BAB
I
PENDALUHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Fungsi
Bahasa yang utama adalah sebagai alat komunikasi. Jika fungsi itu dikaitkan
dengan budaya maka bahasa berfungsi sebagai sarana perkembangan kebudayaan,
jalur penerus kebudayaan, dan inventaris ciri-ciri kebudayaan. Jika dikaitkan
dengan kehidupan sosial, maka bahasa berfungsi sebagai bahasa nasional, yaitu
lambang kebanggaan bangsa, lambang identitas bangsa, alat pemersatu, dan sebagai
alat penghubung antardaerah dan antarbudaya. Sebagai bahasa kelompok, bahasa
berfungsi sebagai alat komunikasi dan interaksi sehari-hari dalam kelompok itu.
Dari sisi perorangan, bahasa memiliki fungsi instrumental, menyuruh,
kepribadian, pemecahan masalah, mempengaruhi dan khayalan.
Didalam
pemerolehan maupun menguasai bahasa, seseorang akan dipengaruhi oleh empat bagian
utama, yang meliputi lingkup sosio-kultural, perbedaan individual, konteks
pemerolehan bahasa, dan out-comes
belajar bahasa . Lingkup sosio-kultural sangat mempengaruhi variabel kognitif
dan afektif pembelajaran bahasa. Variabel afektif mencakup sikap, motivasi,
kecemasan bahasa, dan kepercayaan diri. Variabel kognitif mencakup intelegensi,
bakat bahasa, dan strategi belajar bahasa. Sehingga faktor
sosio-kultural atau budaya memiliki hubungan yang erat dengan bahasa. Setiap
kali kita mengajarkan satu bahasa, kita juga mengajarkan satu sistem yang
kompleks tentang kebiasaan budaya, nilai-nilai, cara berpikir, merasa, dan
bertindak. Faktor-faktor sosio-kultural juga berkaitan erat dalam proses
pembelajaran bahasa kedua.
Pandangan
yang mampu mengakomodasi sociocultural-revolution dalam teori belajar dan
pembelajaran dikemukakan oleh Lev Vigotsky. Ia mengatakan bahwa jalan pikiran
seseorang harus dimengerti dari latar sosial-budaya dan sejarahnya. Artinya,
untuk memahami pikiran seseorang bukan dengan cara menelusuri apa yang ada
dibalik otaknya dan pada kedalaman jiwanya, melainkan dari asal-usul tindakan
sadarnya, dari interaksi sosial yang dilatari sejarah hidupnya. Berdasarkan
uraian-uraian di atas, maka makalah ini akan memaparkan faktor serta pengaruh sosio-kultural
dalam pemerolehan bahasa dan pengajaran bahasa.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun
fokus kajian dalam makalah ini adalah mengenai sosio-budaya dan bahasa,
sosio-budaya dalam pemerolehan bahasa kedua, dan aplikasinya dalam pembelajaran
bahasa.
C.
Tujuan
Penulisan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan faktor sosial budaya dan
bahasa secara umum dan faktor sosio-budaya dalam pemerolehan bahasa kedua.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Bahasa, Masyarakat, dan Budaya
Hakikat bahasa adalah
keterampilan khusus yang kompleks, berkembang dalam diri anak-anak secara
spontan, tanpa usaha sadar atau instruksi formal, dipakai tanpa memahami logika
yang mendasarinya, secara kualitatif sama dalam diri setiap orang, dan berbeda
dari kecakapan-kecakapan lain yang sifatnya lebih umum dalam hal memproses
informasi atau berperilaku secara cerdas.[1]
Merupakan
suatu kenyataan bahwa bahasa wajar dimiliki oleh setiap manusia. Kewajaran ini
mungkin menyebabkan bahasa dianggap sebagai alat kominikasi sehari-hari yang
biasa saja, sehingga tidak perlu mendapat perhatian yang selayaknya sesuai
dengan fungsinya di dalam masyarakat. Dapatkah dipikirkan bagaimana
kebudayaan dapat diterima dari nenek moyang dan diteruskan kepada generasi penerus
tanpa menggunakan bahasa sebagai alat penghubungnya. Berdasarkan kenyataan yang
ada, bahasa merupakan hal yang vital dalam masyarakat karena di dalam melakukan
kegiatan bermasyarakat sangat tergantung dengan adanya bahasa.
Bahasa
tidak terpisahkan dari manusia / masyarakat dan selalu mengikuti dalam setiap kegiatan manusia. Mulai saat ketika
bangun pagi sampai jauh malam waktu beristirahat, manusia tetap menggunakan
bahasa, bahkan pada waktu tidur pun sering
manusia memakai bahasanya. Pada waktu manusia kelihatan tidak berbicara, pada
hakikatnya mereka masih juga memakai bahasa karena bahasa alat yang dipakainya
untuk membentuk pikiran dan perasaannya, keinginan dan perbuatan-perbuatan,
alat yang dipakainya untuk mempengaruhi dan dipengaruhi, dan bahasa adalah dasar
pertama dan paling berurat-berakar bagi manusia / masyarakat. Bahasa adalah
tanda yang jelas dari kepribadian, keluarga, bangsa, dan budi pekerti manusia.
Dari pembicaraan seseorang kita bisa menangkap tidak saja keinginannya, tetapi
juga motif keinginannya, latar belakang pendidikannya, pergaulannya, adat
istiadatnya, dan sebagainya.
Bahasa
memberikan kepada manusia di samping warisan biologisnya, juga suatu garis
kelangsungan yang lain yang menyebabkan timbulnya kebudayaan dan akumulasi ilmu
pengetahuan.[2]
Dengan demikian sebenarnya bahasa itu menandai eksistensi manusia dan
keseluruhan kegiatan anggota masyarakat yang dapat dirangkum dalam kata “kebudayaan”.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah dasar kebudayaan karena bahasa
merupakan kunci yang paling penting untuk membuka ciri-ciri suatu kelompok
masyarakat. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa,
masyarakat, dan budaya merupakan trilogi yang tidak dapat dipisahkan karena
bahasa hidup di dalam masyarakat yang memiliki budaya.
B.
Faktor
Sosial, Budaya dan Bahasa
1.
Budaya
Budaya
dapat diartikan sebagai tuntunan cara
hidup manusia, karena budaya adalah konteks yang ada dalam diri manusia bisa
berupa berpikir, merasa, dan penghubung dengan yang lain. Budaya juga bisa
didefinisikan sebagai gagasan, kebiasaan, ketrampilan seni dan piranti yang
mencirikan kelompok orang dalam sebuah periode waktu tertentu.[3]
Budaya adalah sebuah system aturan yang dinamis, eksplisit dan implisit, yang dibangun oleh kelompok-kelompok untuk menjamin kelangsungan hidup mereka.[4] Bagi setiap orang, budaya meneguhkan sebuah konteks perilaku kognitif dan efektif, sebuah model untuk eksistensi personal dan sosial.
Budaya adalah sebuah system aturan yang dinamis, eksplisit dan implisit, yang dibangun oleh kelompok-kelompok untuk menjamin kelangsungan hidup mereka.[4] Bagi setiap orang, budaya meneguhkan sebuah konteks perilaku kognitif dan efektif, sebuah model untuk eksistensi personal dan sosial.
Matsumoto
mendeskripsikan konsep-konsep penting yang melekat dalam definisi budaya,
seperti:
a.
Dinamis.
b.
Sistem aturan.
c.
Kelompok dan unit.
d.
Kelangsungan hidup.
e.
Sikap, nilai, keyakinan, norma, dan perilaku.
f.
Dianut bersama sebuah kelompok.
g.
Dijaga secara berbeda oleh tipa unit khusus.
h.
Dikomunikasikan lintas generasi
i.
Berpontensi berubah seiring dengan
berjalannya waktu.[5]
Berdasarkan dari pemaparan beberapa konsep
tentang budaya, ternyata tampak jelas bahwa budaya sebagai himpunan perilaku
dan mode persepsi yang berurat akar, dan menjadi sangat penting dalam
pembelajaran sebuah bahasa baik bahasa pertama dan kedua. Bahasa adalah bagian
dari budaya, dan budaya bagian dari bahasa, keduannya saling terkait satu sama
lain sehingga tidak ada seorang pun yang bisa memisahkan keterkaitan keduannya
tanpa menghilangkan arti penting masing-masing.
Ketika
berbicara proses keterkaitan pembelajaran bahasa khusunya bahasa kedua dengan
budaya, artinya bahwa seorang peserta didik / siswa tidak hanya sebatas belajar
bahasanya saja tetapi juga harus belajar tentang budaya yang terkait dengan
bahasa yang dipelajarinya. Hal ini bertujuan agar siswa dapat menggunakan
bahasa tersebut sesuai dengan kebudayaan yang melatar belakanginya dan
menghindari kesalahpahaman (karena salah persepsi) antara siswa dengan penutur
asli bahasa tersebut. Berikut ini contoh realitas bahasa yang menunjukkan
betapa pentingnya mempelajari bahasa dengan mengikutsertakan budaya yang
melatar belakanginya.
Budaya
Indonesia dan budaya orang barat relative berbeda. Orang barat akan menyapa
lawan bicaranya dengan ucapan ‘Good morning’, walaupun pada saat itu
menunjukkan pukul 11.00 WIB. Maka ketika orang barat bertemu dengan orang
Indonesia, orang Indonesia akan merasa ada sesuatu yang janggal pada sapaan
orang barat tersebut. Hal ini disebabkan orang Indonesia menganggap pukul 11.00
WIB sudah siang, maka seharusnya orang barat mengucapkan ‘Good afternoon’.
Contoh di atas hanya merupakan contoh kecil yang tidak akan menimbulkan masalah
yang berarti. Pada kasus-kasus bahasa yang lain, bias jadi menimbulkan masalah
besar.
Harefa
menyarankan agar siswa yang mempelajari bahasa harus mempelajari budaya sebagai
jalan untuk merasa, menginterpretasi merasakan dan berhubungan dengan siapa
saja yang ditemui.[6]
Mempelajari budaya merupakan suatu proses menciptakan arti berbagi antaranggota
kebudayaan. Proses ini hendaknya terus berlangsung sepanjang mempelajari
bahasa, hingga akhirnya meresap ke dalam pola pikir, perasaan, dan perbuatan.
Proses
pembelajaran budaya akan menciptakan suatu identitas baru yang merupakan inti
pembelajaran budaya atau yang biasa disebut penyesuaian diri. Penyesuaian diri
ini tidaklah mudah. Kadang-kadang siswa mengalami gangguan dalam penyesuaian
diri. Gangguan ini disebut culture shock.
Culture shock merupakan fenomena
psikologis yang berupa kepanikan dan krisis psikologis. Culture shock dapat berupa perasaan asing, marah, permusuhan,
keraguan, frustasi, sedih, kesendirian, keinginan untuk pulang (homesickness),
dan bias sampai sakit jasmani.
2.
Stereotipe
Budaya
Dalam pertukaran budaya, kita menyadari bahwa semua
aspek yang ada dalam budaya yang masuk akan bercampur dengan budaya kita, baik
budaya positif maupun negatif. Tentu saja pandangan seseorang tentang budaya
yang masuk itu berbeda-beda. Jika seseorang berpandangan tertutup
(close-minded) maka mereka tidak akan bisa menerima perbedaan-perbedaan dari
budaya mereka. Dan hal-hal seperti itulah yang menyebabkan sebuah ‘stereotype’
tercipta. Stereotype melukiskan tipikal dari anggota masyarakat. Contohnya, ada
anggapan bahwa orang Amerika semuanya kaya, santai, matrealistis, terlalu
ramah, dan suka minum kopi. Orang Italia umumnya berhasrat, pecinta ulung dan
suka minum anggur merah. Sedangkan orang Inggris sopan, hemat, dan suka minum
teh.[7]
Stereotip-stereotip
tersebut merupakan sudut pandang pada umumnya oleh rata-rata kelompok
masyarakat suatu negara yang pernah mengenalnya. Stereotip bisa dibentuk
melalui pergaulan. Orang bisa mengenal dan mengerti akan perbedaan budaya satu
dengan yang lain. Perbedaan tersebut bisa positif atau pun negatif. Hal yang
positif bisa diambil namun yang negatif bisa dicegah dengan jalan filterisasi.
“The stereotype may be
accurate in depicting the “typical“ member of a culture, but it is inaccurate
for describing a particular individual, because every person is unique and all
of person’s behavioral characteristics cannot be accurately predicted.”[8] Sesuai pernyataan tersebut
stereotip suatu budaya tidak bisa diidentifikasikan secara individu namun
berdasarkan kelompok masyarakat yang memiliki kebiasaan dalam bertingkah laku
atau berbahasa.
Karakteristik yang dimiliki antarbudaya memiliki stereotip tertentu yang
berbeda satu sama lain. Seperti
yang diungkapkan Brown dalam hasil penelitiannya, ”Cross-cultural research has
shown that there are indeed characteristics of culture that make one culture
different from another” (penelitian antarbudaya telah menunjukkan bahwa
terdapat karakteristik membuat suatu budaya benar-benar berbeda dari yang lain).[9] Stereotype
mungkin benar dalam menduga watak ‘umum’ anggota budaya tertentu tapi tidak
akurat untuk menggambarkan satu individu karena setiap orang memiliki
keunikannya masing-masing. Oleh karena itu stereotip atau pelabelan orang dari
budaya berbeda haruslah dihindari baik oleh pembelajar maupun guru bahasa kedua,
mereka harus memahami perbedaan budaya, menyadari bahwa setiap orang
berbeda-beda dan menghormati perbedaan tersebut.
Berdasarkan
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kehadiran stereotipe diharapkan
tidak menimbulkan dampak buruk atau negatif bagi pembelajaran bahasa, tetapi
dengan perbedaan-perbedaan budaya itu, justru guru harus peka terhadapnya
sehingga dapat memanfaatkan perbedaan-perbedaan budaya tersebut sebagai motor
penggerak pembelajaran bahasa.
3.
Sikap
Stereotip juga berpengaruh pada sikap
tingkah laku seseorang terhadap budaya atau bahasa yang dibicarakan /
dipelajari. Pengaruh tersebut bisa datangnya melalui media secara tidak
langsung baik televisi, buku, atau internet. Selain itu juga bisa didapat dari
hasil atau pengaruh dari sikap orang dewasa, orang tua, teman sebaya, dan hasil
interaksi dengan orang yang berbeda-beda, serta hasil interaksi faktor-faktor
afektif pada pengalaman manusia. Sikap inilah yang membentuk satu bagian
persepsi atas diri sendiri, orang lain, dan kebudayaan. Menurut
Nasution, sikap memengaruhi motivasi yang pada akhimya akan mempengaruhi
pemerolehan bahasa kedua atau Second Language Acquisition-SLA.[10]
Sikap
dibagi menjadi dua, yaitu sikap positif dan negative
Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh John Oller dan rekan-rekannya menunjukkan bahwa
sikap positif terhadap diri sendiri, kelompok bahasa penduduk asli, dan
kelompok bahasa target mempertinggi kecakapan atau penguasaan berbahasa seseorang dan akan berpeluang lebih
sukses dalam pembelajaran suatu bahasa. Terkadang orang yang mempelajari bahasa
kedua yang mempunyai sikap negative terhadap diri sendiri, bahasa target, dan
kebudayaan yang melatarbelakangi bahasa target akan mempersulit dalam
penguasaan serta pengetahuan tentang bahasa tersebut. Sikap negative ini dapat
diubah dengan seringnya melihat kenyataan. Salah satu contohnya dengan berjumpa
dengan orang-orang dari kebudayaan lain, sehingga akan memperoleh pengetahuan
secara langsung.
Guru
pembimbing bahasa kedua juga dapat membantu siswa untuk menekan atau mengubah
sikap negative dengan cara memberikan keterangan yang benar tentang mitos-mitos
yang ada pada budaya lain, yang tentu saja berbeda dengan budaya siswa yang
belajar bahasa kedua. Siswa yang belajar bahasa kedua diarahkan untuk menerima,
menghormati, dan menghargai kebudayaan yang berbeda-beda. Sehingga diharapakan
dengan adanya penjelasan dari guru pembimbing akan membantu siswa untuk
memiliki sikap yang positif terhadap pembelajaran bahasa kedua.
4.
Pemerolehan Budaya Kedua
Pembelajaran bahasa kedua
mempunyai hubungan dengan pembelajaran budaya kedua. Robinson Stuart dan Nokon
mempertemukan beberapa pespektif tentang pembelajaran budaya kedua, mereka
mengomentari gagasan yang menyebut bahwa
pembelajaran budaya adalah perjalanan dengan karpet merah menuju budaya lain,
yang teraih sebagai produk samping dari pelatihan bahasa adalah konsesi yang
keliru[11]. Banyak murid di kelas bahasa asing yang
mempelajari bahasa bahasa itu dengan sedikit atau tidak ada pengertian sama
sekali tentang kedalaman norma dan pola budaya dari orang-orang yang berbicara
pada bahasa itu[12].
Perspektif lain adalah gagasan bahwa sebuah kurikulum bahasa asing itu bisa
menghadirkan budaya fakta yang dikonsumsi secara kognitif, oleh murid tanpa
interaksi yang memadai dengan budaya itu[13]. Dengan meminggirkan
perspektif-perspektif tersebut karena tidak efektif dan salah pengertian, .
Robinson Stuart dan Nokon menyarankan agar para pembelajar bahasa menjalani
pembelajaran budaya sebagai “sebuah proses, yaitu sebagai sebuah cara
mengindra, menafsir, merasa, hidup di dunia… dan berhubungan dengan tempat di
mana seseorang berada dan dengan siapa
seorang berjumpa” [14]. Berdasarkan pendapat
itu, Brown menyimpulkan bahwa pembelajaran bahasa adalah sebuah proses
penciptaan makna bersama perwakilan-perwakilan budaya. Proses ini harus
dijalani, proses pembelajaran bahasa yang berlangsung selama bertahun-tahun
pembelajaran bahasa yang berlangsung selama bertahun-tahun pembelajaran bahasa,
dan menembus sangat dalam ke pola pemikiran, perasaan, dan tindakan seseorang[15]. Dalam proses ini akan menimbulkan akulturasi
budaya.
Budaya adalah bagian yang
tertanam sangat dalam dari keberadaan kita sebagai manusia, tetapi bahasa
–cara-cara berkomunikasi di antara anggota-anggota seluruh budaya- adalah ekspresi
yang paling terlihat dan tersedia dari budaya itu. Maka, cara pandang,
identiras diri, dan sistem berpikir, bertindak, merasa, dan berkomunikasi bisa
terusik oleh kontak dengan budaya lain[16].
Kadang gangguan tersebut
sedemikian berat, sehingga seseorang mengalami gegar budaya. Gegar budaya
merujuk kepada fenomena yang berentang dari ketersinggungan ringan sampai panic
dan krisis psikologis yang dalam[17]. Gegar budaya
diasosiasikan dengan perasaan keterasingan, marah, bermusuhan, bimbang,
frustasi, gundah, sedih, kesepian, kangen rumah, dan bahkan sakit fisik.
Orang-orang yang mengalami gegar budaya melihat dunia baru dengan perasaan
sengit dan bubah-ubah dari iba kepada
diri sendiri dan marah kepada orang lain yang tak memahami mereka. Dari kasus
yang didapatkan dalam penelitian mengenai orang yang mengalami gegar budaya,
dapat member pandangan baru bahwa orang-orang yang berada dalam suatu budaya
kedua awalnya mungkin nyaman dan terhibur dengan lingkungan yang eksotis.
Sepanjang mereka bisa secara perceptual menyaring lingkungan sekitar mereka dan
menginternalisasi lingkungan itu dalam pandangan mereka sendiri, mereka merasa
nyaman. Begitu kebaruan ini luntur dan kontra diksi yang bertumpuk mengganggu
pikiran dan perasaan, mereka menjadi terdis orientasi[18].
Lazim menggambarkan
menggambarkan gegar budaya sebagai yang kedua dari empat tahap beruntun
pemerolehan budaya[19]:
a.
Tahap 1 adalah kegembiraan dan euphoria
karena kebaruan lingkungan sekitar
b.
Tahap 2 –gegar budaya- muncul ketika
merasakan makin bayak gangguan masuk dar perbedaan budaya ke dalam bayangan
mereka akan diri sendiri dan rasa aman. Dalam tahap ini orang-orang
mengandalkan dan mencari dukungan dari orang-orang sebangsa di budaya kedua,
menghibur diri dengan mengeluh tentang adat dan kondisi local, berusaha lara
dari kesengsaraan ini.
c.
Tahap 3 adalah salah satu dari pemulihan
bertahap dan pada awalnya tentative dan terombang- ambing. Tahap ini di cirikan
oleh apa yang disebutkan Larson dan Smalley “stress budaya”: beberapa masalah
akulturasi terpecahkan sementara masalah lain berlanjut untuk beberapa waktu.
Tetapi ada kemajuan umum, lambat tapi pasti, ketika orang mulai menerima
perbedaan-perbedaan di sekitar mereka dalam berpikir dan merasakan, pelan-pelan
mereka lebih berempati pada orang lain di budaya kedua[20].
d.
Tahap 4 mewakili pemulihanhampir penuh dan
sepenuhnya , baik asimilasi maupun adaptasi, penerimaan budaya dan kepercayaan
diri baru dalam orang “baru” yang sudah berkembang dalam budaya ini.
Karya Wallace Lambert
tentang sikap-sikap dalam pembelajaran bahasatentang sikap-sikap dalam
pembelajaran bahasa kedua sering merujuk kepada konsep Durkheim tentang
anomi-perasaan ketidak pastian sosial atau ketidak puasan- sebagai sebuah aspek
signifikan hubungan antara pembelajaran bahasa dan sikap terhadap budaya asing[21]. Saat orang mulai
kehilangan ikatan dengan budaya asli mereka dan beradaptasi dengan budaya
kedua, mereka mengalami perasaan gusar atau menyesal, bercampur dengan
harap-harap cemas memasuki sebuah kelompok baru. Anomi mungkin bisa digambarkan
sebagai tahap ketiga akulturasi, perasaan tak berumah, ketika orang tak merasa
lagi tak punya ikatankuat dengan budaya aslinya dan belum sepenuhnya
beradaptasi dengan budaya kedua.
Penelitain Lambert mendukung
pandangan bahwa dosis terkuat anomi terjadi ketika secara linguistik seseorang
mulai “menguasai” bahasa asing. Dalam studi Lambert, ketika seorang Kanada
berbahasa inggris mulai menjadi begitu terampil dalam bahasa Prancis sehingga
mulai “berpikir” dalam bahasa Prancis bahkan bermimp[I dalam bahasa Prancis,
perasaan anomi tercatat tinggi. Bagi subjek Lambert interraksi antara anomi dan
keterampilan yang meningkat dalam bahasa kadang menggiring orang untuk berbalik
atau “mundur” ke bahasa Inggris –untuk mencari situasi-situasi diman mereka
bisa bicaa bahasa Inggris. Dorongan semacam ini bertimbal-balik dengan
ketentatifan tahap ketiga akulturasi –kembali sesaat ke mekanisme pelarian yang diperoleh dalam
tahap awal gegar budaya. Baru ketika orang itu masuk penuh ke tahap ketiga,
perasaan anomi pembalajar “sudah melompati rintangan” dalam transisi menuju
adaptasi[22].
Gegar budaya akulturasi
tidak harus digambarkan sebagai sebuah titik ketika para pembelajar adalah
korban tak sengaja dan tanpa daya dari keadaan. Peter Adler, mencatat bahwa
gegar budaya, sekalipun pasti mempunyai manifestasi kritis, juga bisa dilihat
lebih positif sebagai sebuah pengalaman mendalam pembelajaran lintas budaya[23]. Ia merupakan satu
rangkaian situasi atau lingkungan yang melibatkan komunikasi antar budaya di mana seseorang, sebagai hasil pengalaman, menjadi sadar akan
pertumbuhan, pembelajaran, dan perubahannya sendiri. Sebagai hasil gegar
budaya, orang tersbut memperoleh perspektif baru atas dirinya sendiri, dan
menjadi paham bahwa identitasnya sendiri penting untuknya. Selain itu,
pengalaman lintas budaya berlangsung ketika seseorang berhadapan dengan sebuah
budaya yang berbeda dan sebagai hasilnya:
a.
Memeriksa sampai diman ia terpengaruh oleh
budayanya sendiri,.
b.
Memahami nilai, sikap, dan pembawaan orang
lain yang bersumber dari budaya.
5.
Jarak Sosial
Konsep
jarak sosial muncul sebagai sebuah pengertian afektif untuk menjelaskan tempat
pembelajaran budaya dalam pembelajaran bahasa kedua. Jarak sosial merujuk
kepada kedekatan kognitif dan afektif dari dua budaya yang bertemu dalam diri
sesorang[24].
Jarak jelas dipakai sebagai metafora untuk menunjukkan ketidakmiripan antara
kedua budaya. Pada tataran yang superficial orang Amerika Serikat mirip secara
budaya dengan orang Kanada, semantara penduduk asli AS dan China, jika jika dibandingkan,
relative tidak serupa. Kita bisa bilang bahwa jarak sosial kasus yang
belakangan melampaui yang sebelumnya.
John
Schumann menggambarkan jarak sosial terdiri atas parameter-parameter berikut[25]:
a.
Dominasi.
Dalam kaitannya dengan BS (bahasa sasaran), apakah kelompok B2 (pebelajar bahasa kedua) secara politik,
budaya, teknis, atau ekonomi, dominan, tak dominan, atau bawahan?
b.
Integrasi.
Apakah pola integrasi B2 berupa asimilasi, akulturasi, atau preservasi? Seperti
apa derajat penutupan diri kelompok B2 –terpisahkan identitasnya dari kelompok
lian di sekitarnya?
c.
Kekohesifan.
Apakah kelompok B2 kohesif? Seberapa besar ukuran kelompok B2?
d.
Keserasian
apakah budaya dari dua kelompok itu serasi –sistem nilai dan keyakinan mereka
mirip? Seperti apa sikap timbale balik kedua kelompok?
e.
Kepermanenan.
Berapa lama kelompok B2 berniat tinggal di wilayah bahasa sasaran?
Schumann
mengguanakan factor-faktor di atas untuk menggambarkan secara hipotesis
pembelajaran bahasa yang baik dan buruk, dan mengilustrasikan tiap situasi dengan dua konteks lintas budaya yang aktual[26].
Dua hipotesis situasi pembelajaran bahaasa yang “buruk” darinya:
a. Kelompok BS melihat kelompok B2
sebagai dominan dan kelompok B2 melihat dirinya dengan cara yang sama. Kedua
kelompok menginginkan preservasi dan penutupan diri tinggi bagi kelompok B2,
dan kelompok B2 kohesif sekaligus besar, dua budaya tak serasi, dua kelompok
saling bersikap negative, dan kelompok B2 berniat tinggal di wilayah BS hanya
untuk waktu singkat.
b. Situasi buruk kedua memiliki semua
karakteristik yang pertama kecuali dalam kasus ini, kelompok B2 memandang
dirinya bawahan dan dianggap bawahan oleh kelompok BS.
Situasi
pertama, menurut Schumann, adalah tipikal orang Amerika yang tinggal Riyadh,
Arab Saudi. Situasi kedua adalah gambaran IndianNavajo yang tinggal di wilayah
barat Amerika Serikat.
Situasi
pembelajaan yang “baik”, menurut model Svhumann adalah situasi di mana kelompok
B2 tidak dominan dalam hubungannya dengan kelompok BS. Kedua kelompok
menginginkan asimilasi (atau setidaknya akulturasi) uuntuk kelompook B2,
penutupan diri yang rendah adalah cita-cita kedua kelompok, kedua budaya
serasi, kelompok B2 kecil dan tidak kohesif, kedua kelompok salaing memiliki
sikap positif, dan kelompok B2 berniat tinggal di wilayah BS dalam waktu yang
lama[27].
Hipotesis
Schumann addalah makin besar jarak sosial antara dua budaya, makain besar
kesulitan yang akan ditemui pembelajar
saat belajar bahasa kedua, dan sebaliknya, makainkecil jarak sosial
(solidaritas sosial yang lebih besar antara dua budaya), makin baik situasi
pembelajaran bahasanya[28].
Salah
satu kessulitan dalam hipotesis Schumann tentang jarak sosial adalah pengukuran
jarak sosial actual. Bagaimana orang dapat bisa menentukan derajat jarak
sosial? Dengan cara apa? Dan bagaimancara-cara itu dikuantifikasikan untuk
perbandingan jarak relative? Sampai hari
ini pengertian ini masih tetap merupakan fenomena yang didefenisikan secara
agak subjektif yang, seperti empati, harga diri, dan banyak pengertian
psikologis lain, sulit didefenisikan walaupun orang bisa secara intuitif
menangkap pengertian yang dimaksud.
William
Acton mengajukan solusi untuk dilema tersebut. Ia merancang ukuran jarak sosial
yang dipahami. Pendapatnya adalah bahwa jarak actual antara budaya-budaya tidak
secara khusus relevan mengingat apa yang dilihat pembelajarlah yang membentuk
realitas mereka sendiri. Kita sudah mencatat bahwa manusia mencerap lingkungan
budaya melalui saringan dan tabir pandangan dunia mereka sendiri dan kemudian
bertindakdi atas persepsi itu seberapa pun biasnya. Menurut Acton, ketika
pembelajar menemui budaya baru, proses akulturasi mereka adalah sebuah factor
bagaimana mereka melihat budaya mereka sendiri dalam hubungannya dengan budaya
bahasa sasaran, dan sebaliknya[29].
Dengan
meminta merespon tiga dimensi jarak, Acton merancang pengkuran jarak sosial
yang dipahami –Kuesioner Perbedaan Nyata dalam Sikap atau Profesed Difference In Attitude
Questionnare (PDAQ)- yang memperlihatkan karakter pembelajaran yang
“baik” atau berhasil (sebagaimana yang
diukur dengan tes kecakapan standar) dengan akurasi yang mengagumkan[30].
Pada dasarnya PDAQ meminta pembelajar mengkur perbedaan sikap belajar mereka
terhadap berbagai konsep pada tiga dimensi:
a. Jarak (perbedaan) antara mereka
sendiri dan orang sebangsa secara umum;
b. Jarak antara mereka sendiri dan
anggota budaya secara umum;
c. Jarak antara orang yang sebangsa
mereka dan anggota budaya sasaran.
Dengan
teknik differensial semantic, skor tiga jarak itu dihitung untuk tiap-tiap
dimensi.
Acton
mendapati bahwa dalam kasus pembelajar Bahasa Inggris yang sudah berada di
Amerika Serikat selama empat bulan, ada rasio optimal pada jarak sosial yang
dipahami (di antara tiga skor) yang menunjukkan pembelajar bahasa yang “baik”.
Jika pembelajar melihat mereka sendiri terlallu dekat atau terlalu berjarak
dengan dengan budaya sasaran ataupun budaya asli, mereka masuk ke aktegori
pembelajr bahasa yang “buruk” sebagaimana diukur dengan tes kecakapan
standar. Impllikasinya adalah bahwa
pembelajar bahasa yang berhasil melihat diri mereka menjaga jarak antara diri
mereka dan kedua budaya. Tidak mengejutkan bahwa PDAQ Acton tak memprediksi keberhasilan
bahasa sebab kita tahu tidak ada instrumen memadai untuk memprediksi
keberhasilan bahasa atau menaksir bakat bahasa. Namun, PDAQ betul-betul
menjabarkan secara empiris, berkenaan dengan yang bisa dihitung, seluruh
hubungan antara jarak sosial dan pemerolehan bahasa kedua[31].
Teori
Acton mengenai jarak sosial optimal yang bisa dipahami mendukung pendapat
Lambert bahwa penguasaan bahasa asing sejalan dengan perasaan anomi atau tak
berumah, ketika pembelajar sudah bergerak menjauhi budaya asli mereka tetapi
belum sepenuhnya berasimilasi atau menyesuaiaakan diri dengan budaya sasaran[32].
Lebih penting, model Acton mendekatkan kita pada sebuah pemahaman gegar budaya
dan hubungan akulturasi dengan pembelajaran bahasa dengan memasok sebua puzzle.
Jika kita menggabungkan penelitian Acton dan Lambert, sebuah hipotesis
yang menarik muncul –yaitu, bahwa penguasaan atau kefasihan dalam bahasa kedua
(di dalam budaya kedua) terjadi sekitar awal tahap ketiga –atau
pemulihan-akulturasi. Implikasi hipotesis semacam itu adalah bahwa penguasaan
mungkin tidak terjadi secara efektif sebelum tahap itu, atau kemungkinan besar
bahwa, si pembelajar tak akan pernah berhasil dalam penguasaan bahasa itu jika
mereka melaju melampaui awal tahap ke 3 tanpa menuntaskan penguasaan linguistik
itu. Tahap 3 mungkin tak hanya menghadirkan jarak optimal tetapi juga tegangan
kognitif dan afektif optimal untuk menghasilkan tekanan yang dibutuhkan guna
memperoleh bahasa, tekanan yang tak membuat kewalahan (seperti gegar budaya
tipikal dari tahap 2) ataupun terlalu lemah (yang akan ditemui di tahap 4,
adaptasi/asimilasi). Penguasaan bahasa tahap 3, pada gilirannya, akan muncul
sebagai instrumen untuk melaju secara psikologis melalui tahap 3 dan akhirnya
ke tahap 4.
Menurut
model jarak optimal (yang dikembangkan oleh Brown) dari perolehan bahasa kedua
ini, seorang dewasa yang gagal menguasai bahasa kedua di sebuah budaya kedua mungkin
karena berbagai alasan telah gagal untuk menyelaraskan perkembangan linguitik
dan budaya[33].
Orang dewasa yang sudah mendapatkan cara-cara nonlinguitik untuk mengatasin
masalah di budaya asli akan melewati tahap 3 dan masuk ke tahap 4 dengan
terlalu banyak bentuk bahasa yang terformilkan, tak pernah mencapai
penguasaan. Mereka tidak punya alasan
meraih npenguasaan sebab mereka telah belajar mengatasi masalah tanpa
pengetahuan bahasa yang canggih. Mereka mungkin sudah memperoleh fungsi-fungsi
bahasa kedua dalam jumlah memadai tanpa memperoleh bentuk yang yang tepat. Apa
yang disarankan model jarak optimal ini mungkin bisa dilihat sebagai hipotesis
periode kritis berdsarkan budaya, yakni sebuah periode kritis yang independen
terhadap usia pembelajar. Meskipun model jarak optimal lebih tepat diterapkan
kepada pembelajar dewasa, ia juga bisa punya relevansi untuk anak-anak,
sekalipun tidak sekritis untuk orang dewasa. Karena mereka belum bertahun-tahun
membangun pandangan dunia yang terkait budaya (atau pandangan tentang mereka
sendiri), anak-anak memiliki saingan perspektif lebih sedikit untuk
menyesuaikan diri lagi sehingga bisa melampaui tahap-tahap akulturasi lebih
cepat. Namun kurang lebih mereka bergerak melewati tahap-tahap yang sama, dan
masuk akal membuat hipotesis bahwa tahapan pemulihan mereka juga merupakan
periode kritis pemerolehan.
Sejumlah
bukti penelitian telah dikumpulkan untuk mendukung gagasan tentang jarak
optimal. Day mendapat semacam bukti pengamatan mengenai lompatan kritis dalam
kelancaran bahsa dan anomi budaya yang terjadi secara bersamaan. Dan Svanes
mendapati bahwa mahasiswa asing yang belajar di Norwegia sepertinya meraih
kemahiran yang lebih tinggi jika mereka mempunyai “sikap berimbang dan kritis
kepada orang-orang asli Norwegia“ sebagai lawan dari penghormatan tak kritis
kepada semua aspek budaya sasaran. Testimony informal banyaak guru ESL di AS
juga membenarkan kemungkinan terjadinya tegangan motivasional yang dihaasilkan
melalui kebutuhan “bergerak seiring” dalam proses adaptasi yang kadang panjang
dan melelahkan di tanah air baru[34].
Para guru dalam konteks yang serupa bisa memetik manfaat dari penilaian saksama
tahap budaya terkini si pembelajar dengan perhatian yang pas bagi periode
optimal yang memungkinkan bagi penguasaan bahasa.
6.
Mengajarkan Kompetensi Antarbudaya
Sekalipun
kebanyakan pembelajar betul-betul dapat menemukan manfaat dalam pengalaman
pembelajaran atau tinggal di wilayah lintas budaya, sejumlah orang mengalami
kendala psikologis dan efek menghambat lainnya dari budaya kedua. Stevick
mewanti-wanti bahwa para pembelajar bisa merasakan keterasingan dalam proses
pembelajaran bahasa kedua, terasing dari orang-orang di budaya kapung halaman
mereka, budaya sasaran, dan diri merka sendiri[35].
Saat mengajar sebuah budaya asing, kita perlu peka pada kerapuhan murid dengan
menggunakan teknik yang meningkatkan pemahaman budaya.
Banyak
studi penelitian terbaru telah memperlihatkan efek positif penyertaan kesadaran
budaya di kelas-kelas bahasa[36]. Sauvignon dan Sysoyev mempromosikan
kompetensi sosial budaya pada pembelajar bahasa Inggris mereka di Rusia dengan
memperkenalkan strategi-strategi sosial budaya sepertimengawali kontak,
mengantisipasi kesalahanpahaman budaya, dan menggunakan diplomasi dalam
diskusi. Wright mendapati bahwa mengajar bahasa Jerman sebagai bahasa asing,
dengan menggunakan tugas berorientasi proses, bnisa memajukan kemampuan
adaptasi budaya. Abrams sukses menggunakan portofolio budaya berdasarkan
internet untuk mempromosikan kesadaran budaya dan melucuti stereotype budaya.
Wawancara-wawancara dengan penutur asli bahasa sasaran membantu pembelajar,
dalam studi Bateman, untuk mengembangkan sikap lebih positif kepada budaya
sasaran. Choi menggunakan drama sebagai “gerbang” menuju kesadaran antarbudaya
dan pemahaman bagi mahasiswa Koreanya yang belajar bahasa Inggris sebagai
bahasa kedua.
Para
guru yang menerapkan pembelajaran budaya dengan model eksperimental atau proses
di ruang kelas mampu membantu para murid mengubah pengalaman semacam itu untuk
membantu para murid mengubah pengalaman semacam itu untuk meningkatkan
kesadaran budaya dan kepahaman diri[37].
Donahue dan Parsons memeriksa penggunaan role
play di kelas ESL sebagai cara membantu murid mengatasi “kelelahan” budaya; role
play mendukung proses dialog lintas budaya sembari menyediakan kesempatan
untuk komunikasi lisan. Sejumlah materi dan teknik lain –bacaan, film,
permainan stimulasi, assimilator budaya, “kapsul budaya”, dan “kulturgram”-
tersedia bagi guru bahasa untuk membantu mereka dalam proses akulturasi di
ruang kelas.
Sejumlah
cara untuk untuk merumuskan berbagai ketidakcocokan dalam standar norma
digambarkan dalam karya Geert Hofstedeyang menggunakan empat kategori
konseptual untuk mempelajari norma-norma budaya lima puluh Negara berbeda[38].
Berikut penjabaran kategori masing-masing:
a.
Individulisme
adalah karakteristik sebuah budaya yang merupakan lawan dari kolektivisme
(dipakai di sini dalam pengertian antropologis, bukan politis). Budaya
individualism mengasumsikan bahwa setiap orang terutama menjaga kepentingannya
sendiri dan kepentingan keluarga intinya (suami,istri, anak-anak). Budaya
kolektivitas mengasumsikan bahwa setiap orang, masuk ke salah satu atau lebih
“kelompok dalam” (apakah perkerabatan, klan, atau organisasi) melindingi kepentingan
anggota-anggotanya, tetapi mengharap loyalitas permanen sebagai imbalannya.
Masyarakat kolektifitas sangat menyatu: masyarakat individualis menyatu secara
longgar.
b.
Jarak
kekuasaan adalah sebuah karakteristik sebuah budaya yang mendefenisikan sampai sejauh
mana orang-orang yang kurang berdaya dalam sebuah masyarakat menerima
ketidaksetaraan dalam kekuasaan dan menganggapnya normal. Ketidaksetaraan ada
di dalam setiap budaya, tetapi derajat bisa ditoleransinya bervariasi antara
satu budaya dan lainnya. Menurut Hofstede: semua masyarakat tak setara, tetapi
beberapa lebih tak setara disbanding yang lannya.
c.
Penghindaran
ketidakpastian (uncertainty avoidance)
adalah karakteristik sebuah budaya yang mendefenisikan sampai sejauh mana
orang-orang di dalam sebuah budaya dibuat gugup oleh situasi-situasi yang
mereka lihat sebagai tak terstruktur, tak jelas, tak bisa diduga
–situasi-situasi yang yang kemudian mereka coba hindari dengan menegakkan
aturan-aturan perilaku dan keyakinan mutlak. Budaya-budaya dengan penghindaran
kuat terhadap ketidakpastian adalah budaya yang aktif, agresif, emosional,
impulsive, mencari keamanan, dan tidak toleran; budaya-budaya dengan
penghindaran lemah terhadap ketidak pastian adalah adalah budaya yang
kontemplatif, kurang agresif, tak emosional, santai, menerima resiko personal,
dan relative toleran.
d.
Maskulinitas
adalah karakteristik sebuah budaya yang merupakan lawan dari femininitas.
Keduanya berbeda dalam peran-peran sosiaal terkait dengan fakta biologis jenis
kelamin, dan dalam hal-hal khusus peran sosial yang disandangkan kepada
laki-laki. Budaya yang dilabeli “maskulin” berupaya untuk membuat perbedaan
maksimal antara apa yang seharusnya dilakukan oleh laki-laki dan o9leh
perempuan. Mereka mengahrapkan laki-laki bernyali, ambisius, dan gigih
mendapatkan sukses materi dan menghormati apapun yang besar, kuat, dan cepat.
Mereka mengharapkan perempuan meladeni dan memperhatikan kualitas non materi
kehidupan, anak-anak, dan kaum lemah. Budaya-budaya feminin, di sisi lain,
merumuskan secara relatif tumpang tindih peran sosial untuk kedua jenis
kelamin, di mana laki-laki tak perlu ambisius atau kompetitif, tetapi boleh
mengejar kualitas hidup yang berbeda selain sukses materi; laki-laki boleh
menghormati apa pun yang kecil, lemah, dan lambat. Maka, di budaya maskulin
nilai-nilai politis/organisatoris menekankan sukses materi dan kebernyalian;
dalam budaya feminin, mereka menekankan jenis lain kualitas hidup, hubungan
antar personal, dan perhatian kepada yang lemah.
BAB
III
KESIMPULAN
Bahasa
sebagai alat komunikasi berkaitan erat dengan budaya. Jika dikaitkan dengan
masyarakat maka bahasa berfungsi sebagai bahasa nasional. Pembelajaran bahasa
kedua melibatkan pemerolehan identitas kedua dalam pembelajaran budaya
(akulturasi).
Faktor-faktor sosiokultural berkaitan erat dalam
proses pembelajaran bahasa kedua dan bahasa asing. Dengan mengenali hubungan
yang kompleks tersebut guru bahasa dapat merancang perlakuan apa yang oocok
terhadap murid-muridnya di kelas, baik dari segi pendekatan maupun teknik. Guru
juga dapat memberi pemahaman pada murid-murid tentang pentingnya memahami
budaya kelompok pemakai bahasa sasaran jika mereka ingin menguasai bahasa
tersebut dengan baik dan mencapai tingkat mahir.
DAFTAR
PUSTAKA
Brown, H Douglas. 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. Jakarta: Pearson
Education, Inc, Kedubes Amerika Serikat.
Nasution. 2009. Berbagai Pendidikan dalam
Proses Belajar Mengajar, Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Harefa, Andrias. 2003. Mengasah Paradigma Pembelajar.
(Cetakan ke-2). Yogyakarta: Gradien.
Brown,
H. Douglas. 2000. Principles
Language Learning And Teaching.
USA: San Francisco State University.
Metodologi
Pengajaran Bahasa Dan Sastra
Faktor-Faktor Sosiokultural
Disusun Oleh :
Franscy (7316130261)
Magister Pendidikan Bahasa
Program Pascasarjana
Universitas Negeri Jakarta
[1] H.Douglas Brown. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. (Jakarta: Pearson
Education, Inc, Kedubes Amerika Serikat, 2007), hlm.6.
[2] Nasution. Berbagai Pendidikan dalam
Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), hlm. 5.
[4] Ibid.,
hlm.207.
[5] Matsumoto dalam H.Douglas Brown. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa.
(Jakarta: Pearson Education, Inc, Kedubes Amerika Serikat, 2007), hlm.207.
[6] Andrias Harefa. 2003. Mengasah Paradigma Pembelajar.
Cetakan ke-2 (Yogyakarta: Gradien, 2003), hlm. 45.
[7] H.Douglas Brown. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. (Jakarta: Pearson
Education, Inc, Kedubes Amerika Serikat, 2007), hlm.209.
[8] H.Douglas Brown. Principle Language Learning And Teaching. (USA: San Francisco State
University, 2000), hlm. 179.
[10] Nasution. Berbagai Pendidikan dalam
Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), hlm. 7.
[11] H.
Douglas Brown, Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa edisi Bahasa
Indonesia (Jakarta: Kedutaan Besar AS di Jakarta) hlm. 212
[12] ibid
[13] ibid
[14] Ibid
hlm 213
[15] ibid
[16] ibid
[17] ibid
[18] Ibid
klm 214
[19] ibid
[20] ibid
[21] Ibid
215
[22] ibid
[23] ibid
[24] ibid
[25] Ibid
hlm 216
[26] ibid
[27] ibid
[28] Ibid
hlm 217
[29] ibid
[30] ibid
[31] Ibid
hlm 218
[32] ibid
[33] ibid
[34] ibid
[35] ibid
[36] ibid
[37] Ibid
hlm 220
[38] Ibid
hlm 221
Tidak ada komentar:
Posting Komentar