BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pengawasan
dapat diartikan sebagai proses yang berkenaan dengan cara-cara menyusun
kegiatan sesuai yang direncanakan dan disepakati bersama. Pengawasan dalam
manajemen pendidikan sangat diperlukan agar setiap pelaksanaannya tetap dalam
koridor nilai-nilai falsafah pendidikan.
Dapat
dikatakan pengawasan merupakan langkah yang baik. Kurangnya pengawasan bisa
terjadinya penyimpangan dan akan berdampak buruk bagi dunia pendidikan.
Penyimpangan dalam pendidikan menurut laporan Ombudsman, seperti dilaporkan
dalam media online di bawah ini,
JAKARTA - Lembaga Pengawas Pelayanan Publik, Ombudsman Republik Indonesia
(ORI) mengantongi 431 temuan penyimpangan dalam pelaksanaan UN berbasis
komputer maupun kertas.
Dari angka tersebut, 42,6% adalah temuan pada UN berbasis komputer dan
57,4% merupakan pelanggaran pada UN berbasis kertas.
"Seharusnya temuan ini bisa dihindarkan mengingat temuan serupa pernah
terjadi pada penyelenggaraan UN sebelumnya," ujar Komisioner Ombudsman
bidang Penyelesaian Laporan, Budi Santoso di kantor ORI, Kamis (21/5/2015).[1]
Di dalam
budaya pendidikan yang baik hendaknya
diterapkan sistem kontrol yang biasa disebut social control system.
Sistem kontrol ini tidak terlalu banyak melibatkan orang lain untuk
memonitor apa saja yang dilakukan oleh seseorang tetapi yang terlibat langsung
dalam pengendalian adalah orang yang bersangkutan melalui komitmen dan
kesepakatan dengan orang-orang sekitar berkaitan dengan sikap dan perilaku yang
dianggap memadai.
Akibat
kurangnya sistem control social yang tidak melibatkan lingkungan masyarakat
maka penyimpangan terjadi seperti, kasus ujian nasional di bawah ini,
Retno
menjelaskan di Jawa Timur, khususnya Mojokerto dan Lamongan, ada laporan jual
beli kunci jawaban UN. Harga kunci jawaban mencapai Rp 14 juta. "Para
siswa saweran rata-rata sebesar Rp 50 ribu," kata Retno saat dihubungi
Rabu, 15 April 2015.
Selain di Jawa Timur, di DKI Jakarta pun terjadi jual beli kunci jawaban antara Rp 14 juta hingga Rp 21 juta. Para siswa juga dikoordinasi untuk patungan antara Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu.
Seorang guru juga melapor telah berhasil mengunduh 30 jenis soal ujian nasional untuk jurusan IPA dari dunia maya. Soal yang bocor adalah Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Biologi, dan Kimia. Dari 30 file dalam bentuk PDF itu, sang pelapor mengaku berhasil mengunduh sebanyak 25 file.
Menurut Retno, soal yang diunduh itu ternyata sama persis untuk wilayah Pemalang, Bandung, dan Jakarta. "Di Jakarta, beberapa soal sama, tapi hanya dibedakan angkanya saja. Kesamaannya mencapai50persen,"katanya.
Modus lain kecurangan itu adalah siswa mencontek dengan menggunakan handphone dan sobekan kecil. Ini terjadi di beberapa daerah seperti Bekasi, Bogor, Bandung, Lamongan, dan Jakarta. Retno mengatakan masih ada kecurangan dilakukan dengan melibatkan tim sukses di sekolah maupun Dinas Pendidikan setempat.[2]
Selain di Jawa Timur, di DKI Jakarta pun terjadi jual beli kunci jawaban antara Rp 14 juta hingga Rp 21 juta. Para siswa juga dikoordinasi untuk patungan antara Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu.
Seorang guru juga melapor telah berhasil mengunduh 30 jenis soal ujian nasional untuk jurusan IPA dari dunia maya. Soal yang bocor adalah Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Biologi, dan Kimia. Dari 30 file dalam bentuk PDF itu, sang pelapor mengaku berhasil mengunduh sebanyak 25 file.
Menurut Retno, soal yang diunduh itu ternyata sama persis untuk wilayah Pemalang, Bandung, dan Jakarta. "Di Jakarta, beberapa soal sama, tapi hanya dibedakan angkanya saja. Kesamaannya mencapai50persen,"katanya.
Modus lain kecurangan itu adalah siswa mencontek dengan menggunakan handphone dan sobekan kecil. Ini terjadi di beberapa daerah seperti Bekasi, Bogor, Bandung, Lamongan, dan Jakarta. Retno mengatakan masih ada kecurangan dilakukan dengan melibatkan tim sukses di sekolah maupun Dinas Pendidikan setempat.[2]
Penyimpangan-penyimpangan
hal seperti contoh di atas dapat di atasi dengan memainkan peran budaya
organisasi pendidikan dalam menciptakan social control system.
Dalam upaya
tersebut maka sangat diperlukan membangun sebuah budaya kontrol dari segenap
lapisan. Model kontrol seperti ini menggunakan asumsi bahwa sistem pengendalian
dengan kontrol bisa berjalan dengan baik jika orang yang dimonitor menyadari
bahwa setiap lapisan baik lingkungan maupun pemerintah atau siapa saja yang berwenang memberikan
perhatian terhadap apa yang dikerjakan dan melakukan teguran manakala terjadi
penyimpangan terhadap yang dilakukan setiap stakeholders.
Berdasarkan
latar belakang permasalahan di atas, maka penulis menyajikan makalah dengan
topik “BUDAYA KONTROL DALAM PENDIDIKAN” dimana pemahaman hal tersebut sangat
mutlak diperlukan bagi pemerhati pendidikan demi terjaganya pendidikan yang
bernilai luhur tinggi bagi segenap bangsa Indonesia dimasa yang akan datang.
B.
Tujuan
Penulisan
Berdasarkan latar belakang masalah maka dapat dirumuskan
tujuan penulisan makalah ini, sebagai berikut.
1.
Mendeskripsikan
Kontrol dan Budaya Kontrol.
2.
Menjelaskan
Tipe- tipe Pengawasan.
3.
Mengklasifikasikan
Tahap-tahap Proses
Pengawasan.
4.
Menjelaskan Kontrol Negara terhadap Pendidikan .
5.
Menjelaskan
Pentingnya Budaya Kontrol Organisasi di Sekolah.
6.
Memaparkan Isu Pengawasan Pendidikan.
C.
Manfaat Penulisan
Secara
umum penelitian ini bermanfaat untuk para pemerhati pendidikan seperti, dosen, mahasiswa, guru, instruktur dan peneliti di bidang
pendidikan. Sedangkan secara khusus, makalah ini diperuntukkan untuk mahasiswa
S3 pendidikan bahasa agar mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang: Kontrol dan Budaya Kontrol, Tipe-tipe Pengawasan, Tahap-tahap
Proses Pengawasan, Kontrol Negara terhadap Pendidikan, Budaya Kontrol
Organisasi di Sekolah dan Kritik Budaya Kontrol Organisasi di Sekolah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kontrol dan Budaya Kontrol
Kontrol merupakan suatu budaya yang
jika telah menjadi suatu ketetapan yang rutin dalam suatu lembaga pendidikan.
Budaya kontrol telah masuk kedalam aspek evaluasi kebijakan, dimana setiap
evaluasi akan menghasilkan masukan yang berupa kontrol dalam setiap kebijakan.
Kontrol menurut Tilaar dan Nugroho, termasuk ke dalam teori proses, karena
setiap pembentukan kebijakan agar terlaksana dengan baik, maka tahap kontrol
lebih utama difokuskan ke dalam proses Letak evaluasi kebijakan yang merupakan
salah satu kontrol tindakannnya berupa: Melakukan studi program, melaporkan
outputnya, mengevaluasi pengaruh, (impact) dan kelompok sasaran dan
non-sasaran, dan memberikan rekomendasi penyempurnaan kebijakan.[3]
Robert menyatakan bahwa
pengawasan manajemen adalah suatu usaha sistematik untuk menetapkan standar
pelaksanaan dengan tujuan-tujuan perencanaan, merancang sistem informasi umpan
balik, membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah ditetapkan.[4]
Pengawasan didefinisikan sebagai
proses kegiatan monitoring untuk meyakinkan bahwa semua kegiatan organisasi
terlaksana seperti yang direncanakan sekaligus juga merupakan kegiatan untuk
mengoreksi dan memperbaiki bila ditemukan adanya penyimpangan yang akan
mengganggu pencapaian tujuan.
Kontrol dari Negara harus
mempengaruhi kebijakan kepala sekolah, seperti yang diungkapkan oleh Conley
bahwa,
Whenever states make significant changes in education
policy, the principal’s role is likely to be affected. Current policies in
areas such as accountability and assessment are resulting in the principal
becoming as responsible to the state as to the local superintendent and board
of education. States are judging school success and effectiveness by making
comparisons among schools hundreds of miles apart. The ability to bring about
improvement will be the key skill for principals whose schools are being rated
against state expectations even more than local criteria.[5]
Kebijakan bahwa setiap sekolah
mengharuskan adanya akuntabilitas dan asesmen sebagai bentuk pertanggung
jawaban kepada Negara, pengawas dan dewan pendidikan. Dengan demikian, para
pemangku pendidikan mempunyai pembanding dengan sekolah-sekolah lain. Kemampuan
membawa sekolah lebih baik dari standar yang ditetapkan oleh pemerintah
merupakan keahlian dari seorang kepala sekolah.
Salah satu contoh pengawasan
pemerintah Indonesia seperti dalam n menetapkan indeks integritas sekolah,
seperti disajikan dalam media cnnindonesia
online berikut ini,
Ketua Umum Panitia SNMPTN dan SBMPTN
2016 Rochmat Wahab berpendapat menilai dua siswa dengan prestasi sama yang
berasal dari dua sekolah berbeda akan cukup sulit. Indeks integritas dinilai
akan mempermudah kerja panitia dalam menentukan siswa yang lebih pantas
diluluskan dalam SNMPTN.
"Contohnya, siswa bernama A dan
B punya nilai sama, yaitu 9. Namun, A berasal dari sekolah yang indeks
integritasnya 10, sementara B berasal dari sekolah yang indeks integritasnya 5.
Maka, kami akan menilai A dengan nilai 9, sementara B nilainya mungkin hanya
4,5," kata Rochmat menjelaskan.
Dengan peraturan penerimaan SNMPTN
di atas, maka pemerintah melakukan kontrol terhadap kejujuran sekolah-sekolah
tersebut. Dalam hal ini, belum ada jaminan bahwa siswa yang nilai UN-nya
tinggi dan integritas sekolahnya rendah,
maka tidak bisa lolos masuk universitas negeri.
Berdasarkan uraian berbagai
pengertian di atas, penulis mengambil satu pengertian tentang pengawasan
lembaga pendidikan merupakan suatu kegiatan lanjutan yang wajib guna memastikan
akan tercapainya tujuan-tujuan pendidikan tercapai dan mengantisipasi adanya
penyimpangan yang tentunya akan mempengaruhi pencapaian tujuan tersebut.
Sementara itu, kontrol lembaga pendidikan dapat penulis artikan sebagai
pengendalian secara efektif yang dilakukan oleh pemerintah, pengawas dan dewan
sekolah.
B. Tipe- tipe Pengawasan
Pengawasan atau kontrol sekolah
tertuang di dalam Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun 2008 tentang guru pada
pasal 15 ayat 4 dijelaskan bahwa pengawas sekolah harus melaksanakan kegiatan
pengawasan akademik dan pengawasan manajerial. Dengan demikian pengawas sekolah
dituntut mempunyai kuailifikasi dan kompetensi yang memadai untuk dapat
menjalankan tugas kepengawasannya.[6]
Pengawasan sekolah menurut Conley
juga bisa melalui dewan sekolah yang anggotanya terdiri dari guru dan orang tua
siswa yang fungsinya sebagai: Taking Responsibility for Local Accountability and
School Improvement, Changing from Standardizing Conditions to Overseeing
Improvement and Adaptations, Approving Curriculum That Reflects Both State and
Local Goals, The Unique Challenges of Governing Urban Districts, The Viability
of Local Boards as Democratic Institutions, Local Boards as “Boards of
Directors”[7] Pengawasan
yang dilakukan dewan sekolah di tas lebih menyangkut kondisi lingkungan sekolah
baik dalam masyarakat dan kebijakan sekolah yang disetujui bersama orang tua
murud dan guru.
Pengawas sekolah memiliki peran yang
signifikan dan strategis dalam
proses dan
hasil pendidikan yang bermutu di sekolah. Dalam konteks ini tipe pengawas
sekolah meliputi pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan tindak lanjut
pengawas yang harus dilakukan secara teratur dan berkesinambungan (PP 19 Tahun
2005, pasal 55).[8]
Peran tersebut berkaitan dengan tugas pokok pengawas dalam melakukan supervisi
manajerial dan akademik serta pembinaan peran pembinaan, pemantauan dan
penilaian. Peran pengawas sekolah dalam pembinaan setidaknya sebagai teladan
bagi sekolah dan sebagai rekan kerja yang serasi dengan pihak sekolah dalam
memajukan sekolah binaannya. Peran pengawasan tersebut dilaksanakan dengan
pendekatan supervise yang bersifat ilmiah, klinis, manusiawi, kolaboratif,
artistik, interpretatif, dan berbasis kondisi sosial budaya. Pendekatan ini
bertujuan meningkatkan mutu pembelajaran.
C. Tahap-tahap Proses Pengawasan
Proses pengawasan atau kontrol di
Indonesia tergantung dari jenis tipe sekolah yang akan di awas, seperti:
Sekolah Muda, Madya, dan Utama. .Rincian tugas pokok diatas sesuai dengan
jabatan pengawas sekolah adalah sebagai berikut.[9]
a.
Pengawas Sekolah Muda:
1.
menyusun program pengawasan;
2.
melaksanakan pembinaan Guru;
3. memantau
pelaksanaan standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar
penilaian;
4.
melaksanakan penilaian kinerja Guru;
5.
melaksanakan evaluasi hasil pelaksanaan program
pengawasan pada sekolah binaan;
6.
menyusun program pembimbingan dan pelatihan
profesional Guru di KKG/MGMP/MGP dan sejenisnya;
7.
melaksanakan pembimbingan dan pelatihan profesional
Guru; dan
8.
mengevaluasi hasil pembimbingan dan pelatihan
profesional Guru.
b.
Pengawas Sekolah Madya:
1.
menyusun program pengawasan;
2.
melaksanakan pembinaan Guru dan/atau kepala sekolah;
3.
memantau pelaksanaan standar isi, standar proses,
standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar
sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar
penilaian pendidikan;
4.
melaksanakan penilaian kinerja Guru dan/atau kepala
sekolah;
5.
melaksanakan evaluasi hasil pelaksanaan program
pengawasan pada sekolah binaan;
6.
menyusun program pembimbingan dan pelatihan
profesional Guru dan/atau kepala sekolah
di KKG/MGMP/MGP dan/atau KKKS/MKKS dan sejenisnya;
7.
melaksanakan pembimbingan dan pelatihan profesional
Guru dan/atau kepala sekolah;
8.
melaksanakan pembimbingan dan pelatihan kepala
sekolah dalam menyusun program sekolah, rencana kerja, pengawasan dan evaluasi,
kepemimpinan sekolah, dan sistem informasi dan manajemen;
9.
mengevaluasi hasil pembimbingan dan pelatihan
profesional Guru dan/atau kepala sekolah; dan
10. membimbing
pengawas sekolah muda dalam melaksanakan tugas pokok.
c.
Pengawas Sekolah Utama:
1.
menyusun program pengawasan;
2.
melaksanakan pembinaan Guru dan kepala sekolah;
3.
memantau pelaksanaan standar isi, standar proses,
standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar
sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar
penilaian pendidikan;
4.
melaksanakan penilaian kinerja Guru dan kepala
sekolah;
5.
melaksanakan evaluasi hasil pelaksanaan program
pengawasan pada sekolah binaan;
6.
mengevaluasi hasil pelaksanaan program pengawasan
tingkat kabupaten/kota atau provinsi;
7.
menyusun program pembimbingan dan pelatihan
profesional Guru dan kepala sekolah di KKG/MGMP/MGP dan/atau KKKS/MKKS dan sejenisnya;
8.
melaksanakan pembimbingan dan pelatihan profesional
Guru dan kepala sekolah;
9.
melaksanakan pembimbingan dan pelatihan kepala
sekolah dalam menyusun program sekolah, rencana kerja, pengawasan dan evaluasi,
kepemimpinan sekolah, dan sistem informasi dan manajemen;
10. mengevaluasi
hasil pembimbingan dan pelatihan profesional Guru dan kepala sekolah;
11. membimbing
pengawas sekolah muda dan pengawas sekolah madya dalam melaksanakan tugas
pokok; dan
12. melaksanakan
pembimbingan dan pelatihan profesional Guru dan kepala sekolah dalam
pelaksanaan penelitian tindakan.
Demikian
tugas dan tanggung jawab pengontrol atau pengawas sekolah yang sangat
diperlukan demi terciptanya kelancaran pelaksanaan kebijakan pendidikan di
Indonesia baik dari segi kinerja guru, kepala sekolah, administratif, kegiatan
belajar mengajar dan lingkungan sekolah secara luas.
D. Kontrol Negara Terhadap Pendidikan
Pemerintah adalah bagian dari Negara yang paling kasat mata dan dapat juga
menjadi bagian paling penting dan paling aktif dari Negara. Karena pemerintah dalam hal ini dapat memberikan beberapa kebijakan
reformasi bagi pendidikan, tetapi pemerintah bukanlah keseluruhan dari Negara.
Negara terdiri dari berbagai institusi yang masing masing memiliki fungsi dan
peran tersendiri dalam tatanan kehidupan kenegaraan. Tujuan
utama dari kebijakan reformasi pendidikan negara adalah untuk membawa
perbaikan dalam proses belajar siswa.
Ini tidak dapat terjadi tanpa mempengaruhi orang-orang yang bekerja di sekolah-sekolah.[10] Setiap
periode perbaikan dan perkembangan pendidikan adalah persoalan penting bagi suatu bangsa
karena perkembangan tersebut menentukan tingkat penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknolgi, karakteristik, dan kesadara politik yang banyak mempengaruhi masa
depan bangsa tersebut. Setiap periode perkembangan pendidikan adalah faktor
politik dan kekuatan politik karena pada hakikatnya pendidikan adalah cerminan
aspirasi, kepentingan, dan tatanan kekuasaan kekuatan – kekuatan politik yang
sedang berkuasa. Ada empat strategi pokok pengembangan dan pembangunan pendidikan nasional, yaitu :
1. Peningkatan pemerataan kesempatan pendidikan
2. Peningkatan relevansi pendidikan dengan
pembangunan
3. Peningkatan kualitas pendidikan
4.
Peningkatan
efisiensi pengelolaan pendidikan.
Setiap periode
perkembangan pendidikan membutuhan sistem kontrol yang baik dari Negara. Menurut Dale dalam Sirozi, Kontrol Negara terhadap pendidikan umunnya dilakukan
melalui empat cara. Pertama, sistem
pendidkan diatur secara legal. Kedua, sistem
pendidikan dijalankan sebagai birokrasi, menekankan ketaatan pada aturan dan
objektivitas. Ketiga, penerapan wajib pendidikan (compulsory education). Keempat, reproduksi politik dan
ekonomi yang berlangsung disekolah berlangsung dalam konteks tertentu.[11]
Dale menambahkan bahwa perangkat Negara dalam bidang
pendidikan, seperti sekolah
dan administrasi pendidikan memiliki efek tersendiri terhadap pola, proses, dan
praktik pendidikan.[12] Sehingga diharapakan melalui peran dari Negara, proses pendidikan dapat
berjalan sesuai kaidah dan tujuan utama untuk dapat menghasilkan output yang
benar-benar unggul disetiap bidangnya.
E. Budaya Kontrol Organisasi di Sekolah
Secara umum, penerapan konsep budaya organisasi di
sekolah sebenarnya tidak jauh berbeda dengan penerapan konsep budaya organisasi
lainnya. Kalaupun terdapat perbedaan mungkin hanya terletak pada jenis nilai
dominan yang dikembangkannya dan karakateristik dari para pendukungnya. Dengan merujuk pada
pemikiran Fred Luthan, di bawah ini akan diuraikan tentang karakteristik budaya
organisasi di sekolah, yang meliputi tentang (1)
keteraturan prilaku yang diamati; (2) norma; (3) nilai-nilai yang
dominan; (4) filsafat; (5) aturan dan (6) iklim organisasi.[13]
1.
Keteraturan Prilaku yang Diamati
Budaya
organisasi di sekolah ditandai dengan adanya keberaturan cara bertindak dari
seluruh anggota sekolah yang dapat diamati. Keberaturan berperilaku ini dapat
berbentuk acara-acara ritual tertentu, bahasa umum yang digunakan atau
simbol-simbol tertentu, yang mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh
anggota sekolah.
2.
Norma
Budaya
organisasi di sekolah ditandai pula oleh adanya norma-norma yang berisi
tentang standar perilaku dari anggota sekolah, baik bagi siswa maupun guru.
Standar perilaku ini bisa berdasarkan pada kebijakan intern sekolah itu sendiri
maupun pada kebijakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Standar perilaku
siswa terutama berhubungan dengan pencapaian hasil belajar siswa, yang akan
menentukan apakah seorang siswa dapat dinyatakan lulus / naik kelas
atau tidak. Standar perilaku siswa tidak hanya berkenaan dengan aspek kognitif
atau akademik semata namun menyangkut seluruh aspek kepribadian.
Jika kita berpegang pada Kurikulum Berbasis Kompetensi, secara umum
standar perilaku yang diharapkan dari lulusan Sekolah
Menengah Atas, di antaranya mencakup:
a. Memiliki
keyakinan dan ketaqwaan sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
b. Memiliki
nilai dasar humaniora untuk menerapkan kebersamaan dalam kehidupan.
c. Menguasai
pengetahuan dan keterampilan akademik serta beretos belajar untuk melanjutkan
pendidikan.
d. Mengalihgunakan
kemampuan akademik dan keterampilan hidup dimasyarakat local dan global.
e. Berekspresi
dan menghargai seni.
f. Menjaga
kebersihan, kesehatan dan kebugaran jasmani.
g. Berpartisipasi dan
berwawasan kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
secara demokratis.[14]
Berkenaan dengan standar perilaku guru, tentunya erat kaitannya dengan
standar kompetensi yang harus dimiliki guru, yang akan menopang terhadap
kinerjanya. Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional, pemerintah telah
merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum dalam Penjelasan
Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,[15]
yaitu:
a. Kompetensi
pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang
meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman
terhadap peserta didik; (c) pengembangan
kurikulum / silabus;
(d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan
dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
b. Kompetensi kepribadian
yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil; (c) dewasa;
(d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g) menjadi
teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja
sendiri; dan (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan.
c. Kompetensi
sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk
: (a) berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan teknologi
komunikasi dan informasi secara fungsional; (c) bergaul secara efektif dengan
peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta
didik; dan (d) bergaul secara santun dengan masyarakat
sekitar.
d. Kompetensi
profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam
yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni
yang koheren dengan materi ajar; (b) materi ajar yang ada dalam
kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; (d)
penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi
secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan
budaya nasional.
3.
Nilai-nilai yang Dominan
Jika
dihubungkan dengan tantangan pendidikan Indonesia dewasa ini yaitu tentang pencapaian mutu pendidikan,
maka budaya organisasi di sekolah seyogyanya diletakkan dalam kerangka
pencapaian mutu pendidikan di sekolah. Nilai dan keyakinan akan pencapaian mutu
pendidikan di sekolah hendaknya menjadi hal yang utama bagi seluruh warga
sekolah.
4. Filsafat
Budaya organisasi ditandai dengan adanya keyakinan dari seluruh anggota
organisasi dalam memandang tentang sesuatu secara hakiki, misalnya tentang
waktu, manusia, dan sebagainya, yang dijadikan sebagai kebijakan
organisasi. Jika kita mengadopsi filosofi dalam dunia bisnis yang memang
telah terbukti memberikan keunggulan pada perusahaan, di mana filosofi ini
diletakkan pada upaya memberikan kepuasan kepada para pelanggan, maka sekolah
pun seyogyanya memiliki keyakinan akan pentingnya upaya untuk memberikan
kepuasan kepada pelanggan. Dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah, mengemukakan bahwa :
“Pelanggan, terutama siswa harus merupakan fokus dari semua kegiatan di
sekolah. Artinya, semua in put - proses yang dikerahkan di sekolah tertuju
utamanya untuk meningkatkan mutu dan kepuasan peserta didik . Konsekuensi logis
dari ini semua adalah bahwa penyiapan in put, proses belajar mengajar harus
benar-benar mewujudkan sosok utuh mutu dan kepuasan yang diharapkan siswa.”[16]
5. Peraturan
Budaya
organisasi ditandai dengan adanya ketentuan dan aturan main yang mengikat
seluruh anggota organisasi. Setiap sekolah memiliki ketentuan dan aturan main
tertentu, baik yang bersumber dari kebijakan sekolah setempat, maupun dari
pemerintah, yang mengikat seluruh warga sekolah dalam berperilaku dan bertindak
dalam organisasi. Aturan umum di sekolah ini dikemas dalam bentuk tata- tertib
sekolah (school discipline), di dalamnya berisikan tentang apa yang
boleh dan tidak boleh dilakukan oleh warga sekolah, sekaligus dilengkapi pula
dengan ketentuan sanksi, jika melakukan pelanggaran.
6. Iklim
Organisasi
Budaya
organisasi ditandai dengan adanya iklim organisasi. Nilai-nilai yang mungkin
dikembangkan di sekolah tentunya sangat beragam. Di sekolah terjadi interaksi
yang saling mempengaruhi antara individu dengan lingkungannya, baik lingkungan
fisik maupun sosial. Lingkungan ini akan dipersepsi dan dirasakan oleh individu
tersebut sehingga menimbulkan kesan dan perasaan tertentu. Dalam hal ini,
sekolah harus dapat menciptakan suasana lingkungan kerja yang kondusif dan
menyenangkan bagi setiap anggota sekolah, melalui berbagai penataan lingkungan,
baik fisik maupun sosialnya.
Upaya untuk mengembangkan budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan
tugas kepala sekolah selaku leader dan manajer di sekolah. Dalam hal ini,
kepala sekolah hendaknya mampu melihat lingkungan sekolahnya secara holistik,
sehingga diperoleh kerangka kerja yang lebih luas guna memahami masalah-masalah
yang sulit dan hubungan-hubungan yang kompleks di sekolahnya. Melalui
pendalaman pemahamannya tentang budaya organisasi di sekolah, maka ia akan
lebih baik lagi dalam memberikan penajaman tentang nilai, keyakinan dan sikap
yang penting guna meningkatkan stabilitas dan pemeliharaan lingkungan
belajarnya.
F.
Isu Pengawasan Pendidikan di Sekolah.
Pengawasan pendidikan di sekolah
harus memberikan dampak yang dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan organisasi sekolah. Dalam pendidikan di sekolah pengawasan
dipakai dalam dua arti. Pertama pengawasan meliputi kegiatan mengarahkan dan
membimbing maupun mempertimbangkan, dan menilai. Perhatiannya berpusat pada
pelaksanaan dan hasil hasilnya. Kegiatan
pengawasan semacam ini dipikirkan terutama sebagai proses penerapan
kekuasaan melalui alat dan teknik pengawasan untuk menetapkan apakah rencana,
kebijakan, instruksi, dan prosedur yang ditetapkan diikuti. Kedua, pengawasan
yang menyediakan kondisi yang perlu untuk menyelesaikan tugas kewajiban dengan
efektif dan efisien. Pengawasan dalam pengertian ini hendak menjamin
keselarasan, kecerdasan, dan ekonomi pada semua upaya pendidikan.
Pengawasan biasa digunakan tidak hanya untuk
mencegah kesalahan, melainkan juga mengarahkan tindakan-tindakan pada tujuan
organisasi sekolah. Berdasarkan konsep tersebut, pelaksanaan pengawasan di
sekolah harus mencakup pengendalian yang bersifat administrative dan akademik
atau proses pengajaran. Tetapi dalam prakteknya pelaksanaan pendidikan yang
selama ini diterapkan cenderung hanya menyangkut aspek material saja seperti
pemeriksaan keuangan, fasilitas, tata usaha kantor, sedangkan pengamatan dan
pengendalian terhadap proses belajar mengajar sering kali luput dari perhatian.
Bahkan pengawasan terhadap keseluruhan aspek dari fungsi manajemen pun tetap
belum terlaksana. Pengawasan tampaknya masih terkotak-kotak dan masih belum
membentuk sistem yang mudah yang dapat merupakan instrumen untuk menjaga
kelancaran proses manajemen pendidikan di sekolah. Pengawas di lembaga
pendidikan selama ini lebih menonjolkan segi fisik, seperti pengelolaan dana,
alat, bangunan, dan pegawai. Yang kurang mendapat perhatian, padahal merupakan
sasaran yang amat penting, adalah pengawasan terhadap penyelenggaraan proses
belajar mengajar yang berlangsung di sekolah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Budaya kontrol dalam pendidikan
di sekolah harus memberikan dampak yang dapat meningkatkan efisiensi dan
efektivitas penyelenggaraan sistem pembelajaran di sekolah. Dalam pendidikan di
sekolah kontrol dipakai dalam dua arti. Pertama kontrol meliputi kegiatan
mengarahkan dan membimbing maupun mempertimbangkan, dan menilai. Perhatiannya
berpusat pada pelaksanaan dan hasil hasil pembelajaran. Kegiatan kontro / pengawasan semacam ini dipikirkan
terutama sebagai proses penerapan kekuasaan melalui alat dan teknik pengawasan
untuk menetapkan apakah rencana, kebijakan, instruksi, dan prosedur yang
ditetapkan diikuti. Kedua, pengawasan yang menyediakan kondisi yang perlu untuk
menyelesaikan tugas kewajiban dengan efektif dan efisien. Pengawasan dalam
pengertian ini hendak menjamin keselarasan, kecerdasan, dan ekonomi pada semua
upaya pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Kerja
Pengawas Sekolah Cetakan II. Jakarta: Pusat
Pengembangan Tenaga Kependidikan, Badan PSDM dan PMPKementerian Pendidikan
Nasional, 2011
Conley David T., Who Governs Our School? Changing Role and
Responsibilities. New York: Teacher College Press. 2003
Danim, Sudarwan. Visi Baru Manajemen Sekolah (dari Unit Birokrasi ke Lembaga
Akademik). Cet.II. Jakarta: Bumi Aksara, 2007
Depdiknas. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Buku 1
Konsep dan Pelaksanaan. Jakarta: Direktorat SLTP Dirjen Dikdasmen. 2001.
Handoko, T. Hani Manajemen, Ed.II, Cet. 18, Yogyakarta: BPFE: 2003
Luthan, Fred. Organizational Behavior. Singapore:
McGraw-Hill,Inc. 1995.
Penjelasan Peraturan Pemerintah No
14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Penjelasan Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses.
Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun
2008 tentang guru pada pasal 15 ayat 4.
Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun
2008 tentang guru pada 19 Tahun 2005, pasal 55.
Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta:
Depdiknas. 2002.
Sirozi, M. Politik Pendidikan. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. 2005
Suryabrata, Sumadi. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali. 1990.
Tika, Moh. Pabundu. Budaya Organisasi dan Peningkatan Kerja Perusahaan, Jakarta: Bumi Aksara. 2006.
http://kabar24.bisnis.com/read/20150521/255/435738/ombudsman-temukan-413-penyimpangan-ujian-nasional-2015 (diakses 24 Januari 2016,
pukul 16.00 WIB)
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/04/16/079658121/ini-kecurangan-ujian- nasional-2015-versi-fsgi (diakses 25 Januari 2016,
pukul 15.00 WIB)
[1] http://kabar24.bisnis.com/read/20150521/255/435738/ombudsman-temukan-413-penyimpangan-ujian-nasional-2015 (diakses 24 Januari 2016,
pukul 16.00 WIB)
[2] Retno, “Kecurangan Ujian
Nasional”,http://nasional.tempo.co/read/news/2015/04/16/079658121/ini-kecurangan-ujian-nasional-2015-versi-fsgi (diakses 25 Januari 2016,
pukul 15.00 WIB)
[3] H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho. Kebijakan Pendidikan (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), h. 192.
[9] Buku Kerja Pengawas Sekolah Cetakan II
(Jakarta: Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan,
Badan PSDM dan PMPKementerian Pendidikan Nasional, 2011). h. 8-10.
York: Teacher
College Press. 2003), h. 170
[16] Depdiknas. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Buku 1 Konsep
dan Pelaksanaan. Jakarta : Direktorat SLTP Dirjen Dikdasmen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar