Selasa, 13 Oktober 2015

ISU KRITIS TERKAIT PERAN SERTA GURU DALAM MENDUKUNG PELAKSANAAN PROGRAM WAJIB BELAJAR DI INDONESIA

ISU KRITIS TERKAIT PERAN SERTA GURU DALAM MENDUKUNG PELAKSANAAN PROGRAM WAJIB BELAJAR
DI INDONESIA


                                                                  FRANSCY
   franscy91@gmail.com


ABSTRAK
          Kajian dalam artikel ini bertujuan untuk memberikan pemaparan dari sudut pandang penulis tentang isu-isu kritis yang muncul terkait peran serta guru dalam proses pelaksanaan program wajib belajar di Indonesia. Isu-isu yang menjadi permasalahan kritis yang dipaparkan oleh penulis dalam artikel ini meliputi isu terkait; 1) kuantitas, kualitas dan distribusi guru. Jumlah guru yang ada masih dirasakan belum cukup untuk menghadapi pertambahan jumlah siswa dan tuntutan pembangunan kualitas SDM peserat didik saat ini. Dan sebagaian besar guru-guru dewasa ini masih belum memiliki pendidikan minimal yang ditentukan oleh standar pendidikan yang ada. Selain itu ketidak seimbangan penyebaran atau pemeratan guru antarsekolah dan antardaerah di Indonesia. 2) Kesejahteraan guru, dan 3) Manajemen Guru. Ketiga hal tersebut yang dirasa penulis sebagai masalah dan kendala utama yang dihadapi guru dalam proses pelaksanaan program wajib belajar di Indonesia.  Rekomendasi yang coba penulis berikan terkait penyelesain permasalahan di atas meliputi; 1) perubahan sitem manajemen guru, 2) perlunya menata ulang paradigma birokratis dalam pendidikan terutama di lingkup sekolah.



Kata kunci:   Kesejahteran guru, Manajemen guru, kuantitas, kualitas, dan 
                      Distribusi guru















A.  PENDAHULUAN
Pendidikan sebagai suatu proses yang dinamis harus senantiasa terwujud sejalan dengan berbagai kondisi lingkungan dan tuntutan yang berkembang. Dalam hubungan tersebut, pendidik harus mampu memberikan pelayanan terhadap setiap warga negara untuk memperoleh hak asasinya dalam memperoleh pendidikan. Hak asasi manusia (Abdussalam, 2007:56) adalah hak dari setiap manusia yang dibutuhkan untuk pembangunan manusia seutuhnya. Membanguan tersebut bisa diartikan sebagai pengembangan kepribadian dalam mempersiapkan diri memasuki masa depan yang lebih baik. Proses dan hasil pendidikan hingga saat ini masih berada dalam posisi yang belum memenuhi harapan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Dasar 1945. Mutu sumber daya manusia Indonesia sebagai produk pendidikan selalu menjadi sorotan berbagai pihak dan diposisikan berada dalam kondisi yang tidak memuaskan.
Jika dilihat dari berbagai sisi dan sudut pandang, hingga saat ini penyelenggaran pendidikan di Indonesia dalam berbagai jenis dan jenjang di nilai masih belum mampu menunjukan proses dan hasil dengan mutu sebagaimana diharapkan. Upaya membenahi pelaksanaan pendidikan pada hakikatnya merupakan kebijakan perencanaan dan pelaksanaan pendidikan dalam upaya mewujudkan sumber daya manusia sebagai inti pembangunan bangsa. Salah satu upaya yang sekarang menjadi kebijakan pemerintah ialah pelaksanaan program wajib belajar yang dimulai dari wajib belajar pendidikan dasar enam tahun, sembilan tahun, dan terakhir kementerian pendidikan dan kebudayan akan merintis program wajib belajar dua belas tahun di tahun 2016 ini. Hal ini sejalan dengan amanat UUD 1945 bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan dan wajib memperoleh pendidikan dasar. Pelaksanaannya telah dituangkan dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 20, Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Penyelenggaraan program wajib belajar pendidikan dasar merupakan bagian dari kebijakan pendidikan di Indonesia dalam mencapai pendidikan untuk semua (education for all).
Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus dikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah, hal ini telah dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 47, Tahun 2008 tentang Wajib Balajar. Wajib belajar berfungsi mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara Indonesia dan bertujuan untuk memberikan pendidikan minimal bagi warga negara Indonesia untuk dapat mengembangkan potensi dirinya agar dapat hidup mandiri di dalam masyarakat atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pelaksanaannya dapat dilakukan melalui jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal (UU SISDIKNAS, BAB VI Pasal 13 ayat 1). Penyelenggaraan wajib belajar pada jalur formal dilaksanakan minimal pada jenjang pendidikan dasar yang meliputi SD, MI, SMP, MTs, SMA dan bentuk lain yang sederajat. Penyelenggaraan wajib belajar pada jalur pendidikan nonformal dilaksanakan melalui program paket A, program paket B, program paket C, dan bentuk lain yang sederajat. Penyelenggaraan wajib belajar pada jalur pendidikan informal dilakukan melalui pendidikan keluarga dan pendidikan lingkungan.
Dalam kaitannya dengan pemerataan dan mutu pendidikan, tantangan yang harus dihadapi tidaklah sedikit di antaranya adalah keterbatasan dana, sarana dan prasarana yang tersedia untuk menunjang kegiatan wajib belajar di Indonesia. Tersedianya sarana dan prasarana pendidikan yang terbatas banyak terjadi terutama di daerah-daerah pedesaan, selain itu mengacu juga pada aspek pendidik lain seperti guru, dimana peran guru untuk menyukseskan wajib pendidikan di Indonesia sangatlah besar. Namun ada beberapa masalah dan kendala kritis yang coba penulis kaji dalam artikel ini, yang diantaranya seperti terdapat kekurangnya guru untuk bidang studi tertentu, serta ketidaksesuaian antara latar belakang pendidikan guru dengan bidang studi yang diajarnya. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk hambatan bagi upaya peningkatan pemerataan pendidikan.
Sesuai dengan topik pembahasan dalam artikel ini, guru merupakan subjek yang menjadi fokus bahasan ini, karena salah satu elemen penting dalam pendidikan nasional adalah guru. Guru bisa diartikan ujung tombak yang berada digarda terdepan pendidikan di tingkat institusional dan instruksional khususnya dilingkup pendidikan sekolah. Para guru selaku pelaku pendidikan secara langsung ikut berperan serta dalam berbagai aspek pelaksanaan pendidikan nasional dengan segala efek dan dampaknya. Seorang Guru harus berpacu dalam pembelajaran, dengan memberikan kemudahan belajar bagi seluruh peserta didik, agar dapat mengembangkan potensinya secara optimal (Arcaro, 2005: 48). Disamping itu para guru pula yang berada paling depan dan paling dekat dengan pengguna jasa pendidikan yaitu peserta didik, orang tua, dan masyarakat.
Sumber daya manusia dalam lingkup pendidikan khusus bagi guru merupakan potensi yang startegis bagi suksesnya program pendidikan untuk semua. Sekurang-kurangnya potensi tersebut terletak dalam jumlah, penyebaran, kualitas pendidikan, kualitas pribadi, dan posisi tugas. Dari sudut jumlah, guru merupakan unsur pendidikan yang cukup besar, kurang lebih 2,7 juta di seluruh Indonesia dalam berbagai jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Jumlah tersebut menyebar mulai dari ibu kota negara sampai ke seluruh lingkup tanah air hingga di lapisan terdepan masyarakat.
Dilihat dari kualitas pendidikannya, para guru memiliki latar belakang pendidikan serendah-rendahnya diploma, dan saat ini sudah banyak yang memiliki kualifikasi pendidikan sarjana, dan bahkan pascasarjana. Sesuai dengan tuntutan profesionalnya, guru dalam keikusertaanya untuk menyukseskan program pendidikan untuk semua dimulai dari dirinya sendiri. Peranan guru sebagai pengajar dan pembimbing dalam kegiatan belajar peserta didik dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti motivasi, kematangan, hubungan peserta didik dengan guru, kemampuan verbal, tingkat kebebasan, rasa aman dan keterampilan guru dalam berkomunikasi (Muhaimin, 2006: 168). Hal ini mengandung makna bahwa seorang guru harus mampu mewujudkan pribadi yang efektif untuk dapat melaksanakan fungsi dan tanggung jawabnya sebagai guru. Agar guru dapat menyadari perannya sebagai orang kepercayaan dan penasihat secara lebih mendalam, ia harus memahami psikologi kepribadian dan ilmu kesehatan mental (Nata, 2007: 120). Kepribadian merupakan keseluruhan prilaku dalam berbagai aspek yang secara kualitatif akan membentuk keunikan atau kekhasan dalam interaksi dengan lingkungan di berbagai situasi dan kondisi. Karena kita semua sepakat bahwa guru merupakan unsur utama dalam keseluruhan proses pendidikan khusunya ditingkat insitusional dan instruksional. Tanpa guru, pendidikan hanya akan menjadi slogan karena segala bentuk tindakan dan program pada akhirnya akan ditentukan oleh kinerja pihak yang berada di garis depan yaitu guru.
Dalam keseluruhan kegiatan pendidikan di tingkat oprasional, guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tingkat institusional, instruksional, dan eksperiensial. Hal itu mengandung makna bahwa guru mempunyai posisi yang sangat strategis dalam upaya pembangunan bangsa. Sehingga pekerjaan sebagai guru tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, tanpa memiliki keahlian dan kwalifikasi tertentu sebagai guru (Nawawi, 1985:  80). Sejalan dengan tugas utamanya sebagai pendidik disekolah, guru melakukan tugas-tugas kinerja pendidikan dalam bimbingan, pengajaran, dan latihan. Kinerja guru diartikan sebagai prilaku yang dihasilkan seorang guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dan pengajar ketika mengajar di depan kelas, sesuai dengan kriteria tertentu (Permadi, 2001: 186). Semua kegiatan itu sangat terkait dengan upaya pengembangan para peserta didik melalui keteladanan, penciptaan lingkungan pendidikan yang kondusif, membimbing, mengajar, dan melatih peserta didik. Guru harus memiliki komitmen yang kuat dalam menyukseskan program wajib belajar pendidikan dasar yang diadakan oleh negara Indonesia.  Namun dalam faktanya, di Indonesia guru masih belum mendapatkan posisi yang seharusnya dalam kebijakan dan program-program pendidikan. Seharusnya ada perubahan terkait tentang pembuatan kebijakan pendidikan dengan menggunakan paradigma baru yaitu membangun pendidikan dengan memualinya dari subjek guru. Tanpa itu semua dikhawatirkan mutu pendidikan tidak sampai pada cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pengembangan sumberdaya manusia.

B.   PEMBAHASAN
1.    Masalah dan Kendala
Saat ini permasalahan dalam bidang pendidikan sangat beragam dan tergolong rumit untuk diselesaikan. Mulai dari masalah sarana dan prasarana pendidikan, sampai masalah dan kendala terkait dengan peran guru dalam program wajib belajar di Indonesia. Guna menunjang program yang diadakan oleh negara dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang diharapkan, maka permasalah tersebut kenyataannya sudah harus diatasi dengan segera karena pendidikan merupakan kunci penting proses perkembangan bangsa.

“Pendidikan sebagai salah satu kunci penting dalam proses perkembangan untuk memajukan suatu bangsa dapat dikatakan demikian manakala tingkat pendidikan suatunegara dikatakan tinggi, setidaknya peradaban dan pola pikir masyarakat di Negara tersebut haruslah tinggi pula (Syafaruddin dan Anzizhan. 2004:1).

Berbagai upaya pembaharuan pendidikan telah banyak dilakukan melalu kebijakan pemerintah antara lain melalui perbaikan sarana, peraturan, kurikulum, dan sebagainya, akan tetapi pembaharuan tersebut belum memprioritaskan guru sabagai pelaksana ditingkat instruksional terutama dari aspek kesejahteraan. Beberapa masalah dan kendala kritis yang berkaitan dengan kondisi dan peran guru coba akan penulis paparkan dalam artikel ini, permasalah tersebut meliputi sebagai berikut.

a.    Kuantitas, Kualitas, dan Distribusi
Dari aspek kuantitas, jumlah guru yang ada masih dirasakan belum cukup untuk menghadapi pertambahan jumlah siswa dan tuntutan pembangunan kualitas SDM peserat didik saat ini. Sejalan dengan pendapat Almasdi bahwa  peningkatan kualitas SDM juga merupakan tuntutan yang tumbuh sebagai akibat perkembangan pembangunan yang semakin cepat dan komplek (Almasdi, 2007). Kekurangan guru di berbagai jenis dan jenjang pendidikan, khususnya di jenjang sekolah dasar, merupakan masalah besar terutama di daerah pedesaan dan daerah terpencil yang kurang mendapat perhatian lebih dari pemeritah baik dari segi sarana maupun prasarana. Dari aspek kualitas, sebagaian besar guru-guru dewasa ini masih belum memiliki pendidikan minimal yang ditentukan oleh standar pendidikan yang ada. Data berikut menunjukan bahwa dari 2.783.321 orang guru yang terdiri atas 1.528.472 orang guru PNS dan sisanya non-PNS, baru sekitar 40% yang sudah memiliki kualifikasi S-1/D-IV dan di atasnya. Sisanya masih dibawah D-3 atau lebih rendah (Alwasilah, 2008: 90). Sedangkan dari aspek penyebaran, masih terdapat ketidak seimbangan penyebaran atau pemeratan guru antarsekolah dan antardaerah, kita semua masih bisa melihat  banyaknya sekolah di daerah-daerah terpencil di Indonesia yang masih kekurangan tenaga pengajar. Hal ini menyebabkan terjadinya penambahan beban mengajar yang haru diemban setiap guru di sekolah tersebut.

b.    Kesejahteraan
Dilihat dari segi keadilan kesejahteraan guru, masih ada beberapa kesenjangan yang dirasakan sebagai perlakuan diskriminatif yang dialami oleh para guru. Diantaranya penulis coba memaparkannya sebagai berikut: 1) Kesenjangan antara guru dan PNS lainnya, serta dengan para birokratnya. 2) Kesenjangan antara guru pegawai negeri yang digaji oleh negara, dan guru swasta yang digaji oleh pihak swasta.  3) Kesenjangan antara guru pegawai tetap dan guru tidak tetap atau honorer. 4) Kesenjangan antara guru yang bertugas dikota-kota dan guru yang bertugas dipedesan atau daerah terpencil. 5) Kesenjangan karena beban tugas, yaitu ada guru yang beban megajarnya ringan tetapi di lain pihak ada yang beban tugasnya banyak (misalnya di sekolah yang kekurangan guru) tapi imbalanya sama aja atau lebih sedikit. Kesejahteraan yang mencakup aspek imbal jasa, rasa aman, kondisi kerja, hubungan antarpribadi, dan pengembangan karir juga menjadi bagian dari permasalahan di atas. Beberapa kesenjangan di atas menjadi hal penting untuk segera diselesaikan dan diberikan solusi yang tepat sehingga guru sebagai pendidik tidak merasakan ada kesenjangan dan diskriminatif dalam lingkup kerjanya, terkhusus ketika mereka melakukan tugas sebagai pendidik.

c.    Manajemen Guru
Dari sudut pandang manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) guru, guru masih berada dalam pengelolaan yang masih bersifat birokratis-administratif yang kurang berlandasakan paradigma pendidikan (antara lain manjemen pemeritahan, kekuasan, politik, dan lain-lain). Dari aspek unsur dan prosesnya, masih dirasakan terdapat kekurangterpaduan antara sistem pendidikan. Masih dirasakan belum terdapat keseimbangan dan kesinambungan antara kebutuhan dan pengadaan guru. Rekrutmen dan pengankatan guru masih selalu diliputi berbagai masalah dan kendala terutama dilihat dari aspek kebutuhan kuantitas, kualitas dan distribusi. Pembinaan dan surpervisi dalam jabatan guru belum mendukung terwujudnya pengembangan pribadi dan profesi guru secara proposional. Mobilitas guru baik vertikal maupun horisontal masih terbentur pada berbagai peraturan yang selalu birokratis serta arogansi dan egoisme sektoral. Pelaksanaan otonomi daerah yang “kebablasan” cendrung membuat manajemen guru menjadi semakin tidak teratur.

2.    Mewujudkan Peran Guru
Peran-peran  guru perlu untuk diwujudkan secara nyata melalui satu pendekatan dan program yang dilaksanakan secara profesional, sistemik, sinergik, dan simbiotik dari semua pihak terkait.  Beberapa prakondisi yang harus dikembangkan untuk mewujudkan peran-peran guru dalam program wajib belajar pendidikan di Indonesia antara lain sebagai berikut.

a.    Komitmen dan Kemauan
Mengingat besarnya peran guru pada tingkat institusional dan instruksional maka isu utama yang berkenaan dengan manajemen guru harus mampu menciptakan suatu pengelolaan yang memberikan suasana kondusif bagi guru untuk melaksanakan tugas profesionalnya secara kreatif dan produktif serta memberikan jaminan kesejahteraan dan pengembangan karirnya. Karena mengingat tantangan pendidikan yang terus berubah, maka kinerja guru perlu dilakukan secara inovatif (Pidarta, 1988: 90). Manajemen guru harus mencakup fungsi-fungsi yang berkenaan dengan: 1) profesionalisme, standar, sertifikasi dan pendidikan prajabatan; 2) rekrutmen dan penempatan; 3) promosi dan mutasi; 4) gaji, insentif, dan pelayanan; 5) supervisi dan dukungan profesional.
Kinerja pendidikan yang efektif hanya mungkin terwujud apabila para guru mendapat peluang yang besar untuk memberdayakan dirinya dalam nuansa paradigma pendidikan dan bukan dalam paradigma birokratis yang kaku atau paradigma lainnya. Pembinaan guru baik administratif maupun fungsional/profesional harus terbentuk sedemikian rupa sehingga dapat mengoptimalkan keefektifannya sebagai unsur utama pendidikan. Di samping itu, sekarang telah terjadi pergeserang sikap sosial terhadap hak-hak orang tua yang berkenaan dengan keterlibatannya untuk pendidikan anak-anak. Pergeseran itu disebabkan dengan makin berkembangnya opini masyarakat mengenai peranan dan kemampuan pemerintah, serta berkembangnya isu demokratis, hak azasi, dan partisipasi. Masyaratakan sekarang banyak menuntut agar pendidikan dapat terlaksana dengan baik, dan menuntut agar guru berkinerja dengan kreatif dan produktif.

b.    Dari Birokrasi ke Pemberdayaan
Selama ini penyelengaran pendidikan lebih banyak didominasi dengan paradigma birokrasi yang berakibat pada lembaga pendidikan dan lingkungan yang kurang memiliki keberdayaan dalam mewujudkan kinerjanya. Segala sesuatu diatur secara kaku, sentralistik dan birokratis, sehingga kinerja satuan pendidikan terpasung dengan segala urusan aturan administratif birokratif.
Pernyataan tersebut mengimplikasikan perlunya menata ulang paradigma birokratis dalam pendidikan terutama di jalur persekolahan dan diimbangi dengan lebih banyak memberikan kesempatan pemberdayaan kepada lembaga pendidikan dengan segala perangkat dan lingkungannya. Semua lembaga dan personel pendidikan harus diberi kesempatan untuk mengembangakan kreativitas dan mewujudkan gagasan inovatif tanpa harus terpaku dengan segala aturan birokratis yang kaku.
  

C.   SIMPULAN DAN REKOMENDASI
Upaya membenahi pelaksanaan pendidikan pada hakikatnya merupakan kebijakan perencanaan dan pelaksanaan pendidikan dalam upaya mewujudkan sumber daya manusia sebagai inti pembangunan bangsa. Salah satu upaya yang sekarang menjadi kebijakan pemerintah ialah pelaksanaan wajib belajar yang dimulai dari wajib belajar pendidikan dasar enam tahun, sembilan tahun, dan terakhir kementerian pendidikan dan kebudayan akan merintis program wajib belajar dua belas tahun di tahun 2016 ini. Penyelenggaraan program wajib belajar tersebut merupakan bagian dari kebijakan pendidikan di Indonesia dalam mencapai pendidikan untuk semua (education for all). Salah satu bagian dari kesuksesan program tersebut salah satunya adalah peran guru, karena salah satu elemen penting dalam pendidikan nasional adalah guru. Guru bisa diartikan ujung tombak yang berada digarda terdepan pendidikan di tingkat institusional dan instruksional khususnya dilingkup pendidikan sekolah.
Namun dalam faktanya, di Indonesia guru masih belum mendapatkan posisi yang seharusnya dalam kebijakan dan program-program pendidikan. Ada tiga isu yang coba penulis paparkan diatas yang menjadi permasalah yang dialami oleh guru, meliputi; 1) kuantitas, kualitas, dan distribusi, 2) kesejahteran, dan 3) manajemen Guru.
Selanjutnya, berdasarkan simpulan di atas rekomendasi yang coba penulis berikan terkait penyelesain permasalahan di atas meliputi; 1) Sitem manajemen guru diubah kesistem yang mampu menciptakan suatu pengelolaan yang memberikan suasana kondusif bagi guru untuk melaksanakan tugas profesionalnya secara kreatif dan produktif serta memberikan jaminan kesejahteraan dan pemengembangan karirnya. 2) Perlunya menata ulang paradigma birokratis dalam pendidikan terutama di lingkup sekolah, dan diimbangi dengan lebih banyak memberikan kesempatan pemberdayaan kepada lembaga pendidikan dengan segala perangkat dan lingkungannya.









DAFTAR PUSTAKA

Abdussalam. Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Restu Agung, 2007.

Alwasilah, Chaedar. Pendidikan Indonesia. Jakarta: Kemetrian Koordinator Bidang Kesejahteran Rakyat. 2008).

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS, BAB VI Pasal 13 ayat 1.

Syafaruddin dan Anzizhan. Sistem Pengambilan Keputusan Pendidikan.  Jakarta: Grasindo. 2004.
Arcaro, Jerome S. Pendidikan Berbasis Mutu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005
Muhaimin. Nuansa Baru Pendidikan Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006.
Nata, Abuddin. Manajemen Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2007.
Nawawi, Hadari. Administrasi Pendidikan, Jakarta: PT Gunung Agung, 1985
Permadi, Dadi. Manajemen Berbasis Sekolah dan Kepemimpinan Mandiri Kepala Sekolah. Bandung: Sarana Panca Karya Nusa, 2001.
Syahza, Almasdi. Masterplan Pendidikan Kabupaten Rokan Hilir, Kerjasama Pemda Kabupaten Rokan Hilir dengan FKIP Unri, Bagansiapiapi. 2004.

Pidarta, Made. Manajemen Pendidikan Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1988

Tidak ada komentar:

Posting Komentar