BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ada
asumsi dasar dalam sosiolinguistik bahwa para individu harus dilihat sebagai
anggota kelompok sosial dimana mereka memainkan peran sosial di dalam domain
yang bermacam-macam dan dengan melakukan itu mereka memanfaatkan dan
menggunakan bentuk tingkah laku yang cocok, yang satu di antaranya adalah
tingkah laku bahasa. Sebagai anggota kelompok sosial, individu-individu itu
akan diikat oleh bahasa menjadi komunitas suatu bahasa. Bahasa kemudian akan
menjadi identitas dari komunitasnya.
Bahasa
sebagai sarana penyerap/pengikat individu-individu dalam satu komunitas bahasa
(speech community) pada saatnya akan
mem-bangun solidaritas kelompok yang disebut nasionalisme. Solidaritas nasional
itu kemudian diungkapkan dalam bentuk tanda yang dapat diindera, seperti:
bahasa nasional. Bahasa nasional ini akan menjadi identitas dirinya yang
membedakan dari bangsa lainnya.
Pembahasan
tentang bahasa sebagai identitas komunitas dan bahasa sebagai lambang
nasionalisme akan kami sajikan berikut ini. Pembahasan akan dibagi menjadi dua
pokok bahasa, yakni: (1) Bahasa Nasional dan (2) Perencanaan Bahasa. Dua pokok
bahasan tersebut kemudian dibagi menjadi beberapa sub-subpokok bahasan. Dengan
pembahasan ini, kami berharap adanya pengembangan wawasan pemahaman kita
tentang bahasa nasional dan perencanaan bahasa baik di Indonesia dan wilayah
dunia lainnya dalam sudut pandang sosiolinguistik.
A.
Tujuan
Penulisan
Berdasarkan
latar belakang masalah maka dapat dirumuskan tujuan penulisan makalah ini,
sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan
hakikat Bahasa Nasional.
2. Mendeskripsikan
hakikat Kebijakan Bahasa.
3. Mendeskripsikan
hakikat Perencanaan bahasa.
B.
Manfaat
Penulisan
Secara umum
makalah ini dapat bermanfaat untuk para pemerhati pendidikan seperti, dosen,
mahasiswa, guru, instruktur dan peneliti di bidang pendidikan. Sedangkan secara
khusus, makalah ini diperuntukkan untuk mahasiswa S3 pendidikan bahasa agar
mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang: pengertian bahasa nasional, kebijakan bahasa dan perencanaan bahasa.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Bahasa Nasional
Menurut
Holmes Bahasa nasional merupakan sebuah bahasa dalam politik, budaya dan
unit-unit sosial. Itu secara umum dikembangkan sebagai sebuah simbol dari
persatuan nasional dan mempunyai fungsi untuk mengidentifikasi sebuah negara
dan mempersatukan rakyatnya. Suatu bahasa resmi sebaliknya adalah suatu bahasa sederhana yang mungkin di gunakan
dalam pemerintahan. Fungsinya terutama berfaedah dan tidak hanya simbolik dan
tentu untuk sebuah bahasa mempunya peran untuk melayani kedua fungsinya.[1]
Tidak
mengherankan jika pemerintah tidak selalu mengakui sebuah perbedaan yang dibuat
oleh seorang ahli bahasa. Mereka menggunakan bentuk “official” resmi dan “National” nasional
untuk memenuhi tujuan politik mereka. Seperti orang Paraguay yang mengubah
situasi sejak tahun 1992 ketika Guarani diberikan status sebagai bahasa resmi
Paraguay disamping bahasa spanyol. Jadi sekarang paraguay mempunyai dua bahasa
resmi dan satu bahasa nasional yaitu ‘Guarani’. Pola yang sama ditemukan pada Tanzania yang memiliki multibahasa dengan
satu bahasa nasionalnya ‘Swahili’ tetapi memiliki dua bahasa resmi negaranya
yaitu ‘Swahili’ dan ‘English (Bahasa Inggris)’. demikian pula di Vanuatu
sebagai bahasa nasionalnya adalah ‘Bislama’ yang merupakan sebuah kreol pasifik
dan itu juga di gunakan sebagai bahasa resmi disamping bahasa Prancis dan
bahasa Inggris, yang sebelumnya merupakan bahasa administrator kolonial. Banyak
negara tidak membedakan diantara bahasa nasional dan bahasa resmi. Di sebuah
negera yang menganggap sebagai satu bahasa nasioanal, mempunyai bahasa yang
sama dalam melayani kedua tujuannya. Di dalam sebuah komunitas multibahasa
bagaimanapun semua jenis perubahan susunan sudah digunakan untuk memenuhi
tujuan politik dan sosial. Disisilain
itu akan lebih praktis dan berfaedah.
Pemerintah
pada suatu Negara-negara dengan multibahasa sering menyatakan sebuah bahasa
tertentu untuk menjadi bahasa nasional dengan alasan yang sifatnya politis.
Suatu pernyataan menjadi langkah awal dalam proses menegaskan suatu kedudukan
sebagai negara merdeka, negara baru merdeka atau mendirikan seebuah bangsa
contohnya seperti kasus bahasa Swahili di Tanzania dan bahasa Hebrew di Israel,
bahasa Malay di Malaysia
dan bahasa Indonesia di Indonesia. Dimana bahasa nasional ini
tidak dapat melayani fungsi internal dan external dalam pemerintahan,
bagaimanapun itu perlu untuk mengidentifikasi satu atau lebih bahasa resmi.
Jadi bahasa Prancis
yang merupakan bahasa resmi di beberapa negara seperti di pantai gading dan
Chad, dimana sebelumnya Prancis
merupakan sebuah negara kolonial., dan bahasa arab sebagai bahasa resmi di
israel disamping bahasa Hebrew.
Mengidentifikasi
bahasa resmi merupakan suatu hal yang sangat penting ketika pilihan bahasa
nasional bermasalah. India yang merupakan negara multibahasa, sebagai contoh
India telah mencoba untuk menjadikan ‘Hindi’ sebagai satu-satunya bahasa
nasional tetapi itu tidak berhasil dikarenakan empat belas bahasa regional dari
masyarakat india mengakui sebagai bahasa resmi mereka adalah bahasa inggris dan
Hindi yang menyebar di seluruh India. Sebagai tambahan dinegara bagian yang
berbeda masing-masing sudah mempunyai bahasa resmi mereka. Contohnya seperti
‘Telugu’ yang merupakan bahasa resmi yang digunakan di negara bagian Andhra
Pradesh. Beberapa negara dengan multibahasa sudah mengangkat lebih dari satu
bahasa nasional. Seperti Negara Republik Demoktatis Kongo-Zaire mempunyai empat
bahasa nasional yang digunakan oleh masyarakatnya yaitu Lingala, Swahili,
Tshiluba, dan kikongo disamping bahasa prancis sebagai suatu bahasa resminya. Lingala
adalah bahasa resmi bagi tentaranya di Haiti, pata tahun 1983 konstituen
mendeklarasikan Haitian Kreol sebagai bahasa nasional disamping bahasa Prancis,
tetapi itu tidak sampai tahun 1987 dimana kreol di jamin sebagai bahasa resmi
negara tersebut.
1. Status
Bahasa Resmi dan Bahasa Minoritas
Dikarenakan
sejarah kolonial atau penjajahan, seperti sebuah nilai bahasa di dunia dan
bahasa pergaulan, bahasa Inggris merupakan bahasa resmi dan banyak negara di
dunia menggunakannya. Seperti Pakistan, Fiji, Vanuatu, Jamaica, dan Bahamas.
Itu membagi status bahasa resmi ini dengan sebuah bahasa asli seperti bahasa
melayu di malaysia, swahili di Tanzania dan Gilbertese di Kiribati tetapi
menariknya bahasa Inggis tidak legal sebagai sebuah bahasa resmi di Inggris,
USA, atau New Zeland. Dinegara ini, itu tidak dianggap penting untuk diatur
sebagai mayoritas sebuah bahasa resmi. Di New Zeland ironisnya walaupun bahasa Inggris secara de facto (pada kenyataannya) merupakan
sebuah bahasa resmi dalam pemerintahan dan pendidikan. Maori dan New Zeland menandai bahasa dengan
dua bahasa yang statusnya dilegalkan atau de
jure.
Maori
di deklarasikan sebagai
bahasa resmi di New Zeland pada tahun 1987. Tetapi secara terang-terangan
memberikan bahasa sebuah status yang tidak dimiliki sebelumnya. Pemahaman atau
pengetahuan mengenai pentingnya sebuah simbol (bahasa) pada sebuah negara
secara keseluruhan. Seperti orang-orang Maori yang mempunyai adat istiadat
tertentu. Itu juga dapat dianggap sebagai pernyataan positif yang dimaksudkan
sebagai langkah awal pada sebuah proses yang dapat mendorongbahasa maori lebih
banyak ditingkatkan dalam domain institusi resmi seperti, Hukum, acara-acara
resmi pemerintahan dan transaksi sertas dalam pendidikan.
Aktifis
Maori mengkapanyekan bahasa maori yang dianggap layak digunakan sebgai bahasa
resmi pada konteks kenegaraan dalam kurun waktu tertentu. Cara yang digunakan
dengan menggunakan cara damai tetapi kelompok minoritas sudah sering melakukan
aksi radikal untuk mendapatkan pengakuan resmi dari bahasa mereka. Di Wales,
bahasa wales merupakan bahasa yang diakui sebagai bahasa resmi pada
pemerintahan dan pendidikan. Tetapi bukan merupakan status bahasa resmi di
Britania. Pada abad ke duapuluh aktivis Welsh menggunakan bahasa inggris
sebagai bentuk protes yang paling dominan, dan presiden pada Plaid Cymru
(Perayaan Nasional Welsh) berjanji cepat atau mati akan segera membuat chanel
televisi berbahasa welsh.
Di tempat lain sudah
pernah terjadi kerusuhan yang disebabkan karena isu-isu mengenai bahasa. Hal ini terjadi
seperti di India dimana bahasa minoritas di india sudah dirusuhkan ketika
tuntutan mereka gagal untuk di dengarkan.di Belgia bahasa Prancis dan Flemish
sudah di legalkan sejak tahun 1963, tetapi kerusuhan bahasa pada tahun 1986
dikarenakan karena kegagalan pemerintah ketika mengusulkan untuk memperjuangkan
bahasa Prancis di Universitas Louvain. Sedangkan pada tahun 1968 bahasa resmi di deklarasikan di antara
bahasan prancis dan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi di kanada dan
memberikan mereka status yang sama pada semua aspek dalam ruanglingkup
administrasi federal. Pemerintahan Quebec sudah lebih jauh puas dengan
kenyataan bahwa bahasa Inggris adalah bahasa yang mendominasi, dan sudah
terancam untuk memisahkan diri dengan isu-isu yang berhubungan dengan bahasa.
Sejak dekade tahun 1969 telah terjadi gesekan antara bahasa prancis dan bahasa
Inggris pada komunitas bahasa hal itu tercermin dengan adanya aksi
menginjak-injak bendera Quebec dan petisi umum pada tanda jalan besar yang
harus menggunakan dua bahasa (Bilingual).
Banyak masyarakat minoritas
akan mendapatkan status resmi dengan bahasa yang digunakan oleh mereka, tetapi
itu membutuhkan biaya yang besar untuk proses pelayanan dan informasi dari
semua bahasa resmi. Dan pemerintah menjumlah biaya tersebut dengan hati-hati.
Contohnya seperti di Kanada, pengguna bahasa prancis dan orang-orang kanada
asli seperti Cree dan Mohawk, ada banyak minoritas penduduk kanada yang lain
seperti orang italia, portugis, cina dan ukraina yang mempunyai sekitar 27
persen dari jumlah populasi dari
keseluruha orang kanada. Banyak pernyataan yang bermakna kebencian dengan
menggunakan bahasa prancis dimana itu memiliki 23 persen dari jumlah populasi.
Menyediakan pelayanan, informasi, hukum dan di beberapa tempat pendidikan
dengan menggunakan dua bahasa resmi merupakan bisnis yang mahal. Itu tampaknya
tidak mungkin terdapat pada minoritas lainnya yang akan mendapatkan hak-hak
tersebut dengan mudah.
2.
Berapa haga bahasa nasional?
Banyak negara yang
menganggap pengembangan satu bahasa nasional seperti sebuah jalan simbolisme
pada negara kesatuan. ‘satu negara’ ‘satu bahasa’ sudah menjadi sebuah slogan
yang terkenal dan efektif. Pada abad yang lalu bahasa nasional sering muncul
dan digunakan sebagai bahasa politik secara alami dan secara keseluruhan tidak
terkontrol atau sadar diri pada waktu-waktu tertentu. Bahasa Inggris di Inggris
, bahasa Prancis di prancis bahasa jepang di jepang, dan bahasa spanyol di
spanyol merupakan contoh yang terlihat nyata. Ada beberapa bahasa dengan jenis
ini mempunyai status sekitar 1500. Kemudian jumlahnya meningkat secara dramatis
tepatnya pada abad ke sembilan belas sebagai bahasa nasional yang berkembang di
Eropa. Itu sudah hampir dua kalilipat pada abad ke dua puluh dengan munculnya
negara-negara jajahan dengan menggunakan aturan kolonial terhadap sebuah negara
dan bangsa.
Lebih
dari seratus tahun yang lalu, negara merdeka sudah menjadi isu politik yang
sangat penting di seluruh dunia. Perjuangan untuk membangun dan mendirikan
identitas nasional yang berbeda dan terjamin dari kebebasan terlepas dari
aturan kolonial. Pengembangan bahasa nasional sering di terapkan pada
bagian-bagian yang penting. Nilai simbol dari bahasa nasional yang menggalang
untuk mempersatukan kekuatan demi kemerdekaan secara cepat di apresisi
diberbagai negara, seperti di tanzania ada lebih dari 120 bahasa di ucapkan.
Disisi lain sebuah negara dengan multibahasa seperti cina, philipina dan
Indonesia yang mempunyai ratusan populasi bahasa daerah disini sebuah bahasa
nasional tidak hanya berguna sebagai bahasa pergaulan dan bahasa resmi tetapi itu juga memberikan
simbol bagi negaranya.
Dimana
suatu kelompok yang dominan memunculkan sebuah isu bagi bangsa yang memilih
bahasa resmi itu merepresentasikan bangsanya secara umum tidak berkembang.
Somali adalah bahasa yang digunakan sekitar 90 persen oleh penduduk somalia dan
merupakan bahasa resmi nasional bagi negaranya. Danish adalah bahasa nasional
Denmark dan ini dugunakan hampir 98 persen penduduk Denmark. Bagaimanapun dominasi numerik tidak selalu
dapat dihitung. Kekuatan politik merupakan faktor yang sangat krusial.
Pada negara dengan
multibahasa, kekuatan politik dalam menentukan bahasa nasional sudah sangat
jelas. Ada ratusan bahasa daerah yang digunakan di philipina. Ketika mereka
mendapatkan kemerdekaan pada tahun 1946. Filipino di deklarasikan sebagai
bahasa nasional. Itu begitu erat dengan bahasa tagalog yang merupakan bahasa
ethnic pada kelompok tertentu dan itu tidak pernah diterima secara utuh. bahasa
tagalog sudah mempunyai sekitar duabelas juta penutur asli tetapi Cebuana
contohnya sudah mempunyai sepuluh juta penutur dan ilocano bahasa asli lainnya
yang digunakan oleh lebih dari lima juta penutur. Pemilihan bahasa tagalog tercermin
pada kekuatan politik dan ekonomi yang di kosentrasikan pada wilayah ibukota,
Manila. Penandaan bahasa filipina sudah mencoba untuk mendapatkan keuntungan
secara luas, tetapi kemarahan pada ethnic tertentu masih sangat di rasakan.
Di
Indonesia sebaliknya
pemerintah tidak memilih bahasa politik dan bahasa pada kelompok masyarakat
elit, dimana jawa sebagai bahasa nasional. Sebagai gantinya mereka
mengembangkan sebuah vareasi bahasa melayu standar yang secara luas digunakan
di Indonesia sebagai bahasa perdagangan. Sejak bahasa jawa mempunyai aturan
kebahasaan yang sangat kompleks berdasarkan kesantunan dan nilai-nilai status
yang relatif. Dan ini sungguh merupakan keputusan yang bijaksana. Sesungguhnya
kesuksesan dalam penyebaran bahasa Indonesia berhutang banyak pada fakta yaitu mengenai
pemilihan bahasa yang netral pada banyak
situasi.
Seperti yang dijelaskan oleh Sneddon
tercapainya status ini erat sekali hubungannya dengan kebijakan pemerintahan
Orde Baru (1968-1998) dalam bidang bahasa, khususnya, dan bidang pembangunan
ekonomi secara umum. Landasan dasar kebijakan pemerintah Orde Baru dalam
perencanan bahasa nasional didasarkan pada keyakinan bahwa standarisasi,
modernisasi dan intelektualisasi bahasa Indonesia memainkan peranan yang penting
dalam menciptakan inovasi dan komunikasi informasi sebagai komponen dari
pembangunan ekonomi Indonesia. Pusat Bahasa memiliki peranan yang sangat sentral
dalam mengimplementasikan undang-undang
tentang pembakuan bahasa Indonesia sehingga penguasaan pada bahasa Indonesia
yang benar identik dengan bahasa orang yang terdidik dan profesional. Kebijakan
bahasa pemerintah yang menjadikan bahasa sebagai simbol nasionalisme telah
membawa bahasa Indonesia ke status yang tinggi dan fungsi komunikatif sebagai bahasa
bangsa di dunia modern, dan yang sekaligus juga memperoleh nilai-nilai sebagai
simbol dari sesuatu yang dapat disebut identitas, yaitu Indonesia asli. [2]
Seperti India dan beberapa negara afrika sudah
menghindari untuk menyeleksi hanya satu bahasa nasional, sejak kesalahan
memilih dapat dengan mudah memunculkan konflik dan lebih lagi kedalam
peperangan. Tanzania sukses mengadopsi Swahili sebagai bahasa nasionalnya dan
ini diterima ketika sebuah negara akan lebih terlibat dalam mengembangkan
bahasa asli mereka menjadi bahasa nasional. Para ahli bahasa sering terlibat
dalam proses perencanaan bahasa.
B. Kebijakan Bahasa
Kebijakan bahasa dapat diartikan sebagai suatu
pertimbangan konseptual dan politis yang dimaksudkan untuk dapat memberikan
perencanaan, pengarahan, dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai
dasar bagi pengolahan keseluruhan masalah kebahasaan yang dihadapi oleh suatu
bangsa secara nasional. Jadi, kebijakan bahasa itu merupakan satu pegangan yang
bersifat nasional, untuk kemudian membuat perencanaan bagaimana cara membina
dan mengembangkan satu bahasa sebagai alat komunikasi verbal yang dapat
digunakan secara tepat di seluruh negara, dan dapat diterima oleh segenap warga
yang secara lingual, etnis, dan kultur berbeda.
Tujuan
kebijakan bahasa adalah dapat berlangsungnya komunikasi kenegaraan dan
komunikasi intra bangsa dengan baik, tanpa menimbulkan gejolak sosial dan
gejolak sosial yang dapat mengganggu stabilitas bangsa. Oleh karena itu,
kebijakan bahasa yang telah di ambil Indonesia dari perkataan diatas bisa
dilihat bahwa kebijaksanaan bahasa merupakan usaha kenegaraan suatu bangsa
untuk menentukan dan menetapkan dengan tepat fungsi dan status bahasa atau
bahasa-bahasa yang ada di negara tersebut, agar komunukasi kenegaraan dan kebangsaan
dapat berlangsung dengan baik. Selain memberi keputusan mengenai status,
kedudukan, dan fungsi suatu bahasa, kebijakan bahasa harus pula memberi
pengarahan terhadap pengolahan materi bahasa itu yang biasa disebut sebagai
korpus bahasa.
Kebijakan
bahasa juga merupakan hal yang utama sebelum memasuki perencanaan bahasa,
seperti kata Ronald Wardhaugh and Janet M. Fuller. dalam An Introduction to
Sociolinguistics.
Upaya untuk mengubah bahasa, baik dalam hal bentuk atau
fungsinya, biasanya digambarkan di dalam perencanaan bahasa. Karena 'rencana'
yang terlibat dalam mengubah bahasa sering (meskipun tidak berarti selalu) melibatkan
keputusan kebijakan pada perencanaan bahasa sering terkait dengan pembuatan
pada kebijakan bahasa, seperti di dalam LPP (Language
Policy and Planning). (Kebijakan
Bahasa dan Perencanaan Bahasa). Hornberger menunjukkan bahwa hubungan antara kebijakan
dan perencanaan yang kompleks; perencanaan tidak selalu menyebabkan terciptanya
suatu kebijakan.[3]
Contoh kebijakan
bahasa di Negara jajahan Uni Soviet
sebelum terpecah belah,
Di bekas jajahan
Uni Soviet ada sejumlah besar perencanaan bahasa berasal dari kebijakannya.
Salah satu kebijakan yang paling penting adalah Russification Rusiafikasi
bahasa. Tak perlu dikatakan, dalam keadaan seluas Uni Soviet, terdiri dari
penutur sekitar 100 varietas linguistik yang berbeda, ada beberapa aspek yang
berbeda untuk kebijakan tersebut. Salah satunya adalah elevasi dialek regional
dan lokal menjadi 'bahasa,' kebijakan 'divide et impera. "Tujuannya adalah
untuk mencegah pembentukan blok bahasa besar dan juga untuk memungkinkan
pemerintah pusat bersikeras bahwa Bahasa Rusia akan digunakan sebagai sebuah
lingua franca[4].
Contoh selanjutnya
kebijakan bahasa warga perancis dalam menetapkan nilai kesuksesan yaitu dengan
belajar dialek Kota Paris.
Masa lalu
(dan sampai batas tertentu di masa sekarang), warga negara Perancis dari
provinsi yang ingin berhasil dalam masyarakat Prancis hampir selalu harus
belajar dialek Perancis Paris karena
bergengsi. padahal, beberapa dekade yang lalu, anggota gerakan otonomi daerah
menuntut hak untuk menggunakan bahasa mereka sendiri di sekolah mereka dan
untuk bisnis resmi.[5]
Masalah-masalah kebahasaan yang dihadapi setiap bangsa
tidaklah sama, sebab tergantung pada situasi kebahasaan yang ada di dalam
negara itu. Negara-negara yang sudah memiliki sejarah kebahasaan yang cukup,
dan di dalam negara itu hanya ada satu bahasa saja cenderung tidak mempunyai
masalah kebahasaan yang serius. Tetapi di negara-negara yang terbentuk dan
memiliki sekian banyak bahasa daerah akan memiliki persoalan kebahasaan yang
cukup serius, dan mempunyai kemungkinan timbulnya gejolak sosial dan politik
akibat persoalan bahasa itu.
Berkenaan
dengan itu dalam kebijakan bahasa dikenal dengan adanya negara tipe endoglosik,
seperti Indonesia Malaysia, Thailand, Belgia, R.R China; tipe
eksoglosik-endoglosik, seperti Filipina; dan tipe eksoglosik, seperti Somalia.
Endoglosik adalah Negara yang menjadikan
bahasa asli pribumi sebagai bahasa resmi kenegaraan. Eksoglosik-endoglosik
adalah Negara yang mempunyai 1 bahasa nasional ( pribumi ) dan beberapa bahasa
resmi (pribumi, bahasa luar ) .Eksoglosik adalah Negara yang mempunyai bahasa
resmi bukan dari pribumi.
Berdasarkan dari Sumber Moeliono dalam Chaer &
Agustina, pembagian Negara berdasarkan tipe endoglosik, eksoglosik-endoglosik
dan eksoglosik terletak pada bagan di bawah ini,
Negara Tipe
Endoglosik
No
|
Negara
|
Bahasa Nasional
|
Bahasa Resmi Kenegaraan
|
Bahasa Resmi Kedaerahan
|
1
|
Indonesia
|
Indonesia
|
Indonesia
|
-
|
2
|
Malaysia
|
Malaysia
|
Malaysia
|
-
|
3
|
Thailand
|
-
|
Thai
|
-
|
4
|
Belgia
|
-
|
Belanda & Prancis
|
-
|
5
|
R.R Cina
|
Putunghua
|
Putunghua (2)
|
-
|
Keterangan:
1.
Antara
tahun 1957, tahun proklamasi kemerdekaan persekutuan Tanah Melayu, sampai tahun
1967 bahasa Melayu dan bahasa Inggris kedua-duanya merupakan bahasa resmi di
Malaysia. Sejak tahun 1967 hanya bahasa Malaysia yang menjadi bahasa resmi.
2.
Putunghua
(atau pu-tung-hua)’bahasa bersama’ adalah bahasa nasional Cina sejak tahun
1955. Di Taiwan disebut Guoyu ‘bahasa nasional’ Putunghua berdasar pada
bahasa-bahasa Cina Utara dan bahasa Cina dialek kota Beijing.
Negara Tipe
Eksoglosik-Endoglosik
No
|
Negara
|
Bahasa Nasional
|
Bahasa Resmi
Kenegaraan
|
Bahasa Resmi
Kedaerahan
|
1
|
Filipina
|
Pilipino 1
|
Pilipino, Inggris
& Spanyol 2
|
-
|
2
|
India
|
Hindi
|
Hindi & Inggris
|
(sebelas bahasa berdasarkan konstituasi, a.l. Telugu, Tamil, dan
Benggali)
|
3
|
Singapura
|
Melayu
|
Melayu, Mandarin,
Tamil, Inggris
|
-
|
4
|
Tanzania
|
Swahili
|
Swahili, Inggris
|
-
|
5
|
Ethiopia
|
Amhar
|
Amhar, Inggris
|
-
|
Keterangan:
1.
Antara
tahun 1946-1972 nama bahasa nasional Filipina adalah Pilipino (dengan huruf P)
yang berdasarkan bahasa Tagalog lalu setelah itu diubah menjadi Filipino
(dengan huruf F) yang akan diusahakan berdasarkan unsur semua bahasa daerah
yang ada di Filipina.
2.
Bahasa
Spanyol di Filipina hanya menjadi bahasa resmi antara tahun 1946 sampai 1972,
setelah itu tidak lagi.
Negara Tipe
Eksoglosik
No
|
Negara
|
Bahasa Nasional
|
Bahasa Resmi Kenegaraan
|
Bahasa Resmi Kedaerahan
|
1
|
Somalia
|
Somalia
|
Inggris
|
-
|
2
|
Haiti
|
Arab
|
Italia
|
-
|
3
|
Senegal
|
Kreol
|
Prancis
|
-
|
4
|
Liberia
|
-
|
Inggris
|
-
|
5
|
Mauritania
|
Arab
|
Prancis
|
-
|
6
|
Sudan
|
Arab
|
Inggris (lalu diganti Arab)
|
-
|
7
|
Papua Nugini
|
Tok Pisin, Hiri Mott
|
Ingggris
|
-
|
8
|
Nigeria
|
-
|
Inggris
|
Hausa
|
9
|
Ghana
|
Prancis
|
Inggris
|
|
10
|
R.R Kongo
|
-
|
Prancis
|
Kituba, Luba, Lingala, Swahili
|
Moeliono (1983) dalam Abdul Chaer
& Leonie Agustina. Sosiolinguistik
Perkenalan Awal (PT Rineka Cipta: Jakarta, 2004), h. 180-181.
Pembahahasan secara rinci fakta di
Indonesia mempunyai tiga buah bahasa, yaitu bahasa nasional, bahasa daerah
tidak, dan bahasa asing. Jauh sebelum kebijaksanaan bahasa diambil untuk
menetapkan fungsi ketiga bahasa itu, para pemimpin perjuangan Indonesia
berdasarkan kenyataan bahwa bahasa Melayu telah sejak berabad-abad yang lalu
telah digunakan secara luas sebagai lingua
franca di seluruh Nusantara dan sistemnya cukup sederhana, telah menetapkan
dan mengangkat bahasa Melayu itu menjadi bahasa persatuan untuk seluruh
Indonesia dan memberinya nama Bahasa Indonesia.
Proses pengangkatan kebijakan bahasa
sudah terjadi sejak peristiwa pengangkatan bahasa Indonesia yang terjadi pada
tanggal 28 Oktober 1928 dalam satu ikrar yang disebut Sumpah pemuda itu tidak
pernah menimbulkan protes atau reaksi negatif dari suku-suku bangsa lain di
Indonesia, meskipun jumlah penuturnya lebih banyak.
Dalam
Risalah Simposium Moeliono, berdasarkan fakta di Indonesia, ada beratus-ratus bahasa dan dialek suku etnis. Hingga kini tidak ada pihak yang tahu jumlahnya
dengan pasti. Dugaan para ahli berkisar antara 550 dan 700 bahasa. Makin ke
timur makin banyak jumlah bahasa dengan penutur yang makin kecil. Ada empat
belas bahasa daerah dengan jumlah penutur di atas satu juta: bahasa Jawa (75),
Sunda (27), Madura (9), Minang (6,5), Bugis (3,6) Bali (3,0) Aceh (2,4), Banjar
(2,1) Sasak (2,1) Batak Toba (2,0) Makassar (1,6), Lampung (1,5), Batak Dairi
(1,2), Rejang (1,0).[6]
Berdasarkan
jumlah keragaman suku-suku di Indonesia di atas maka untuk menyatukannya
dilakukan penetapan bahasa Indonesia menjadi bahasa negara dalam Undang-Undang
Dasar 1945 pun tidak menimbulkan masalah. Oleh karena itu, para pengambil
keputusan dalam menentukan kebijaksanaan bahasa yang menetapkan fungsi-fungsi
bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing dapat melakukannya dengan
mulus. Bahasa Indonesia telah ditetapkan sesuai dengan kedudukannya sebagai
bahasa nasional dan bahasa negara, sebagai lambang kebanggaan nasional, dan
sebagai alat komunikasi nasional kenegaraan atau intrabangsa. Hal seperti ini
telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar, Pasal 36, tentang bahasa Negara,
atau Undang-Undang Nomor 24, Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang
Negara, serta Lagu Kebangsaan.
C. Perencanaan Bahasa
Perencanaan bahasa merupakan
kegiatan yang harus dilakukan setelah melakukan kebijaksanaan bahasa.
Perencanaan bahasa disusun berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah
digariskan dalam kebijaksanaan bahasa. Siapa pun sebenarnya dapat menjadi
pelaku perencanaan, dalam arti peseorangan maupun lembaga pemerintahan atau
lembaga swasta. Dalam sejarahnya, tampaknya yang banyak menjadi pelaku
perencanaan ini adalah lembaga kebahasaan, baik yang merupakan instansi
pemerintahan maupun bukan.
1.
Bidang-bidang
Kajian Perencanaan Bahasa
Suatu bentuk
perencanaan bahasa tentunya harus diikuti dengan langkah-langkah pelaksanaan,
ada
tiga dimensi langkah-langkah perencanaan bahasa yang meliputi, corpus planning, status planning, dan acquisition
planning. Penjelasan mengenai ketiga dimensi tersebut adalah sebagai
berikut.
a.
Corpus Planning
Corpus planning mengacu pada intervensi
terhadap suatu bahasa. Hal ini mungkin diperoleh dengan cara menciptakan
kosakata baru, memodifikasi yang lama, atau menyeleksi bentuk-bentuk
alternatif. Corpus planning bertujuan
untuk mengembangkan sumber-sumber suatu bahasa, sehingga bahasa tersebut dapat
menjadi media yang tepat untuk suatu komunikasi untuk suatu bentuk dan topik
wacana yang baru, dengan dilengkapi dengan istilah-istilah yang diperlukan
untuk suatu urusan adminsitrasi, pendidikan, dan lain-lain.
Corpus planning seringkali berhubungan
dengan standardisasi sebuah bahasa yang meliputi persiapan untuk sebuah
ortografi, tatabahasa, dan kamus yang normatif sebagai panduan bagi penulis dan
pembicara dalam suatu komunitas bahasa. Usaha dalam pemurnian bahasa dan
penghilangan kosakata asing dalam suatu bahasa juga termasuk dalam corpus planning, seperti juga pembaruan
pelafalan dan pengenalan sistem tulisan yang baru. Untuk bahasa-bahasa yang
sebelumnya tidak memiliki bahasa tulis, langkah pertama yang harus diambil
dalam corpus planning adalah
pengembangan sistem penulisan.
b.
Status Planning
Status planning mengacu pada usaha-usaha
untuk mempengaruhi pengalokasian fungsi-fungsi suatu bahasa di dalam suatu
komunitas bahasa. Biasanya pengalokasian fungsi-fungsi bahasa tersebut terjadi
secara spontan, tetapi tentu saja ada beberapa yang terjadi sebagai hasil dari
sebuah perencanaan. Beberapa usaha yang termasuk ke dalam status planning, misalnya pemilihan status, pembuatan sebuah bahasa
yang khusus, menentukan berbagai bahasa resmi, bahasa nasional, dan lain-lain.
Seringkali usaha ini akan menaikkan derajat sebuah bahasa atau dialek menjadi
suatu ragam yang bergengsi dalam suatu persaingan antardialek.
Penentuan status bahasa dalam status planning disesuaikan dengan
fungsi-fungsi yang dimiliki oleh bahasa tersebut, misalnya sebagai alat
komunikasi masyarakat, sebagai bahasa nasional, dan lain-lain. Daftar
fungsi-fungsi bahasa yang cukup terkenal adalah daftar yang dibuat oleh Stewart
dalam diskusinya mengenai multibahasa nasional yang meliputi official, provincial, wider communication,
international, capital, group, educational, school subject, literary, dan religious.[7]
Menurut
Cooper, suatu bahasa dapat dikatakan berfungsi sebagai bahasa resmi (official) jika bahasa tersebut; 1) ditetapkan secara
hukum oleh pemerintah sebagai bahasa resmi, 2) dipergunakan oleh suatu
pemerintahan untuk aktivitas sehari-harinya, dan 3) dipergunakan oleh
pemerintah untuk tujuan simbolis.[8]
Secara singkat ketiga hal tersebut secara berurutan dapat dikatakan sebagai
bahasa resmi dengan tipe statutory, working simbolyc.
Fungsi
provincial menunjukkan bahwa suatu
bahasa berfungsi sebagai bahasa resmi dalam tingkat propinsi atau regional.
Fungsi bahasa tidak lagi meliputi tingkat nasional, melainkan terbatas hanya
pada suatu daerah geografi yang lebih kecil.
Wider communication menunjukkan fungsi sebuah
bahasa (selain yang sudah memiliki fungsi official
dan provincial) yang dominan
sebagai sebuah media komunikasi yang melewati batas-batas bahasa dalam suatu
bangsa.
International mengacu pada fungsi suatu
bahasa (selain yang sudah memiliki fungsi official
dan provincial) sebagai suatu
alat komunikasi utama dalam tingkat internasional, misalnya untuk hubungan
diplomatik, perdagangan luar negeri, pariwisata, dan lain-lain.
Capital mengacu pada fungsi suatu
bahasa (selain yang sudah memiliki fungsi official
dan provincial) sebagai suatu
alat komunikasi yang umumnya digunakan dalam suatu wilayah ibu kota negara.
Group fungsi suatu bahasa utama
sebagai suatu alat komunikasi yang biasa digunakan di antara anggota suatu
kebudayaan atau kelompok etnik seperti suku bangsa, kelompok imigran dari luar
negeri, dan lain-lain.
Educational mengacu pada fungsi suatu
bahasa (selain yang sudah memiliki fungsi official
dan provincial) sebagai suatu
media pendidikan primer atau sekunder baik dalam tingkat regional maupun
nasional.
School subject adalah suatu bahasa (selain
yang sudah memiliki fungsi official dan provincial)
yang umumnya diajarkan sebagai suatu mata pelajaran dalam pendidikan tingkat
menengah dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
Literary adalah penggunaan suatu
bahasa yang utama untuk tujuan penulisan ilmiah.
Religious adalah
penggunaan suatu bahasa
yang utamanya digunakan
dalam hubungannya dengan suatu
ritual atau suatu agama tertentu.
c. Acquisition Planning
Acquisition planning menitikberatkan pada
pengajaran dan pembelajaran bahasa, baik itu bahasa nasional, bahasa kedua atau
bahasa asing. Hal ini meliputi usaha-usaha untuk mempengaruhi jumlah pengguna
dan distribusi suatu bahasa dan aksaranya yang didapatkan dengan membuat suatu
kesempatan dan insentif untuk mempelajari bahasa yang bersangkutan. Acquisition planning berhubungan
langsung dengan penyebaran suatu bahasa.
Hal ini biasanya dilakukan oleh suatu badan yang bertanggung jawab terhadap
pengembangannya baik dalam tingkat nasional, regional, atau lokal seperti
British Council, Alliance Francaise, Goethe Institut, Japan Foundation, dan lain-lain.
2.
Proses
Pembakuan Bahasa
Pembakuan
atau standardization adalah satu
proses yang berlangsung secara bertahap; tidak sekali jadi. Pembakuan adalah
juga sikap (attitude) masyarakat
terhadap satu ragam bahasa, dan dari psikologi sosial kita mengetahui bahwa
sikap masyarakat akan selalu berproses tidak sebentar.
Pada proses standardisasi ada empat tahap
yang perlu dilalui, meliputi; a) Pemilihan (selection),
b) Kodifikasi (codification), c)
Penjabaran fungsi (elaboration of function), d) Persetujuan (acceptance).[9]
a.
Pemilihan
Satu
variasi atau dialek tertentu akan dipilih untuk kemudian dikembangkan menjadi
bahasa baku. Ragam atau variasi tersebut bisa berupa satu ragam yang telah ada,
misalnya yang dipakai dalam kegiatan-kegiatan politik, sosial atau perdagangan;
dan bisa merupakan campuran dari berbagai ragam yang ada. Bisa saja yang
dipilih itu adalah ragam yang belum merupakan bahasa pertama bagi masyarakat
ujaran di negeri itu. Israel memilih bahasa klasik (clasical Hebrew), seperti
halnya Indonesia memilih satu variasi pidgin bahasa Melayu.
b.
Kodifikasi
Memberlakukan
suatu kode atau aturan kebahasaan untuk dijadikan norma dalam berbahasa oleh
masyarakat sangatlah penting.
Kodifikasi ini meliputi; 1) ortografi (ortography),
2) pengucapan atau lafal (pronunciation),
3) tata bahasa (grammar) dan 4) peristilahan (terminology). Badan atau lembaga
tertentu biasanya ditunjuk untuk terlaksananya kodifikasi ini. Lembaga ini
menyusun kamus, buku tata bahasa dengan berpedoman pada kode atau variasi yang
akan digunakan masyarakat, sehingga setiap orang
mempunyai acuan aturan bahasa yang benar. Setelah kodifikasi ini dibentuk, maka
warga negara yang berpendidikan akan mempelajari atau ingin mempelajari bentuk
bahasa yang benar dan menghindari yang tidak benar, walaupun yang tidak benar kadang-kadang
ragam bahasanya sendiri.
c.
Penjabaran Fungsi
Apa
yang dikodifikasikan itu tidak akan memasyarakat tanpa adanya penjabaran (elaboration) fungsi ragam yang sudah
standar itu. Peran pemerintah sangat luar biasa dalam penjabaran fungsi ini.
Pemakaian bahasa di parlemen, pengadilan, lembaga- lembaga pemerintah,
dokumen-dokumen pemerintah, pendidikan dan berbagai literatur lainnya sangat
menunjang proses dimaksud. Demikian pula para pawang, guru, pengarang,
wartawan, penyiar dan sebangsanya mempunyai andil penting dalam pemasyarakatan
bahasa baku. Pada kenyataannya proses elaborasi fungsi ini akan melibatkan
pemasyarakatan hal-hal ekstralinguistik seperti pembiasan format atau bentuk
surat, atau dalam penyusunan tes dan lain sebangsanya.
d.
Persetujuan
Ini
adalah tahap akhir dalam proses pembakuan bahasa. Pada akhirnya ragam bahasa
ini mesti disetujui oleh anggota masyarakat ujaran sebagai bahasa nasional
mereka. Kalau sudah sampai pada tahap ini, maka bahasa standar itu mempunyai
kekuatan untuk mempersatukan bangsa dan menjadi simbol kemerdekaan negara dan
menjadi ciri pembeda dari negara-negara lain. Di Indonesia dengan lahirnya Sumpah
Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 dan ditetapkannya bahasa Indonesia sebagai
bahasa Negara pada Pasal 36 UUD 1945 yang berbunyi: Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia, maka semakin kuatlah
kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa yang terdiri dari
berbagai suku bangsa –sebagai lingua franca yang menjembatani berbagai
vernacular di tanah air ini.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kebijakan bahasa merupakan ketetapan sebuah negara agar terus berlangsungnya
komunikasi kenegaraan dan komunikasi intra bangsa dengan baik, tanpa
menimbulkan gejolak sosial dan gejolak sosial yang dapat mengganggu stabilitas
bangsa. Oleh karena itu, kebijakan bahasa dan selanjutnya perencanaan
bahasa merupakan usaha kenegaraan
suatu bangsa untuk menentukan dan menetapkan dengan tepat fungsi dan status
bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di negara tersebut, agar komunikasi kenegaraan dan kebangsaan dapat berlangsung dengan
baik. Selain memberi keputusan mengenai status, kedudukan, dan fungsi suatu
bahasa, kebijakan bahasa harus pula memberi pengarahan terhadap pengolahan
materi bahasa itu yang biasa apakah ingin ditetapkan sebagai bahasa resmi, nasional atau bahasa daerah, seperti
pada negara
dengan tipe Endoglosik, Eksoglosik-Endoglosik dan Eksoglosik
Perencanaan
bahasa
merupakan sebuah bahasa dalam politik kenegaraan. Maka, secara umum dikembangkan
sebagai sebuah simbol dari persatuan nasional dan mempunyai fungsi untuk
mengidentifikasi sebuah negara dan mempersatukan rakyatnya. Sehingga perencanaan bahasa harus bijak dalam
menentukan pilihannya, agar mempunyai rasa nasionalisme yang tinggi terhadap
rakyatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A. Chaerdar.
1990. Sosiologi Bahasa. Bandung:
Angkasa.
Bickerton
dalam Ronald Wardhaugh and Janet M. Fuller.
An Introduction To Sociolinguistics, Seventh Edition. UK: Blackwell Publishing: 2015.
Cooper, Robert L. 1989. Language Planning and Social Change.
Cambridge: Cambridge University Press.
Fromkin,
Victoria, Robert Rodman & Nina Hyams. An
Introduction to Language, 9th edition Cengage Learning International Offices: Canada, 2011.
Holmes,
Janet. An Introduction to Sociolingustic. New York: Rouledge, 2013.
Moeliono,
Anton M. “Kebijakan Bahasa dan Perencanaan Bahasa di Indonesia: Kendala dan Tantangan”. Perencanaan Bahasa pada Abad Ke-21: Kendala dan Tantangan. Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan: Jakarta,
2011.
Sneddon, J.N. The Indonesia Language:
its History and Role in Modern Society. Australia: University of South Wales, 2003.
[2]
Sneddon, J.N. The Indonesia Language: its History and Role
in Modern Society (Australia: University of South Wales, 2003), h.
140-147
[3] Bickerton dalam Ronald Wardhaugh and Janet M.
Fuller. An Introduction To Sociolinguistics, Seventh Edition (UK:
Blackwell Publishing: 2015), h. 367-368.
[4] Ronald Wardhaugh and
Janet M. Fuller. op.cit., h. 375.
[5] Victoria Fromkin,
Robert Rodman & Nina Hyams. An
Introduction to Language, 9th edition (Cengage
Learning International Offices: Canada, 2011) h. 442.
[6] Anton
M. Moeliono “Kebijakan Bahasa dan Perencanaan Bahasa di Indonesia: Kendala dan Tantangan”. Perencanaan Bahasa pada Abad
Ke-21: Kendala dan Tantangan (Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan: Jakarta, 2011) h. 130.
[7] Robert Cooper. Language Planning and
Social Change. (Cambridge: Cambridge University Press. 1989). h. 99.
[8] Ibid.,
h. 112
[9] A.
Chaedar Alwasilah. Sosiologi Bahasa.
(Bandung: Angkasa. 1990).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar