ISU KRITIS TERKAIT PERAN
SERTA GURU DALAM MENDUKUNG PELAKSANAAN PROGRAM WAJIB BELAJAR
DI INDONESIA
FRANSCY
franscy91@gmail.com
ABSTRAK
Kajian dalam artikel ini bertujuan untuk memberikan pemaparan dari sudut pandang penulis tentang isu-isu kritis yang
muncul terkait peran serta guru dalam proses pelaksanaan program wajib belajar
di Indonesia. Isu-isu yang menjadi permasalahan kritis yang dipaparkan oleh
penulis dalam artikel ini meliputi isu terkait; 1) kuantitas, kualitas dan
distribusi guru. Jumlah guru yang ada masih dirasakan belum cukup untuk menghadapi
pertambahan jumlah siswa dan tuntutan pembangunan kualitas SDM peserat didik
saat ini. Dan sebagaian besar guru-guru dewasa ini masih belum memiliki pendidikan minimal
yang ditentukan oleh standar pendidikan yang ada. Selain itu ketidak seimbangan penyebaran
atau pemeratan guru antarsekolah dan antardaerah di Indonesia. 2) Kesejahteraan guru, dan 3) Manajemen Guru. Ketiga hal
tersebut yang dirasa penulis sebagai masalah dan kendala utama yang dihadapi
guru dalam proses pelaksanaan program wajib belajar di Indonesia. Rekomendasi yang coba penulis berikan terkait penyelesain permasalahan di atas
meliputi; 1) perubahan sitem manajemen guru, 2) perlunya menata ulang paradigma birokratis dalam pendidikan terutama di lingkup sekolah.
Kata
kunci: Kesejahteran guru,
Manajemen guru, kuantitas, kualitas, dan
Distribusi guru
A. PENDAHULUAN
Pendidikan sebagai suatu proses yang dinamis
harus senantiasa terwujud sejalan dengan berbagai kondisi lingkungan dan
tuntutan yang berkembang. Dalam hubungan tersebut, pendidik harus mampu
memberikan pelayanan terhadap setiap warga negara untuk memperoleh hak asasinya
dalam memperoleh pendidikan. Hak asasi manusia (Abdussalam, 2007:56) adalah hak dari setiap manusia yang dibutuhkan untuk pembangunan
manusia seutuhnya. Membanguan tersebut
bisa diartikan sebagai pengembangan kepribadian dalam mempersiapkan diri memasuki
masa depan yang lebih baik. Proses dan hasil pendidikan hingga saat ini masih
berada dalam posisi yang belum memenuhi harapan sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-undang Dasar 1945. Mutu sumber daya manusia Indonesia sebagai produk
pendidikan selalu menjadi sorotan berbagai pihak dan diposisikan berada dalam
kondisi yang tidak memuaskan.
Jika dilihat dari berbagai sisi dan sudut
pandang, hingga saat ini penyelenggaran pendidikan di Indonesia dalam berbagai
jenis dan jenjang di nilai masih belum mampu menunjukan proses dan hasil dengan
mutu sebagaimana diharapkan. Upaya membenahi pelaksanaan pendidikan pada
hakikatnya merupakan kebijakan perencanaan dan pelaksanaan pendidikan dalam
upaya mewujudkan sumber daya manusia sebagai inti pembangunan bangsa. Salah
satu upaya yang sekarang menjadi kebijakan pemerintah ialah pelaksanaan program
wajib belajar yang dimulai dari wajib belajar pendidikan dasar enam tahun,
sembilan tahun, dan terakhir kementerian pendidikan dan kebudayan akan merintis
program wajib belajar dua belas tahun di tahun 2016 ini. Hal ini sejalan dengan
amanat UUD 1945 bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan dan
wajib memperoleh pendidikan dasar. Pelaksanaannya telah dituangkan dalam Pasal
34 Undang-Undang Nomor 20, Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Penyelenggaraan program wajib belajar pendidikan dasar merupakan bagian dari
kebijakan pendidikan di Indonesia dalam mencapai pendidikan untuk semua (education
for all).
Wajib belajar adalah program pendidikan
minimal yang harus dikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, hal ini telah dituangkan dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 47, Tahun 2008 tentang Wajib
Balajar. Wajib belajar berfungsi mengupayakan perluasan dan pemerataan
kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara
Indonesia dan bertujuan untuk memberikan pendidikan minimal bagi warga negara
Indonesia untuk dapat mengembangkan potensi dirinya agar dapat hidup mandiri di
dalam masyarakat atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pelaksanaannya
dapat dilakukan melalui jalur
pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal (UU SISDIKNAS, BAB VI Pasal 13 ayat 1). Penyelenggaraan wajib belajar pada jalur
formal dilaksanakan minimal pada jenjang pendidikan dasar yang meliputi SD, MI,
SMP, MTs, SMA dan bentuk lain yang sederajat. Penyelenggaraan wajib belajar
pada jalur pendidikan nonformal dilaksanakan melalui program paket A, program paket
B, program paket C, dan bentuk lain yang sederajat. Penyelenggaraan wajib
belajar pada jalur pendidikan informal dilakukan melalui pendidikan keluarga
dan pendidikan lingkungan.
Dalam kaitannya dengan pemerataan dan mutu
pendidikan, tantangan yang harus dihadapi tidaklah sedikit di antaranya adalah keterbatasan
dana, sarana dan prasarana yang tersedia untuk menunjang kegiatan wajib belajar
di Indonesia. Tersedianya sarana dan prasarana pendidikan yang terbatas banyak
terjadi terutama di daerah-daerah pedesaan, selain itu mengacu juga pada aspek
pendidik lain seperti guru, dimana peran guru untuk menyukseskan wajib
pendidikan di Indonesia sangatlah besar. Namun ada beberapa masalah dan kendala
kritis yang coba penulis kaji dalam artikel ini, yang diantaranya seperti terdapat
kekurangnya guru untuk bidang studi tertentu, serta ketidaksesuaian antara
latar belakang pendidikan guru dengan bidang studi yang diajarnya. Hal tersebut
merupakan salah satu bentuk hambatan bagi upaya peningkatan pemerataan pendidikan.
Sesuai dengan topik pembahasan dalam artikel ini, guru merupakan subjek
yang menjadi fokus bahasan ini, karena salah satu elemen penting dalam
pendidikan nasional adalah guru. Guru bisa diartikan ujung tombak yang berada
digarda terdepan pendidikan di tingkat institusional dan instruksional
khususnya dilingkup pendidikan sekolah. Para guru selaku pelaku pendidikan
secara langsung ikut berperan serta dalam berbagai aspek pelaksanaan pendidikan
nasional dengan segala efek dan dampaknya. Seorang Guru
harus berpacu dalam pembelajaran, dengan memberikan kemudahan belajar bagi
seluruh peserta didik, agar dapat mengembangkan potensinya secara optimal (Arcaro, 2005: 48). Disamping itu
para guru pula yang berada paling depan dan paling dekat dengan pengguna jasa
pendidikan yaitu peserta didik, orang tua, dan masyarakat.
Sumber daya manusia dalam lingkup pendidikan
khusus bagi guru merupakan potensi yang startegis bagi suksesnya program
pendidikan untuk semua. Sekurang-kurangnya potensi tersebut terletak dalam
jumlah, penyebaran, kualitas pendidikan, kualitas pribadi, dan posisi tugas.
Dari sudut jumlah, guru merupakan unsur pendidikan yang cukup besar, kurang
lebih 2,7 juta di seluruh Indonesia dalam berbagai jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan. Jumlah tersebut menyebar mulai dari ibu kota negara sampai ke
seluruh lingkup tanah air hingga di lapisan terdepan masyarakat.
Dilihat dari kualitas
pendidikannya, para guru memiliki latar belakang pendidikan serendah-rendahnya
diploma, dan saat ini sudah banyak yang memiliki kualifikasi pendidikan
sarjana, dan bahkan pascasarjana. Sesuai dengan tuntutan profesionalnya, guru
dalam keikusertaanya untuk menyukseskan program pendidikan untuk semua dimulai
dari dirinya sendiri. Peranan guru sebagai pengajar dan pembimbing dalam
kegiatan belajar peserta didik dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti motivasi, kematangan, hubungan peserta
didik dengan guru, kemampuan verbal, tingkat kebebasan, rasa aman dan
keterampilan guru dalam berkomunikasi (Muhaimin, 2006: 168). Hal ini mengandung makna bahwa seorang guru harus mampu mewujudkan pribadi
yang efektif untuk dapat melaksanakan fungsi dan tanggung jawabnya sebagai
guru. Agar guru dapat menyadari perannya sebagai orang
kepercayaan dan penasihat secara lebih mendalam, ia harus memahami psikologi
kepribadian dan ilmu kesehatan mental (Nata, 2007: 120). Kepribadian merupakan keseluruhan prilaku dalam berbagai aspek yang secara
kualitatif akan membentuk keunikan atau kekhasan dalam interaksi dengan
lingkungan di berbagai situasi dan kondisi. Karena kita semua sepakat bahwa
guru merupakan unsur utama dalam keseluruhan proses pendidikan khusunya
ditingkat insitusional dan instruksional. Tanpa guru, pendidikan hanya akan
menjadi slogan karena segala bentuk tindakan dan program pada akhirnya akan
ditentukan oleh kinerja pihak yang berada di garis depan yaitu guru.
Dalam keseluruhan kegiatan pendidikan di tingkat oprasional, guru merupakan
penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tingkat institusional,
instruksional, dan eksperiensial. Hal itu mengandung makna bahwa guru mempunyai
posisi yang sangat strategis dalam upaya pembangunan bangsa. Sehingga pekerjaan sebagai guru tidak bisa dilakukan oleh
sembarang orang, tanpa memiliki keahlian dan kwalifikasi tertentu sebagai guru (Nawawi, 1985: 80). Sejalan dengan tugas utamanya sebagai pendidik disekolah, guru melakukan
tugas-tugas kinerja pendidikan dalam bimbingan, pengajaran, dan latihan. Kinerja guru diartikan sebagai prilaku yang
dihasilkan seorang guru dalam melaksanakan
tugasnya sebagai pendidik dan pengajar ketika mengajar di depan kelas, sesuai
dengan kriteria tertentu (Permadi, 2001: 186). Semua kegiatan itu sangat terkait dengan upaya pengembangan para peserta
didik melalui keteladanan, penciptaan lingkungan pendidikan yang kondusif,
membimbing, mengajar, dan melatih peserta didik. Guru harus memiliki komitmen
yang kuat dalam menyukseskan program wajib belajar pendidikan dasar yang
diadakan oleh negara Indonesia. Namun
dalam faktanya, di Indonesia guru masih belum mendapatkan posisi yang seharusnya
dalam kebijakan dan program-program pendidikan. Seharusnya ada perubahan
terkait tentang pembuatan kebijakan pendidikan dengan menggunakan paradigma
baru yaitu membangun pendidikan dengan memualinya dari subjek guru. Tanpa itu
semua dikhawatirkan mutu pendidikan tidak sampai pada cita-cita mencerdaskan
kehidupan bangsa melalui pengembangan sumberdaya manusia.
B.
PEMBAHASAN
1. Masalah dan
Kendala
Saat ini permasalahan dalam bidang pendidikan sangat
beragam dan tergolong rumit untuk diselesaikan. Mulai dari masalah sarana dan
prasarana pendidikan, sampai masalah dan kendala terkait dengan peran guru
dalam program wajib belajar di Indonesia. Guna menunjang program yang diadakan
oleh negara dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang diharapkan, maka
permasalah tersebut kenyataannya sudah harus diatasi dengan segera karena
pendidikan merupakan kunci penting proses perkembangan bangsa.
“Pendidikan sebagai salah satu kunci penting dalam proses perkembangan untuk memajukan suatu
bangsa dapat dikatakan demikian manakala tingkat pendidikan suatunegara
dikatakan tinggi, setidaknya peradaban dan pola pikir masyarakat di Negara tersebut haruslah
tinggi pula (Syafaruddin dan Anzizhan. 2004:1).”
Berbagai upaya pembaharuan pendidikan telah banyak
dilakukan melalu kebijakan pemerintah antara lain melalui perbaikan sarana,
peraturan, kurikulum, dan sebagainya, akan tetapi pembaharuan tersebut belum memprioritaskan
guru sabagai pelaksana ditingkat instruksional terutama dari aspek
kesejahteraan. Beberapa masalah dan kendala kritis yang berkaitan dengan
kondisi dan peran guru coba akan penulis paparkan dalam artikel ini, permasalah
tersebut meliputi sebagai berikut.
a. Kuantitas,
Kualitas, dan Distribusi
Dari aspek kuantitas, jumlah guru yang ada masih
dirasakan belum cukup untuk menghadapi pertambahan jumlah siswa dan tuntutan
pembangunan kualitas SDM peserat didik saat ini. Sejalan dengan pendapat
Almasdi bahwa peningkatan kualitas SDM
juga merupakan tuntutan yang tumbuh sebagai akibat perkembangan pembangunan
yang semakin cepat dan komplek (Almasdi, 2007). Kekurangan guru di berbagai
jenis dan jenjang pendidikan, khususnya di jenjang sekolah dasar, merupakan
masalah besar terutama di daerah pedesaan dan daerah terpencil yang kurang
mendapat perhatian lebih dari pemeritah baik dari segi sarana maupun prasarana.
Dari aspek kualitas, sebagaian besar guru-guru dewasa ini masih belum memiliki pendidikan
minimal yang ditentukan oleh standar pendidikan yang ada. Data berikut
menunjukan bahwa dari 2.783.321 orang guru yang terdiri atas 1.528.472 orang
guru PNS dan sisanya non-PNS, baru sekitar 40% yang sudah memiliki kualifikasi
S-1/D-IV dan di atasnya. Sisanya masih dibawah D-3 atau lebih rendah
(Alwasilah, 2008: 90). Sedangkan dari aspek penyebaran, masih terdapat ketidak
seimbangan penyebaran atau pemeratan guru antarsekolah dan antardaerah, kita
semua masih bisa melihat banyaknya
sekolah di daerah-daerah terpencil di Indonesia yang masih kekurangan tenaga
pengajar. Hal ini menyebabkan terjadinya penambahan beban mengajar yang haru
diemban setiap guru di sekolah tersebut.
b.
Kesejahteraan
Dilihat dari segi keadilan
kesejahteraan guru, masih ada beberapa kesenjangan yang dirasakan sebagai
perlakuan diskriminatif yang dialami oleh para guru. Diantaranya penulis coba
memaparkannya sebagai berikut: 1) Kesenjangan
antara guru dan PNS lainnya, serta dengan para birokratnya. 2) Kesenjangan antara guru pegawai negeri yang digaji oleh
negara, dan guru swasta yang digaji oleh pihak swasta. 3) Kesenjangan antara guru pegawai tetap dan guru
tidak tetap atau honorer. 4) Kesenjangan antara
guru yang bertugas dikota-kota dan guru yang bertugas dipedesan atau daerah
terpencil. 5) Kesenjangan karena
beban tugas, yaitu ada guru yang beban megajarnya ringan tetapi di lain pihak
ada yang beban tugasnya banyak (misalnya di sekolah yang kekurangan guru) tapi
imbalanya sama aja atau lebih sedikit. Kesejahteraan yang mencakup aspek imbal jasa, rasa aman, kondisi kerja,
hubungan antarpribadi, dan pengembangan karir juga menjadi bagian dari permasalahan di atas. Beberapa kesenjangan di atas menjadi hal penting
untuk segera diselesaikan dan diberikan solusi yang tepat sehingga guru sebagai
pendidik tidak merasakan ada kesenjangan dan diskriminatif dalam lingkup kerjanya, terkhusus ketika mereka
melakukan tugas sebagai pendidik.
c.
Manajemen Guru
Dari sudut pandang manajemen Sumber Daya Manusia (SDM)
guru, guru masih berada dalam pengelolaan yang masih bersifat
birokratis-administratif yang kurang berlandasakan paradigma pendidikan (antara
lain manjemen pemeritahan, kekuasan, politik, dan lain-lain). Dari aspek unsur
dan prosesnya, masih dirasakan terdapat kekurangterpaduan antara sistem
pendidikan. Masih dirasakan belum terdapat keseimbangan dan kesinambungan
antara kebutuhan dan pengadaan guru. Rekrutmen dan pengankatan guru masih
selalu diliputi berbagai masalah dan kendala terutama dilihat dari aspek
kebutuhan kuantitas, kualitas dan distribusi. Pembinaan dan surpervisi dalam
jabatan guru belum mendukung terwujudnya pengembangan pribadi dan profesi guru
secara proposional. Mobilitas guru baik vertikal maupun horisontal masih
terbentur pada berbagai peraturan yang selalu birokratis serta arogansi dan
egoisme sektoral. Pelaksanaan otonomi daerah yang “kebablasan” cendrung membuat
manajemen guru menjadi semakin tidak teratur.
2.
Mewujudkan Peran Guru
Peran-peran
guru perlu untuk diwujudkan secara nyata melalui satu pendekatan dan
program yang dilaksanakan secara profesional, sistemik, sinergik, dan simbiotik
dari semua pihak terkait. Beberapa
prakondisi yang harus dikembangkan untuk mewujudkan peran-peran guru dalam
program wajib belajar pendidikan di Indonesia antara lain sebagai berikut.
a.
Komitmen dan Kemauan
Mengingat besarnya peran guru
pada tingkat institusional dan instruksional maka isu utama yang berkenaan
dengan manajemen guru harus mampu menciptakan suatu pengelolaan yang memberikan
suasana kondusif bagi guru untuk melaksanakan tugas profesionalnya secara
kreatif dan produktif serta memberikan jaminan kesejahteraan dan pengembangan
karirnya. Karena mengingat tantangan pendidikan yang terus berubah, maka
kinerja guru perlu dilakukan secara inovatif (Pidarta, 1988: 90). Manajemen guru harus mencakup fungsi-fungsi yang
berkenaan dengan: 1) profesionalisme, standar, sertifikasi dan pendidikan
prajabatan; 2) rekrutmen dan penempatan; 3) promosi dan mutasi; 4) gaji,
insentif, dan pelayanan; 5) supervisi dan dukungan profesional.
Kinerja pendidikan yang efektif hanya mungkin terwujud
apabila para guru mendapat peluang yang besar untuk memberdayakan dirinya dalam
nuansa paradigma pendidikan dan bukan dalam paradigma birokratis yang kaku atau
paradigma lainnya. Pembinaan guru baik administratif maupun
fungsional/profesional harus terbentuk sedemikian rupa sehingga dapat
mengoptimalkan keefektifannya sebagai unsur utama pendidikan. Di samping itu,
sekarang telah terjadi pergeserang sikap sosial terhadap hak-hak orang tua yang
berkenaan dengan keterlibatannya untuk pendidikan anak-anak. Pergeseran itu
disebabkan dengan makin berkembangnya opini masyarakat mengenai peranan dan
kemampuan pemerintah, serta berkembangnya isu demokratis, hak azasi, dan
partisipasi. Masyaratakan sekarang banyak menuntut agar pendidikan dapat
terlaksana dengan baik, dan menuntut agar guru berkinerja dengan kreatif dan
produktif.
b.
Dari Birokrasi ke Pemberdayaan
Selama ini penyelengaran pendidikan lebih banyak
didominasi dengan paradigma birokrasi yang berakibat pada lembaga pendidikan
dan lingkungan yang kurang memiliki keberdayaan dalam mewujudkan kinerjanya.
Segala sesuatu diatur secara kaku, sentralistik dan birokratis, sehingga
kinerja satuan pendidikan terpasung dengan segala urusan aturan administratif
birokratif.
Pernyataan tersebut mengimplikasikan perlunya menata
ulang paradigma birokratis dalam pendidikan terutama di jalur persekolahan dan
diimbangi dengan lebih banyak memberikan kesempatan pemberdayaan kepada lembaga
pendidikan dengan segala perangkat dan lingkungannya. Semua lembaga dan
personel pendidikan harus diberi kesempatan untuk mengembangakan kreativitas
dan mewujudkan gagasan inovatif tanpa harus terpaku dengan segala aturan
birokratis yang kaku.
C. SIMPULAN DAN REKOMENDASI
Upaya membenahi
pelaksanaan pendidikan pada hakikatnya merupakan kebijakan perencanaan dan
pelaksanaan pendidikan dalam upaya mewujudkan sumber daya manusia sebagai inti
pembangunan bangsa. Salah satu upaya yang sekarang menjadi kebijakan pemerintah
ialah pelaksanaan wajib belajar yang dimulai dari wajib belajar pendidikan
dasar enam tahun, sembilan tahun, dan terakhir kementerian pendidikan dan
kebudayan akan merintis program wajib belajar dua belas tahun di tahun 2016
ini. Penyelenggaraan program wajib belajar tersebut merupakan bagian dari
kebijakan pendidikan di Indonesia dalam mencapai pendidikan untuk semua (education
for all). Salah satu bagian dari kesuksesan program tersebut salah satunya
adalah peran guru, karena salah satu elemen penting dalam pendidikan nasional
adalah guru. Guru bisa diartikan ujung tombak yang berada digarda terdepan
pendidikan di tingkat institusional dan instruksional khususnya dilingkup
pendidikan sekolah.
Namun dalam faktanya, di Indonesia guru masih
belum mendapatkan posisi yang seharusnya dalam kebijakan dan program-program
pendidikan. Ada tiga isu yang coba penulis paparkan diatas yang menjadi
permasalah yang dialami oleh guru, meliputi; 1) kuantitas, kualitas, dan distribusi,
2) kesejahteran, dan 3) manajemen Guru.
Selanjutnya, berdasarkan simpulan di atas
rekomendasi yang coba penulis berikan terkait
penyelesain permasalahan di atas meliputi; 1) Sitem manajemen guru diubah kesistem yang mampu menciptakan suatu pengelolaan yang
memberikan suasana kondusif bagi guru untuk melaksanakan tugas profesionalnya
secara kreatif dan produktif serta memberikan jaminan kesejahteraan dan
pemengembangan karirnya. 2) Perlunya menata ulang
paradigma birokratis dalam pendidikan terutama di lingkup sekolah, dan
diimbangi dengan lebih banyak memberikan kesempatan pemberdayaan kepada lembaga
pendidikan dengan segala perangkat dan lingkungannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdussalam. Hukum
Perlindungan Anak. Jakarta: Restu Agung, 2007.
Alwasilah, Chaedar. Pendidikan
Indonesia. Jakarta: Kemetrian Koordinator Bidang Kesejahteran Rakyat.
2008).
Undang-Undang No. 20
Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS, BAB VI Pasal 13 ayat 1.
Syafaruddin
dan Anzizhan. Sistem Pengambilan Keputusan
Pendidikan. Jakarta: Grasindo. 2004.
Arcaro,
Jerome S. Pendidikan Berbasis Mutu. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005
Muhaimin. Nuansa Baru Pendidikan Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006.
Nata,
Abuddin. Manajemen Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2007.
Nawawi,
Hadari. Administrasi Pendidikan, Jakarta:
PT Gunung Agung, 1985
Permadi,
Dadi. Manajemen Berbasis Sekolah dan Kepemimpinan Mandiri
Kepala Sekolah. Bandung: Sarana Panca Karya Nusa, 2001.
Syahza, Almasdi. Masterplan Pendidikan Kabupaten Rokan Hilir, Kerjasama Pemda
Kabupaten Rokan Hilir dengan FKIP Unri,
Bagansiapiapi. 2004.
Pidarta,
Made. Manajemen Pendidikan Indonesia, Jakarta:
Bina Aksara, 1988
Tidak ada komentar:
Posting Komentar