadap sesuatu yang gaib atau yang di keramatkan, seperti dewa, roh dan binatang. Mantra biasa nya di ucapkan  oleh pawang atau dukun  sewaktu melakukan upacara keagamaan ataupun ketika berdoa.
b.    Pantun
Pantun merupakan puisi lama  yang terdiri dari empat baris  dalam satu baitnya.  Baris pertama dan kedua merupakan  sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempatnya adalah isi. Bunyi terakhir pada kalimat-kalimanya  berpola a-b-a-b. Dengan demikian, bunyi akhir pada kalimat ketiga dan bunyi akhir kalimat kedua sama denga bunyi akhir  pada kalimat keempat.


c.    Gurindam
Gurindam di sebut juga  sajak  pribahasa atau sajak dua seuntai. Gurindam memiliki beberapa  persamaan dengan pantun yakni pada isinya. Gurindam banyak mengandungnasihat atau pendidikan, terutama yang berkaitan dengan masalah keagamaan.
d.    Syair
Syair merupan bentuk puisi klasik  yang merupakan pengaruh kebudayaanArab. Dilihat dan jumlah barisnya, syair hampir sama dengan pantun, yakni sama-sama terdiri atas empat baris. Perbedaan nya terletak  pada persajakan. Pantun bersajak a-b-a-b, sedangkan syair bersajak a-a-a-a. selain itu, pantun memiliki sampiran, sedangkan syair tidak memilikinya.





BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Sastra lisan adalah hasil rasa yang merupakan sumber keindahan, yang termaksut dalam hasil karya sastra. Sastra lisan lahir  dari sebuah peradaban dalam masyarakat, yang hidup, berkembang dan terus ada di dalam masyarakat tersebut. Dalam kebaradaan nya di tengah masyarakat sastra memiliki peranan dalam mengaktualisasikan suatu kebudayaan dari masyarakat.
Sastra bisa di anggap luhur dan tinggi bila sasta masuk ke dalam sendi kehidupan masyarakat yaitu budaya, dimana sastra adalah alat budaya masyarakat dalam berbudaya.
Maka dari itu sebuah sastra akan selalu berkembang dan dinamis dengan perkembangan masyarakat nya, sastra yang bisa di terima dan sesuai dengan perkembangan masyarakat akan tepat untuk mengaktualisasi kebudayaan tersebut. Jika sastra tidak dapat dinamis maka berbanding terbalik dengan tujuan dari sastra itu sendiri.




DAFTAR PUSTAKA


Abrams, M.H. A Glossary of Literary Terms. USA: Thomson Learning, 1999.

Cuddon, J. A.. The Penguin Dictionary of Literary Terms and Literary Theory         England: Penguin Books, 1999.
Emzir & Saifur Rohman. Teori dan Pengajaran Sastra. Jakarta: PT                                      RajaGrafindo Persada, 2015.

Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Antropologi Sastra. Yogyakarta:                   Penerbit Ombak, 2013.

Finnegan, Ruth. Oral Poetry. London: Cambrige Unuversity Press. 1979.
Klarer, Mario. An Introduction to Literary Studies. New York: Routledge, 2004.
Y. T., Yoseph. Studi Sastra Lisan. Yogyakarta: Lamalera, 2011.



[1] Emzir & Saifur Rohman. Teori dan Pengajaran Sastra (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,          2015), h. 226.
[2] Emzir & Saifur Rohman., op. cit., h. 228.
[3] M.H Abrams. A Glossary of Literary Terms (USA: Thomson Learning, 1999), h. 100.
[4] Suwardi Endraswara. Metodologi Penelitian Antropologi Sastra (Yogyakarta: Penerbit      Ombak, 2013), h. 71.
[5] Mario Klarer. An Introduction to Literary Studies (New York: Routledge, 2004), h. 2.
[6] Emzir & Saifur Rohman., op. cit., h. 229.
[7] J. A. Cuddon. The Penguin Dictionary of Literary Terms and Literary Theory (England: Penguin Books, 1999),  h. 41.
[8] Emzir & Saifur Rohman., op. cit., h. 229-230.
[9] Yoseph Y. T., Studi Sastra Lisan. (Yogyakarta: Lamalera, 2011), h. 33
[10] Ibid., h. 33.
[11] Emzir & Saifur Rohman. Teori dan Pengajaran Sastra (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015), h.232
[12] Ibid.,233
[13] Ibid., 234
[14] Ruth Finnegan. Oral Poetry. (London: Cambrige University Press. 1979), h. 123.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar