Sabtu, 06 Agustus 2016

BUDAYA KONTROL DALAM PENDIDIKAN

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah

Pengawasan dapat diartikan sebagai proses yang berkenaan dengan cara-cara menyusun kegiatan sesuai yang direncanakan dan disepakati bersama. Pengawasan dalam manajemen pendidikan sangat diperlukan agar setiap pelaksanaannya tetap dalam koridor nilai-nilai falsafah pendidikan.
Dapat dikatakan pengawasan merupakan langkah yang baik. Kurangnya pengawasan bisa terjadinya penyimpangan dan akan berdampak buruk bagi dunia pendidikan. Penyimpangan dalam pendidikan menurut laporan Ombudsman, seperti dilaporkan dalam media online di bawah ini,
JAKARTA - Lembaga Pengawas Pelayanan Publik, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) mengantongi 431 temuan penyimpangan dalam pelaksanaan UN berbasis komputer maupun kertas.
Dari angka tersebut, 42,6% adalah temuan pada UN berbasis komputer dan 57,4% merupakan pelanggaran pada UN berbasis kertas.
"Seharusnya temuan ini bisa dihindarkan mengingat temuan serupa pernah terjadi pada penyelenggaraan UN sebelumnya," ujar Komisioner Ombudsman bidang Penyelesaian Laporan, Budi Santoso di kantor ORI, Kamis (21/5/2015).[1]
Di dalam budaya pendidikan  yang baik hendaknya diterapkan sistem kontrol yang biasa disebut social control system. Sistem kontrol  ini tidak terlalu banyak melibatkan orang lain untuk memonitor apa saja yang dilakukan oleh seseorang tetapi yang terlibat langsung dalam pengendalian adalah orang yang bersangkutan melalui komitmen dan kesepakatan dengan orang-orang sekitar berkaitan dengan sikap dan perilaku yang dianggap memadai.
Akibat kurangnya sistem control social yang tidak melibatkan lingkungan masyarakat maka penyimpangan terjadi seperti, kasus ujian nasional di bawah ini,
Retno menjelaskan di Jawa Timur, khususnya Mojokerto dan Lamongan, ada laporan jual beli kunci jawaban UN. Harga kunci jawaban mencapai Rp 14 juta. "Para siswa saweran rata-rata sebesar Rp 50 ribu," kata Retno saat dihubungi Rabu, 15 April 2015. 
                        Selain di Jawa Timur, di DKI Jakarta pun terjadi jual beli kunci jawaban antara Rp 14 juta hingga Rp 21 juta. Para siswa juga dikoordinasi untuk patungan antara Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu.
                        Seorang guru juga melapor telah berhasil mengunduh 30 jenis soal ujian nasional untuk jurusan IPA dari dunia maya. Soal yang bocor adalah Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Biologi, dan Kimia. Dari 30 file dalam bentuk PDF itu, sang pelapor mengaku berhasil mengunduh sebanyak 25 file.
                        Menurut Retno, soal yang diunduh itu ternyata sama persis untuk wilayah Pemalang, Bandung, dan Jakarta. "Di Jakarta, beberapa soal sama, tapi hanya dibedakan angkanya saja. Kesamaannya mencapai50persen,"katanya.

                        Modus lain kecurangan itu adalah siswa mencontek dengan menggunakan handphone dan sobekan kecil. Ini terjadi di beberapa daerah seperti Bekasi, Bogor, Bandung, Lamongan, dan Jakarta. Retno mengatakan masih ada kecurangan dilakukan dengan melibatkan tim sukses di sekolah maupun Dinas Pendidikan setempat.[2] 

Penyimpangan-penyimpangan hal seperti contoh di atas dapat di atasi dengan memainkan peran budaya organisasi pendidikan dalam menciptakan social control system.
Dalam upaya tersebut maka sangat diperlukan membangun sebuah budaya kontrol dari segenap lapisan. Model kontrol seperti ini menggunakan asumsi bahwa sistem pengendalian dengan kontrol bisa berjalan dengan baik jika orang yang dimonitor menyadari bahwa setiap lapisan baik lingkungan maupun pemerintah  atau siapa saja yang berwenang memberikan perhatian terhadap apa yang dikerjakan dan melakukan teguran manakala terjadi penyimpangan terhadap yang dilakukan setiap stakeholders.
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka penulis menyajikan makalah dengan topik “BUDAYA KONTROL DALAM PENDIDIKAN” dimana pemahaman hal tersebut sangat mutlak diperlukan bagi pemerhati pendidikan demi terjaganya pendidikan yang bernilai luhur tinggi bagi segenap bangsa Indonesia dimasa yang akan datang.

B.    Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang masalah maka dapat dirumuskan tujuan penulisan makalah ini, sebagai berikut.
1.    Mendeskripsikan Kontrol dan Budaya Kontrol.
2.    Menjelaskan Tipe- tipe Pengawasan.
3.    Mengklasifikasikan Tahap-tahap Proses Pengawasan.
4.    Menjelaskan Kontrol Negara terhadap Pendidikan           .
5.    Menjelaskan Pentingnya Budaya Kontrol Organisasi di Sekolah.
6.    Memaparkan Isu Pengawasan Pendidikan.

C.  Manfaat Penulisan
            Secara umum penelitian ini bermanfaat untuk para pemerhati pendidikan seperti, dosen, mahasiswa, guru, instruktur dan peneliti di bidang pendidikan. Sedangkan secara khusus, makalah ini diperuntukkan untuk mahasiswa S3 pendidikan bahasa agar mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang: Kontrol dan Budaya Kontrol, Tipe-tipe Pengawasan, Tahap-tahap Proses Pengawasan, Kontrol Negara terhadap Pendidikan, Budaya Kontrol Organisasi di Sekolah dan Kritik Budaya Kontrol Organisasi di Sekolah.


BAB II
PEMBAHASAN


A.   Kontrol dan Budaya Kontrol

Kontrol merupakan suatu budaya yang jika telah menjadi suatu ketetapan yang rutin dalam suatu lembaga pendidikan. Budaya kontrol telah masuk kedalam aspek evaluasi kebijakan, dimana setiap evaluasi akan menghasilkan masukan yang berupa kontrol dalam setiap kebijakan. Kontrol menurut Tilaar dan Nugroho, termasuk ke dalam teori proses, karena setiap pembentukan kebijakan agar terlaksana dengan baik, maka tahap kontrol lebih utama difokuskan ke dalam proses Letak evaluasi kebijakan yang merupakan salah satu kontrol tindakannnya berupa: Melakukan studi program, melaporkan outputnya, mengevaluasi pengaruh, (impact) dan kelompok sasaran dan non-sasaran, dan memberikan rekomendasi penyempurnaan kebijakan.[3]

Robert menyatakan bahwa pengawasan manajemen adalah suatu usaha sistematik untuk menetapkan standar pelaksanaan dengan tujuan-tujuan perencanaan, merancang sistem informasi umpan balik, membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah ditetapkan.[4]
Pengawasan didefinisikan sebagai proses kegiatan monitoring untuk meyakinkan bahwa semua kegiatan organisasi terlaksana seperti yang direncanakan sekaligus juga merupakan kegiatan untuk mengoreksi dan memperbaiki bila ditemukan adanya penyimpangan yang akan mengganggu pencapaian tujuan.
Kontrol dari Negara harus mempengaruhi kebijakan kepala sekolah, seperti yang diungkapkan oleh Conley bahwa,
Whenever states make significant changes in education policy, the principal’s role is likely to be affected. Current policies in areas such as accountability and assessment are resulting in the principal becoming as responsible to the state as to the local superintendent and board of education. States are judging school success and effectiveness by making comparisons among schools hundreds of miles apart. The ability to bring about improvement will be the key skill for principals whose schools are being rated against state expectations even more than local criteria.[5]
Kebijakan bahwa setiap sekolah mengharuskan adanya akuntabilitas dan asesmen sebagai bentuk pertanggung jawaban kepada Negara, pengawas dan dewan pendidikan. Dengan demikian, para pemangku pendidikan mempunyai pembanding dengan sekolah-sekolah lain. Kemampuan membawa sekolah lebih baik dari standar yang ditetapkan oleh pemerintah merupakan keahlian dari seorang kepala sekolah.
Salah satu contoh pengawasan pemerintah Indonesia seperti dalam n menetapkan indeks integritas sekolah, seperti disajikan dalam media cnnindonesia online berikut ini,
Ketua Umum Panitia SNMPTN dan SBMPTN 2016 Rochmat Wahab berpendapat menilai dua siswa dengan prestasi sama yang berasal dari dua sekolah berbeda akan cukup sulit. Indeks integritas dinilai akan mempermudah kerja panitia dalam menentukan siswa yang lebih pantas diluluskan dalam SNMPTN.
"Contohnya, siswa bernama A dan B punya nilai sama, yaitu 9. Namun, A berasal dari sekolah yang indeks integritasnya 10, sementara B berasal dari sekolah yang indeks integritasnya 5. Maka, kami akan menilai A dengan nilai 9, sementara B nilainya mungkin hanya 4,5," kata Rochmat menjelaskan.

Dengan peraturan penerimaan SNMPTN di atas, maka pemerintah melakukan kontrol terhadap kejujuran sekolah-sekolah tersebut. Dalam hal ini, belum ada jaminan bahwa siswa yang nilai UN-nya tinggi  dan integritas sekolahnya rendah, maka tidak bisa lolos masuk universitas negeri.
Berdasarkan uraian berbagai pengertian di atas, penulis mengambil satu pengertian tentang pengawasan lembaga pendidikan merupakan suatu kegiatan lanjutan yang wajib guna memastikan akan tercapainya tujuan-tujuan pendidikan tercapai dan mengantisipasi adanya penyimpangan yang tentunya akan mempengaruhi pencapaian tujuan tersebut. Sementara itu, kontrol lembaga pendidikan dapat penulis artikan sebagai pengendalian secara efektif yang dilakukan oleh pemerintah, pengawas dan dewan sekolah.

B.   Tipe- tipe Pengawasan

            Pengawasan atau kontrol sekolah tertuang di dalam Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun 2008 tentang guru pada pasal 15 ayat 4 dijelaskan bahwa pengawas sekolah harus melaksanakan kegiatan pengawasan akademik dan pengawasan manajerial. Dengan demikian pengawas sekolah dituntut mempunyai kuailifikasi dan kompetensi yang memadai untuk dapat menjalankan tugas kepengawasannya.[6]

            Pengawasan sekolah menurut Conley juga bisa melalui dewan sekolah yang anggotanya terdiri dari guru dan orang tua siswa yang fungsinya sebagai: Taking Responsibility for Local Accountability and School Improvement, Changing from Standardizing Conditions to Overseeing Improvement and Adaptations, Approving Curriculum That Reflects Both State and Local Goals, The Unique Challenges of Governing Urban Districts, The Viability of Local Boards as Democratic Institutions, Local Boards as “Boards of Directors”[7] Pengawasan yang dilakukan dewan sekolah di tas lebih menyangkut kondisi lingkungan sekolah baik dalam masyarakat dan kebijakan sekolah yang disetujui bersama orang tua murud dan guru.

            Pengawas sekolah memiliki peran yang signifikan dan strategis dalam
proses dan hasil pendidikan yang bermutu di sekolah. Dalam konteks ini tipe pengawas sekolah meliputi pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan tindak lanjut pengawas yang harus dilakukan secara teratur dan berkesinambungan (PP 19 Tahun 2005, pasal 55).[8] Peran tersebut berkaitan dengan tugas pokok pengawas dalam melakukan supervisi manajerial dan akademik serta pembinaan peran pembinaan, pemantauan dan penilaian. Peran pengawas sekolah dalam pembinaan setidaknya sebagai teladan bagi sekolah dan sebagai rekan kerja yang serasi dengan pihak sekolah dalam memajukan sekolah binaannya. Peran pengawasan tersebut dilaksanakan dengan pendekatan supervise yang bersifat ilmiah, klinis, manusiawi, kolaboratif, artistik, interpretatif, dan berbasis kondisi sosial budaya. Pendekatan ini bertujuan meningkatkan mutu pembelajaran.
C.   Tahap-tahap Proses Pengawasan
Proses pengawasan atau kontrol di Indonesia tergantung dari jenis tipe sekolah yang akan di awas, seperti: Sekolah Muda, Madya, dan Utama. .Rincian tugas pokok diatas sesuai dengan jabatan pengawas sekolah adalah sebagai berikut.[9]
a. Pengawas Sekolah Muda:
1.    menyusun program pengawasan;
2.    melaksanakan pembinaan Guru;
3.    memantau pelaksanaan standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar penilaian;
4.    melaksanakan penilaian kinerja Guru;
5.    melaksanakan evaluasi hasil pelaksanaan program pengawasan pada sekolah binaan;
6.    menyusun program pembimbingan dan pelatihan profesional Guru di KKG/MGMP/MGP dan sejenisnya;
7.    melaksanakan pembimbingan dan pelatihan profesional Guru; dan
8.    mengevaluasi hasil pembimbingan dan pelatihan profesional Guru.


b. Pengawas Sekolah Madya:
1.    menyusun program pengawasan;
2.    melaksanakan pembinaan Guru dan/atau kepala sekolah;
3.    memantau pelaksanaan standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian pendidikan;
4.    melaksanakan penilaian kinerja Guru dan/atau kepala sekolah;
5.    melaksanakan evaluasi hasil pelaksanaan program pengawasan pada sekolah binaan;
6.    menyusun program pembimbingan dan pelatihan profesional Guru dan/atau  kepala  sekolah  di  KKG/MGMP/MGP  dan/atau KKKS/MKKS dan sejenisnya;
7.    melaksanakan pembimbingan dan pelatihan profesional Guru dan/atau kepala sekolah;
8.    melaksanakan pembimbingan dan pelatihan kepala sekolah dalam menyusun program sekolah, rencana kerja, pengawasan dan evaluasi, kepemimpinan sekolah, dan sistem informasi dan manajemen;
9.    mengevaluasi hasil pembimbingan dan pelatihan profesional Guru dan/atau kepala sekolah; dan
10. membimbing pengawas sekolah muda dalam melaksanakan tugas pokok.
c.  Pengawas Sekolah Utama:
1.    menyusun program pengawasan;
2.    melaksanakan pembinaan Guru dan kepala sekolah;
3.    memantau pelaksanaan standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian pendidikan;
4.    melaksanakan penilaian kinerja Guru dan kepala sekolah;
5.    melaksanakan evaluasi hasil pelaksanaan program pengawasan pada sekolah binaan;
6.    mengevaluasi hasil pelaksanaan program pengawasan tingkat kabupaten/kota atau provinsi;
7.    menyusun program pembimbingan dan pelatihan profesional Guru dan kepala sekolah di KKG/MGMP/MGP dan/atau KKKS/MKKS dan sejenisnya;
8.    melaksanakan pembimbingan dan pelatihan profesional Guru dan kepala sekolah;
9.    melaksanakan pembimbingan dan pelatihan kepala sekolah dalam menyusun program sekolah, rencana kerja, pengawasan dan evaluasi, kepemimpinan sekolah, dan sistem informasi dan manajemen;
10. mengevaluasi hasil pembimbingan dan pelatihan profesional Guru dan kepala sekolah;
11. membimbing pengawas sekolah muda dan pengawas sekolah madya dalam melaksanakan tugas pokok; dan
12. melaksanakan pembimbingan dan pelatihan profesional Guru dan kepala sekolah dalam pelaksanaan penelitian tindakan.
            Demikian tugas dan tanggung jawab pengontrol atau pengawas sekolah yang sangat diperlukan demi terciptanya kelancaran pelaksanaan kebijakan pendidikan di Indonesia baik dari segi kinerja guru, kepala sekolah, administratif, kegiatan belajar mengajar dan lingkungan sekolah secara luas.

D.   Kontrol Negara Terhadap Pendidikan

             Pemerintah adalah bagian dari Negara yang paling kasat mata dan dapat juga menjadi bagian paling penting dan paling aktif dari Negara. Karena pemerintah dalam hal ini dapat memberikan beberapa kebijakan reformasi bagi pendidikan, tetapi pemerintah bukanlah keseluruhan dari Negara. Negara terdiri dari berbagai institusi yang masing masing memiliki fungsi dan peran tersendiri dalam tatanan kehidupan kenegaraan. Tujuan utama dari kebijakan reformasi pendidikan negara adalah untuk membawa

perbaikan dalam proses belajar siswa. Ini tidak dapat terjadi tanpa mempengaruhi orang-orang yang bekerja di sekolah-sekolah.[10] Setiap periode perbaikan dan perkembangan pendidikan adalah persoalan penting bagi suatu bangsa karena perkembangan tersebut menentukan tingkat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknolgi, karakteristik, dan kesadara politik yang banyak mempengaruhi masa depan bangsa tersebut. Setiap periode perkembangan pendidikan adalah faktor politik dan kekuatan politik karena pada hakikatnya pendidikan adalah cerminan aspirasi, kepentingan, dan tatanan kekuasaan kekuatan – kekuatan politik yang sedang berkuasa. Ada empat strategi pokok pengembangan dan pembangunan pendidikan nasional, yaitu :
1.    Peningkatan pemerataan kesempatan pendidikan
2.    Peningkatan relevansi pendidikan dengan pembangunan
3.    Peningkatan kualitas pendidikan
4.    Peningkatan efisiensi pengelolaan pendidikan.            
             Setiap periode perkembangan pendidikan membutuhan sistem kontrol yang baik dari Negara. Menurut Dale dalam Sirozi, Kontrol Negara terhadap pendidikan umunnya dilakukan melalui empat cara. Pertama, sistem pendidkan diatur secara legal. Kedua, sistem pendidikan dijalankan sebagai birokrasi, menekankan ketaatan pada aturan dan objektivitas. Ketiga, penerapan wajib pendidikan (compulsory education). Keempat, reproduksi politik dan ekonomi yang berlangsung disekolah berlangsung dalam konteks tertentu.[11] Dale menambahkan bahwa perangkat Negara dalam bidang pendidikan, seperti sekolah dan administrasi pendidikan memiliki efek tersendiri terhadap pola, proses, dan praktik pendidikan.[12] Sehingga diharapakan melalui peran dari Negara, proses pendidikan dapat berjalan sesuai kaidah dan tujuan utama untuk dapat menghasilkan output yang benar-benar unggul disetiap bidangnya.

E.   Budaya Kontrol Organisasi di Sekolah

Secara umum, penerapan konsep budaya organisasi di sekolah sebenarnya tidak jauh berbeda dengan penerapan konsep budaya organisasi lainnya. Kalaupun terdapat perbedaan mungkin hanya terletak pada jenis nilai dominan yang dikembangkannya dan karakateristik dari para pendukungnya. Dengan merujuk pada pemikiran Fred Luthan, di bawah ini akan diuraikan tentang karakteristik budaya organisasi di sekolah, yang meliputi tentang (1) keteraturan prilaku yang diamati; (2) norma; (3nilai-nilai yang dominan; (4) filsafat; (5) aturan dan (6) iklim organisasi.[13]

1.    Keteraturan Prilaku yang Diamati
            Budaya organisasi di sekolah ditandai dengan adanya keberaturan cara bertindak dari seluruh anggota sekolah yang dapat diamati. Keberaturan berperilaku ini dapat berbentuk acara-acara ritual tertentu, bahasa umum yang digunakan atau simbol-simbol tertentu, yang mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh anggota sekolah.

2.    Norma
            Budaya organisasi di sekolah ditandai pula oleh adanya norma-norma  yang berisi tentang standar perilaku dari anggota sekolah, baik bagi siswa maupun guru. Standar perilaku ini bisa berdasarkan pada kebijakan intern sekolah itu sendiri maupun pada kebijakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Standar perilaku siswa terutama berhubungan dengan pencapaian hasil belajar siswa, yang akan menentukan apakah seorang siswa dapat dinyatakan lulus / naik kelas atau tidak. Standar perilaku siswa tidak hanya berkenaan dengan aspek kognitif atau akademik semata namun menyangkut seluruh aspek kepribadian.
Jika kita berpegang pada Kurikulum Berbasis Kompetensi, secara umum standar perilaku yang diharapkan dari lulusan Sekolah Menengah Atas, di antaranya mencakup:
a.    Memiliki keyakinan dan ketaqwaan sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
b.    Memiliki nilai dasar humaniora untuk menerapkan kebersamaan dalam kehidupan.
c.    Menguasai pengetahuan dan keterampilan akademik serta beretos belajar untuk melanjutkan pendidikan.
d.    Mengalihgunakan kemampuan akademik dan keterampilan hidup dimasyarakat local dan global.
e.    Berekspresi dan menghargai seni.
f.     Menjaga kebersihan, kesehatan dan kebugaran jasmani.
g.    Berpartisipasi dan berwawasan kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara demokratis.[14]
Berkenaan dengan standar perilaku guru, tentunya erat kaitannya dengan standar kompetensi yang harus dimiliki guru, yang akan menopang terhadap kinerjanya. Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional, pemerintah telah merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,[15] yaitu:
a.    Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap peserta didik; (c) pengembangan kurikulum / silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
b.    Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g)  menjadi teladan bagi peserta didik dan  masyarakat; (h)  mengevaluasi kinerja sendiri; dan   (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan.
c.    Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk :  (a) berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; (c) bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik;  dan  (d) bergaul  secara santun  dengan masyarakat sekitar.
d.    Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi:  (a) konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang koheren dengan materi ajar; (b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional.

3.    Nilai-nilai yang Dominan
            Jika dihubungkan dengan tantangan pendidikan Indonesia dewasa ini  yaitu tentang pencapaian mutu pendidikan, maka budaya organisasi di sekolah seyogyanya diletakkan dalam kerangka pencapaian mutu pendidikan di sekolah. Nilai dan keyakinan akan pencapaian mutu pendidikan di sekolah hendaknya menjadi hal yang utama bagi seluruh warga sekolah. 

4.    Filsafat
            Budaya organisasi ditandai dengan adanya keyakinan dari seluruh anggota organisasi dalam memandang tentang sesuatu secara hakiki, misalnya tentang waktu, manusia, dan sebagainya, yang dijadikan sebagai kebijakan organisasi.  Jika kita mengadopsi filosofi dalam dunia bisnis yang memang telah terbukti memberikan keunggulan pada perusahaan, di mana filosofi ini diletakkan pada upaya memberikan kepuasan kepada para pelanggan, maka sekolah pun seyogyanya memiliki keyakinan akan pentingnya upaya untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan. Dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, mengemukakan bahwa :
“Pelanggan, terutama siswa harus merupakan fokus dari semua kegiatan di sekolah. Artinya, semua in put - proses yang dikerahkan di sekolah tertuju utamanya untuk meningkatkan mutu dan kepuasan peserta didik . Konsekuensi logis dari ini semua adalah bahwa penyiapan in put, proses belajar mengajar harus benar-benar mewujudkan sosok utuh mutu dan kepuasan yang diharapkan siswa.”[16]



5.    Peraturan
            Budaya organisasi ditandai dengan adanya ketentuan dan aturan main yang mengikat seluruh anggota organisasi. Setiap sekolah memiliki ketentuan dan aturan main tertentu, baik yang bersumber dari kebijakan sekolah setempat, maupun dari pemerintah, yang mengikat seluruh warga sekolah dalam berperilaku dan bertindak dalam organisasi. Aturan umum di sekolah ini dikemas dalam bentuk tata- tertib sekolah (school discipline), di dalamnya berisikan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh warga sekolah, sekaligus dilengkapi pula dengan ketentuan sanksi, jika melakukan pelanggaran.

6.    Iklim Organisasi
            Budaya organisasi ditandai dengan adanya iklim organisasi. Nilai-nilai yang mungkin dikembangkan di sekolah tentunya sangat beragam. Di sekolah terjadi interaksi yang saling mempengaruhi antara individu dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial. Lingkungan ini akan dipersepsi dan dirasakan oleh individu tersebut sehingga menimbulkan kesan dan perasaan tertentu. Dalam hal ini, sekolah harus dapat menciptakan suasana lingkungan kerja yang kondusif dan menyenangkan bagi setiap anggota sekolah, melalui berbagai penataan lingkungan, baik fisik maupun sosialnya.
Upaya untuk mengembangkan budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan tugas kepala sekolah selaku leader dan manajer di sekolah. Dalam hal ini, kepala sekolah hendaknya mampu melihat lingkungan sekolahnya secara holistik, sehingga diperoleh kerangka kerja yang lebih luas guna memahami masalah-masalah yang sulit dan hubungan-hubungan yang kompleks di sekolahnya. Melalui pendalaman pemahamannya tentang budaya organisasi di sekolah, maka ia akan lebih baik lagi dalam memberikan penajaman tentang nilai, keyakinan dan sikap yang penting guna meningkatkan stabilitas dan pemeliharaan lingkungan belajarnya.

F.    Isu Pengawasan Pendidikan di Sekolah.
Pengawasan pendidikan di sekolah harus memberikan dampak yang dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan organisasi sekolah. Dalam pendidikan di sekolah pengawasan dipakai dalam dua arti. Pertama pengawasan meliputi kegiatan mengarahkan dan membimbing maupun mempertimbangkan, dan menilai. Perhatiannya berpusat pada pelaksanaan dan hasil hasilnya. Kegiatan  pengawasan semacam ini dipikirkan terutama sebagai proses penerapan kekuasaan melalui alat dan teknik pengawasan untuk menetapkan apakah rencana, kebijakan, instruksi, dan prosedur yang ditetapkan diikuti. Kedua, pengawasan yang menyediakan kondisi yang perlu untuk menyelesaikan tugas kewajiban dengan efektif dan efisien. Pengawasan dalam pengertian ini hendak menjamin keselarasan, kecerdasan, dan ekonomi pada semua upaya pendidikan.
 Pengawasan biasa digunakan tidak hanya untuk mencegah kesalahan, melainkan juga mengarahkan tindakan-tindakan pada tujuan organisasi sekolah. Berdasarkan konsep tersebut, pelaksanaan pengawasan di sekolah harus mencakup pengendalian yang bersifat administrative dan akademik atau proses pengajaran. Tetapi dalam prakteknya pelaksanaan pendidikan yang selama ini diterapkan cenderung hanya menyangkut aspek material saja seperti pemeriksaan keuangan, fasilitas, tata usaha kantor, sedangkan pengamatan dan pengendalian terhadap proses belajar mengajar sering kali luput dari perhatian. Bahkan pengawasan terhadap keseluruhan aspek dari fungsi manajemen pun tetap belum terlaksana. Pengawasan tampaknya masih terkotak-kotak dan masih belum membentuk sistem yang mudah yang dapat merupakan instrumen untuk menjaga kelancaran proses manajemen pendidikan di sekolah. Pengawas di lembaga pendidikan selama ini lebih menonjolkan segi fisik, seperti pengelolaan dana, alat, bangunan, dan pegawai. Yang kurang mendapat perhatian, padahal merupakan sasaran yang amat penting, adalah pengawasan terhadap penyelenggaraan proses belajar mengajar yang berlangsung di sekolah.



BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan

Budaya kontrol dalam pendidikan di sekolah harus memberikan dampak yang dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan sistem pembelajaran di sekolah. Dalam pendidikan di sekolah kontrol dipakai dalam dua arti. Pertama kontrol meliputi kegiatan mengarahkan dan membimbing maupun mempertimbangkan, dan menilai. Perhatiannya berpusat pada pelaksanaan dan hasil hasil pembelajaran. Kegiatan  kontro / pengawasan semacam ini dipikirkan terutama sebagai proses penerapan kekuasaan melalui alat dan teknik pengawasan untuk menetapkan apakah rencana, kebijakan, instruksi, dan prosedur yang ditetapkan diikuti. Kedua, pengawasan yang menyediakan kondisi yang perlu untuk menyelesaikan tugas kewajiban dengan efektif dan efisien. Pengawasan dalam pengertian ini hendak menjamin keselarasan, kecerdasan, dan ekonomi pada semua upaya pendidikan.


DAFTAR PUSTAKA


Buku Kerja Pengawas Sekolah Cetakan II. Jakarta: Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan, Badan PSDM dan PMPKementerian Pendidikan Nasional, 2011

Conley  David T., Who Governs Our School? Changing Role and
           Responsibilities. New York: Teacher College Press. 2003

Danim, Sudarwan. Visi Baru Manajemen Sekolah (dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik). Cet.II. Jakarta: Bumi Aksara, 2007

Depdiknas. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Buku 1 Konsep dan Pelaksanaan. Jakarta: Direktorat SLTP Dirjen Dikdasmen. 2001.

Handoko, T. Hani  Manajemen, Ed.II, Cet. 18, Yogyakarta: BPFE: 2003

Luthan, Fred. Organizational Behavior. Singapore: McGraw-Hill,Inc. 1995.

Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan

Penjelasan Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses.

Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun 2008 tentang guru pada pasal 15 ayat 4.

Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun 2008 tentang guru pada 19 Tahun 2005, pasal 55.

Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Depdiknas. 2002.

Sirozi, M. Politik Pendidikan. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. 2005

Suryabrata, Sumadi. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali. 1990.

Tika, Moh. Pabundu. Budaya Organisasi dan Peningkatan Kerja Perusahaan, Jakarta: Bumi Aksara. 2006.





[2] Retno, “Kecurangan Ujian Nasional”,http://nasional.tempo.co/read/news/2015/04/16/079658121/ini-kecurangan-ujian-nasional-2015-versi-fsgi (diakses 25 Januari 2016, pukul 15.00 WIB)
[3]  H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho. Kebijakan Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),         h. 192.
   [4]  T. Hani Handoko,  Manajemen, Ed.II, Cet. 18, (Yogyakarta: BPFE: 2003), h. 361.
[5]   David T. Conley. Who Governs Our School (New York & London: Teacher College Press),           h. 13.
[6] Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun 2008 tentang guru pada pasal 15 ayat 4.
[7] David T. Conley.op,cit., h. 144-152
[8] Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun 2008 tentang guru pada 19 Tahun 2005, pasal 55.
[9]  Buku Kerja Pengawas Sekolah Cetakan II (Jakarta: Pusat Pengembangan Tenaga          Kependidikan, Badan PSDM dan PMPKementerian Pendidikan Nasional, 2011). h. 8-10.
[10]  David T. Conley. Who Governs Our School? Changing Role and Responsibilities. ( New
   York: Teacher College Press. 2003), h. 170
[11]  M. Sirozi .Politik Pendidikan. (Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada. 2005), h. 39.
[12]  Ibid., h. 59.
[13] Fred Luthan. Organizational Behavior. (Singapore: McGraw-Hill,Inc. 1995)

[14]   Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. 2002.  Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta :    Depdiknas
[15]  Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
[16]  Depdiknas. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Buku 1 Konsep dan Pelaksanaan. Jakarta : Direktorat SLTP Dirjen Dikdasmen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar