Kamis, 29 Mei 2014

Metodologi Pengajaran Bahasa Dan Sastra : Faktor-Faktor Sosiokultural

BAB I
PENDALUHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah
Fungsi Bahasa yang utama adalah sebagai alat komunikasi. Jika fungsi itu dikaitkan dengan budaya maka bahasa berfungsi sebagai sarana perkembangan kebudayaan, jalur penerus kebudayaan, dan inventaris ciri-ciri kebudayaan. Jika dikaitkan dengan kehidupan sosial, maka bahasa berfungsi sebagai bahasa nasional, yaitu lambang kebanggaan bangsa, lambang identitas bangsa, alat pemersatu, dan sebagai alat penghubung antardaerah dan antarbudaya. Sebagai bahasa kelompok, bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi dan interaksi sehari-hari dalam kelompok itu. Dari sisi perorangan, bahasa memiliki fungsi instrumental, menyuruh, kepribadian, pemecahan masalah, mempengaruhi dan khayalan.
Didalam pemerolehan maupun menguasai bahasa, seseorang akan dipengaruhi oleh empat bagian utama, yang meliputi lingkup sosio-kultural, perbedaan individual, konteks pemerolehan bahasa, dan out-comes belajar bahasa . Lingkup sosio-kultural sangat mempengaruhi variabel kognitif dan afektif pembelajaran bahasa. Variabel afektif mencakup sikap, motivasi, kecemasan bahasa, dan kepercayaan diri. Variabel kognitif mencakup intelegensi, bakat bahasa, dan strategi belajar bahasa. Sehingga faktor sosio-kultural atau budaya memiliki hubungan yang erat dengan bahasa. Setiap kali kita mengajarkan satu bahasa, kita juga mengajarkan satu sistem yang kompleks tentang kebiasaan budaya, nilai-nilai, cara berpikir, merasa, dan bertindak. Faktor-faktor sosio-kultural juga berkaitan erat dalam proses pembelajaran bahasa kedua.
Pandangan yang mampu mengakomodasi sociocultural-revolution dalam teori belajar dan pembelajaran dikemukakan oleh Lev Vigotsky. Ia mengatakan bahwa jalan pikiran seseorang harus dimengerti dari latar sosial-budaya dan sejarahnya. Artinya, untuk memahami pikiran seseorang bukan dengan cara menelusuri apa yang ada dibalik otaknya dan pada kedalaman jiwanya, melainkan dari asal-usul tindakan sadarnya, dari interaksi sosial yang dilatari sejarah hidupnya. Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka makalah ini akan memaparkan faktor serta pengaruh sosio-kultural dalam pemerolehan bahasa dan pengajaran bahasa.  

B.   Rumusan Masalah
Adapun fokus kajian dalam makalah ini adalah mengenai sosio-budaya dan bahasa, sosio-budaya dalam pemerolehan bahasa kedua, dan aplikasinya dalam pembelajaran bahasa.

C.   Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan faktor sosial budaya dan bahasa secara umum dan faktor sosio-budaya dalam pemerolehan bahasa kedua.

BAB II
PEMBAHASAN


A.   Bahasa, Masyarakat, dan Budaya
            Hakikat bahasa adalah keterampilan khusus yang kompleks, berkembang dalam diri anak-anak secara spontan, tanpa usaha sadar atau instruksi formal, dipakai tanpa memahami logika yang mendasarinya, secara kualitatif sama dalam diri setiap orang, dan berbeda dari kecakapan-kecakapan lain yang sifatnya lebih umum dalam hal memproses informasi atau berperilaku secara cerdas.[1]
            Merupakan suatu kenyataan bahwa bahasa wajar dimiliki oleh setiap manusia. Kewajaran ini mungkin menyebabkan bahasa dianggap sebagai alat kominikasi sehari-hari yang biasa saja, sehingga tidak perlu mendapat perhatian yang selayaknya sesuai dengan fungsinya di dalam masyarakat. Dapatkah dipikirkan bagaimana kebudayaan dapat diterima dari nenek moyang dan diteruskan kepada generasi penerus tanpa menggunakan bahasa sebagai alat penghubungnya. Berdasarkan kenyataan yang ada, bahasa merupakan hal yang vital dalam masyarakat karena di dalam melakukan kegiatan bermasyarakat sangat tergantung dengan adanya bahasa.
            Bahasa tidak terpisahkan dari manusia / masyarakat dan selalu mengikuti  dalam setiap kegiatan manusia. Mulai saat ketika bangun pagi sampai jauh malam waktu beristirahat, manusia tetap menggunakan bahasa, bahkan pada waktu tidur pun  sering manusia memakai bahasanya. Pada waktu manusia kelihatan tidak berbicara, pada hakikatnya mereka masih juga memakai bahasa karena bahasa alat yang dipakainya untuk membentuk pikiran dan perasaannya, keinginan dan perbuatan-perbuatan, alat yang dipakainya untuk mempengaruhi dan dipengaruhi, dan bahasa adalah dasar pertama dan paling berurat-berakar bagi manusia / masyarakat. Bahasa adalah tanda yang jelas dari kepribadian, keluarga, bangsa, dan budi pekerti manusia. Dari pembicaraan seseorang kita bisa menangkap tidak saja keinginannya, tetapi juga motif keinginannya, latar belakang pendidikannya, pergaulannya, adat istiadatnya, dan sebagainya.
            Bahasa memberikan kepada manusia di samping warisan biologisnya, juga suatu garis kelangsungan yang lain yang menyebabkan timbulnya kebudayaan dan akumulasi ilmu pengetahuan.[2] Dengan demikian sebenarnya bahasa itu menandai eksistensi manusia dan keseluruhan kegiatan anggota masyarakat yang dapat dirangkum dalam kata “kebudayaan”. Jadi, dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah dasar kebudayaan karena bahasa merupakan kunci yang paling penting untuk membuka ciri-ciri suatu kelompok masyarakat. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa, masyarakat, dan budaya merupakan trilogi yang tidak dapat dipisahkan karena bahasa hidup di dalam masyarakat yang memiliki budaya.
B.   Faktor Sosial, Budaya dan Bahasa
1.    Budaya
Budaya dapat  diartikan sebagai tuntunan cara hidup manusia, karena budaya adalah konteks yang ada dalam diri manusia bisa berupa berpikir, merasa, dan penghubung dengan yang lain. Budaya juga bisa didefinisikan sebagai gagasan, kebiasaan, ketrampilan seni dan piranti yang mencirikan kelompok orang dalam sebuah periode waktu tertentu.[3]
Budaya adalah sebuah system aturan yang dinamis, eksplisit dan implisit, yang dibangun oleh kelompok-kelompok untuk menjamin kelangsungan hidup mereka.[4] Bagi setiap orang, budaya meneguhkan sebuah konteks perilaku kognitif dan efektif, sebuah model untuk eksistensi personal dan sosial.
Matsumoto mendeskripsikan konsep-konsep penting yang melekat dalam definisi budaya, seperti:
a.    Dinamis.
b.    Sistem aturan.
c.    Kelompok dan unit.
d.    Kelangsungan hidup.
e.    Sikap, nilai, keyakinan, norma, dan perilaku.
f.     Dianut bersama sebuah kelompok.
g.    Dijaga secara berbeda oleh tipa unit khusus.
h.    Dikomunikasikan lintas generasi
i.      Berpontensi berubah seiring dengan berjalannya waktu.[5]
Berdasarkan dari pemaparan beberapa konsep tentang budaya, ternyata tampak jelas bahwa budaya sebagai himpunan perilaku dan mode persepsi yang berurat akar, dan menjadi sangat penting dalam pembelajaran sebuah bahasa baik bahasa pertama dan kedua. Bahasa adalah bagian dari budaya, dan budaya bagian dari bahasa, keduannya saling terkait satu sama lain sehingga tidak ada seorang pun yang bisa memisahkan keterkaitan keduannya tanpa menghilangkan arti penting masing-masing.
Ketika berbicara proses keterkaitan pembelajaran bahasa khusunya bahasa kedua dengan budaya, artinya bahwa seorang peserta didik / siswa tidak hanya sebatas belajar bahasanya saja tetapi juga harus belajar tentang budaya yang terkait dengan bahasa yang dipelajarinya. Hal ini bertujuan agar siswa dapat menggunakan bahasa tersebut sesuai dengan kebudayaan yang melatar belakanginya dan menghindari kesalahpahaman (karena salah persepsi) antara siswa dengan penutur asli bahasa tersebut. Berikut ini contoh realitas bahasa yang menunjukkan betapa pentingnya mempelajari bahasa dengan mengikutsertakan budaya yang melatar belakanginya.
Budaya Indonesia dan budaya orang barat relative berbeda. Orang barat akan menyapa lawan bicaranya dengan ucapan ‘Good morning’, walaupun pada saat itu menunjukkan pukul 11.00 WIB. Maka ketika orang barat bertemu dengan orang Indonesia, orang Indonesia akan merasa ada sesuatu yang janggal pada sapaan orang barat tersebut. Hal ini disebabkan orang Indonesia menganggap pukul 11.00 WIB sudah siang, maka seharusnya orang barat mengucapkan ‘Good afternoon’. Contoh di atas hanya merupakan contoh kecil yang tidak akan menimbulkan masalah yang berarti. Pada kasus-kasus bahasa yang lain, bias jadi menimbulkan masalah besar.
Harefa menyarankan agar siswa yang mempelajari bahasa harus mempelajari budaya sebagai jalan untuk merasa, menginterpretasi merasakan dan berhubungan dengan siapa saja yang ditemui.[6] Mempelajari budaya merupakan suatu proses menciptakan arti berbagi antaranggota kebudayaan. Proses ini hendaknya terus berlangsung sepanjang mempelajari bahasa, hingga akhirnya meresap ke dalam pola pikir, perasaan, dan perbuatan.
Proses pembelajaran budaya akan menciptakan suatu identitas baru yang merupakan inti pembelajaran budaya atau yang biasa disebut penyesuaian diri. Penyesuaian diri ini tidaklah mudah. Kadang-kadang siswa mengalami gangguan dalam penyesuaian diri. Gangguan ini disebut culture shock. Culture shock merupakan fenomena psikologis yang berupa kepanikan dan krisis psikologis. Culture shock dapat berupa perasaan asing, marah, permusuhan, keraguan, frustasi, sedih, kesendirian, keinginan untuk pulang (homesickness), dan bias sampai sakit jasmani.
2.    Stereotipe Budaya
Dalam pertukaran budaya, kita menyadari bahwa semua aspek yang ada dalam budaya yang masuk akan bercampur dengan budaya kita, baik budaya positif maupun negatif. Tentu saja pandangan seseorang tentang budaya yang masuk itu berbeda-beda. Jika seseorang berpandangan tertutup (close-minded) maka mereka tidak akan bisa menerima perbedaan-perbedaan dari budaya mereka. Dan hal-hal seperti itulah yang menyebabkan sebuah ‘stereotype’ tercipta. Stereotype melukiskan tipikal dari anggota masyarakat. Contohnya, ada anggapan bahwa orang Amerika semuanya kaya, santai, matrealistis, terlalu ramah, dan suka minum kopi. Orang Italia umumnya berhasrat, pecinta ulung dan suka minum anggur merah. Sedangkan orang Inggris sopan, hemat, dan suka minum teh.[7]
Stereotip-stereotip tersebut merupakan sudut pandang pada umumnya oleh rata-rata kelompok masyarakat suatu negara yang pernah mengenalnya. Stereotip bisa dibentuk melalui pergaulan. Orang bisa mengenal dan mengerti akan perbedaan budaya satu dengan yang lain. Perbedaan tersebut bisa positif atau pun negatif. Hal yang positif bisa diambil namun yang negatif bisa dicegah dengan jalan filterisasi.
            “The stereotype may be accurate in depicting the “typical“ member of a culture, but it is inaccurate for describing a particular individual, because every person is unique and all of person’s behavioral characteristics cannot be accurately predicted.”[8] Sesuai pernyataan tersebut stereotip suatu budaya tidak bisa diidentifikasikan secara individu namun berdasarkan kelompok masyarakat yang memiliki kebiasaan dalam bertingkah laku atau berbahasa.
            Karakteristik yang dimiliki antarbudaya memiliki stereotip tertentu yang berbeda satu sama lain. Seperti yang diungkapkan Brown dalam hasil penelitiannya, ”Cross-cultural research has shown that there are indeed characteristics of culture that make one culture different from another” (penelitian antarbudaya telah menunjukkan bahwa terdapat karakteristik membuat suatu budaya benar-benar berbeda dari yang lain).[9] Stereotype mungkin benar dalam menduga watak ‘umum’ anggota budaya tertentu tapi tidak akurat untuk menggambarkan satu individu karena setiap orang memiliki keunikannya masing-masing. Oleh karena itu stereotip atau pelabelan orang dari budaya berbeda haruslah dihindari baik oleh pembelajar maupun guru bahasa kedua, mereka harus memahami perbedaan budaya, menyadari bahwa setiap orang berbeda-beda dan menghormati perbedaan tersebut.
            Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kehadiran stereotipe diharapkan tidak menimbulkan dampak buruk atau negatif bagi pembelajaran bahasa, tetapi dengan perbedaan-perbedaan budaya itu, justru guru harus peka terhadapnya sehingga dapat memanfaatkan perbedaan-perbedaan budaya tersebut sebagai motor penggerak pembelajaran bahasa.
3.    Sikap
            Stereotip juga berpengaruh pada sikap tingkah laku seseorang terhadap budaya atau bahasa yang dibicarakan / dipelajari. Pengaruh tersebut bisa datangnya melalui media secara tidak langsung baik televisi, buku, atau internet. Selain itu juga bisa didapat dari hasil atau pengaruh dari sikap orang dewasa, orang tua, teman sebaya, dan hasil interaksi dengan orang yang berbeda-beda, serta hasil interaksi faktor-faktor afektif pada pengalaman manusia. Sikap inilah yang membentuk satu bagian persepsi atas diri sendiri, orang lain, dan kebudayaan. Menurut Nasution, sikap memengaruhi motivasi yang pada akhimya akan mempengaruhi pemerolehan bahasa kedua atau Second Language Acquisition-SLA.[10] Sikap dibagi menjadi dua, yaitu sikap positif dan negative
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh John Oller dan rekan-rekannya menunjukkan bahwa sikap positif terhadap diri sendiri, kelompok bahasa penduduk asli, dan kelompok bahasa target mempertinggi kecakapan atau penguasaan  berbahasa seseorang dan akan berpeluang lebih sukses dalam pembelajaran suatu bahasa. Terkadang orang yang mempelajari bahasa kedua yang mempunyai sikap negative terhadap diri sendiri, bahasa target, dan kebudayaan yang melatarbelakangi bahasa target akan mempersulit dalam penguasaan serta pengetahuan tentang bahasa tersebut. Sikap negative ini dapat diubah dengan seringnya melihat kenyataan. Salah satu contohnya dengan berjumpa dengan orang-orang dari kebudayaan lain, sehingga akan memperoleh pengetahuan secara langsung.
Guru pembimbing bahasa kedua juga dapat membantu siswa untuk menekan atau mengubah sikap negative dengan cara memberikan keterangan yang benar tentang mitos-mitos yang ada pada budaya lain, yang tentu saja berbeda dengan budaya siswa yang belajar bahasa kedua. Siswa yang belajar bahasa kedua diarahkan untuk menerima, menghormati, dan menghargai kebudayaan yang berbeda-beda. Sehingga diharapakan dengan adanya penjelasan dari guru pembimbing akan membantu siswa untuk memiliki sikap yang positif terhadap pembelajaran bahasa kedua.
4.    Pemerolehan Budaya Kedua
Pembelajaran bahasa kedua mempunyai hubungan dengan pembelajaran budaya kedua. Robinson Stuart dan Nokon mempertemukan beberapa pespektif tentang pembelajaran budaya kedua, mereka mengomentari gagasan yang  menyebut bahwa pembelajaran budaya adalah perjalanan dengan karpet merah menuju budaya lain, yang teraih sebagai produk samping dari pelatihan bahasa adalah konsesi yang keliru[11].  Banyak murid di kelas bahasa asing yang mempelajari bahasa bahasa itu dengan sedikit atau tidak ada pengertian sama sekali tentang kedalaman norma dan pola budaya dari orang-orang yang berbicara pada bahasa itu[12]. Perspektif lain adalah gagasan bahwa sebuah kurikulum bahasa asing itu bisa menghadirkan budaya fakta yang dikonsumsi secara kognitif, oleh murid tanpa interaksi yang memadai dengan budaya itu[13]. Dengan meminggirkan perspektif-perspektif tersebut karena tidak efektif dan salah pengertian, . Robinson Stuart dan Nokon menyarankan agar para pembelajar bahasa menjalani pembelajaran budaya sebagai “sebuah proses, yaitu sebagai sebuah cara mengindra, menafsir, merasa, hidup di dunia… dan berhubungan dengan tempat di mana seseorang berada  dan dengan siapa seorang berjumpa” [14]. Berdasarkan pendapat itu, Brown menyimpulkan bahwa pembelajaran bahasa adalah sebuah proses penciptaan makna bersama perwakilan-perwakilan budaya. Proses ini harus dijalani, proses pembelajaran bahasa yang berlangsung selama bertahun-tahun pembelajaran bahasa yang berlangsung selama bertahun-tahun pembelajaran bahasa, dan menembus sangat dalam ke pola pemikiran, perasaan, dan tindakan seseorang[15].  Dalam proses ini akan menimbulkan akulturasi budaya.
Budaya adalah bagian yang tertanam sangat dalam dari keberadaan kita sebagai manusia, tetapi bahasa –cara-cara berkomunikasi di antara anggota-anggota seluruh budaya- adalah ekspresi yang paling terlihat dan tersedia dari budaya itu. Maka, cara pandang, identiras diri, dan sistem berpikir, bertindak, merasa, dan berkomunikasi bisa terusik oleh kontak dengan budaya lain[16].
Kadang gangguan tersebut sedemikian berat, sehingga seseorang mengalami gegar budaya. Gegar budaya merujuk kepada fenomena yang berentang dari ketersinggungan ringan sampai panic dan krisis psikologis yang dalam[17]. Gegar budaya diasosiasikan dengan perasaan keterasingan, marah, bermusuhan, bimbang, frustasi, gundah, sedih, kesepian, kangen rumah, dan bahkan sakit fisik. Orang-orang yang mengalami gegar budaya melihat dunia baru dengan perasaan sengit  dan bubah-ubah dari iba kepada diri sendiri dan marah kepada orang lain yang tak memahami mereka. Dari kasus yang didapatkan dalam penelitian mengenai orang yang mengalami gegar budaya, dapat member pandangan baru bahwa orang-orang yang berada dalam suatu budaya kedua awalnya mungkin nyaman dan terhibur dengan lingkungan yang eksotis. Sepanjang mereka bisa secara perceptual menyaring lingkungan sekitar mereka dan menginternalisasi lingkungan itu dalam pandangan mereka sendiri, mereka merasa nyaman. Begitu kebaruan ini luntur dan kontra diksi yang bertumpuk mengganggu pikiran dan perasaan, mereka menjadi terdis orientasi[18].
Lazim menggambarkan menggambarkan gegar budaya sebagai yang kedua dari empat tahap beruntun pemerolehan budaya[19]:
a.    Tahap 1 adalah kegembiraan dan euphoria karena kebaruan lingkungan sekitar
b.    Tahap 2 –gegar budaya- muncul ketika merasakan makin bayak gangguan masuk dar perbedaan budaya ke dalam bayangan mereka akan diri sendiri dan rasa aman. Dalam tahap ini orang-orang mengandalkan dan mencari dukungan dari orang-orang sebangsa di budaya kedua, menghibur diri dengan mengeluh tentang adat dan kondisi local, berusaha lara dari kesengsaraan ini.
c.    Tahap 3 adalah salah satu dari pemulihan bertahap dan pada awalnya tentative dan terombang- ambing. Tahap ini di cirikan oleh apa yang disebutkan Larson dan Smalley “stress budaya”: beberapa masalah akulturasi terpecahkan sementara masalah lain berlanjut untuk beberapa waktu. Tetapi ada kemajuan umum, lambat tapi pasti, ketika orang mulai menerima perbedaan-perbedaan di sekitar mereka dalam berpikir dan merasakan, pelan-pelan mereka lebih berempati pada orang lain di budaya kedua[20].
d.    Tahap 4 mewakili pemulihanhampir penuh dan sepenuhnya , baik asimilasi maupun adaptasi, penerimaan budaya dan kepercayaan diri baru dalam orang “baru” yang sudah berkembang dalam budaya ini.
Karya Wallace Lambert tentang sikap-sikap dalam pembelajaran bahasatentang sikap-sikap dalam pembelajaran bahasa kedua sering merujuk kepada konsep Durkheim tentang anomi-perasaan ketidak pastian sosial atau ketidak puasan- sebagai sebuah aspek signifikan hubungan antara pembelajaran bahasa dan sikap terhadap budaya asing[21]. Saat orang mulai kehilangan ikatan dengan budaya asli mereka dan beradaptasi dengan budaya kedua, mereka mengalami perasaan gusar atau menyesal, bercampur dengan harap-harap cemas memasuki sebuah kelompok baru. Anomi mungkin bisa digambarkan sebagai tahap ketiga akulturasi, perasaan tak berumah, ketika orang tak merasa lagi tak punya ikatankuat dengan budaya aslinya dan belum sepenuhnya beradaptasi dengan budaya kedua.
Penelitain Lambert mendukung pandangan bahwa dosis terkuat anomi terjadi ketika secara linguistik seseorang mulai “menguasai” bahasa asing. Dalam studi Lambert, ketika seorang Kanada berbahasa inggris mulai menjadi begitu terampil dalam bahasa Prancis sehingga mulai “berpikir” dalam bahasa Prancis bahkan bermimp[I dalam bahasa Prancis, perasaan anomi tercatat tinggi. Bagi subjek Lambert interraksi antara anomi dan keterampilan yang meningkat dalam bahasa kadang menggiring orang untuk berbalik atau “mundur” ke bahasa Inggris –untuk mencari situasi-situasi diman mereka bisa bicaa bahasa Inggris. Dorongan semacam ini bertimbal-balik dengan ketentatifan tahap ketiga akulturasi –kembali sesaat  ke mekanisme pelarian yang diperoleh dalam tahap awal gegar budaya. Baru ketika orang itu masuk penuh ke tahap ketiga, perasaan anomi pembalajar “sudah melompati rintangan” dalam transisi menuju adaptasi[22].
Gegar budaya akulturasi tidak harus digambarkan sebagai sebuah titik ketika para pembelajar adalah korban tak sengaja dan tanpa daya dari keadaan. Peter Adler, mencatat bahwa gegar budaya, sekalipun pasti mempunyai manifestasi kritis, juga bisa dilihat lebih positif sebagai sebuah pengalaman mendalam pembelajaran lintas budaya[23]. Ia merupakan satu rangkaian situasi atau lingkungan yang melibatkan komunikasi antar budaya  di mana seseorang,  sebagai hasil pengalaman, menjadi sadar akan pertumbuhan, pembelajaran, dan perubahannya sendiri. Sebagai hasil gegar budaya, orang tersbut memperoleh perspektif baru atas dirinya sendiri, dan menjadi paham bahwa identitasnya sendiri penting untuknya. Selain itu, pengalaman lintas budaya berlangsung ketika seseorang berhadapan dengan sebuah budaya yang berbeda dan sebagai hasilnya:
a.    Memeriksa sampai diman ia terpengaruh oleh budayanya sendiri,.
b.    Memahami nilai, sikap, dan pembawaan orang lain yang bersumber dari budaya.

5.    Jarak Sosial
Konsep jarak sosial muncul sebagai sebuah pengertian afektif untuk menjelaskan tempat pembelajaran budaya dalam pembelajaran bahasa kedua. Jarak sosial merujuk kepada kedekatan kognitif dan afektif dari dua budaya yang bertemu dalam diri sesorang[24]. Jarak jelas dipakai sebagai metafora untuk menunjukkan ketidakmiripan antara kedua budaya. Pada tataran yang superficial orang Amerika Serikat mirip secara budaya dengan orang Kanada, semantara penduduk asli AS dan China, jika jika dibandingkan, relative tidak serupa. Kita bisa bilang bahwa jarak sosial kasus yang belakangan melampaui yang sebelumnya.
John Schumann menggambarkan jarak sosial terdiri atas parameter-parameter berikut[25]:
a.    Dominasi. Dalam kaitannya dengan BS (bahasa sasaran), apakah kelompok B2  (pebelajar bahasa kedua) secara politik, budaya, teknis, atau ekonomi, dominan, tak dominan, atau bawahan?
b.    Integrasi. Apakah pola integrasi B2 berupa asimilasi, akulturasi, atau preservasi? Seperti apa derajat penutupan diri kelompok B2 –terpisahkan identitasnya dari kelompok lian di sekitarnya?
c.    Kekohesifan. Apakah kelompok B2 kohesif? Seberapa besar ukuran kelompok B2?
d.    Keserasian apakah budaya dari dua kelompok itu serasi –sistem nilai dan keyakinan mereka mirip? Seperti apa sikap timbale balik kedua kelompok?
e.    Kepermanenan. Berapa lama kelompok B2 berniat tinggal di wilayah bahasa sasaran?

Schumann mengguanakan factor-faktor di atas untuk menggambarkan secara hipotesis pembelajaran bahasa yang baik dan buruk, dan mengilustrasikan tiap situasi  dengan dua konteks lintas budaya yang aktual[26]. Dua hipotesis situasi pembelajaran bahaasa yang “buruk” darinya:
a.    Kelompok BS melihat kelompok B2 sebagai dominan dan kelompok B2 melihat dirinya dengan cara yang sama. Kedua kelompok menginginkan preservasi dan penutupan diri tinggi bagi kelompok B2, dan kelompok B2 kohesif sekaligus besar, dua budaya tak serasi, dua kelompok saling bersikap negative, dan kelompok B2 berniat tinggal di wilayah BS hanya untuk waktu singkat.
b.    Situasi buruk kedua memiliki semua karakteristik yang pertama kecuali dalam kasus ini, kelompok B2 memandang dirinya bawahan dan dianggap bawahan oleh kelompok BS.
Situasi pertama, menurut Schumann, adalah tipikal orang Amerika yang tinggal Riyadh, Arab Saudi. Situasi kedua adalah gambaran IndianNavajo yang tinggal di wilayah barat Amerika Serikat.
Situasi pembelajaan yang “baik”, menurut model Svhumann adalah situasi di mana kelompok B2 tidak dominan dalam hubungannya dengan kelompok BS. Kedua kelompok menginginkan asimilasi (atau setidaknya akulturasi) uuntuk kelompook B2, penutupan diri yang rendah adalah cita-cita kedua kelompok, kedua budaya serasi, kelompok B2 kecil dan tidak kohesif, kedua kelompok salaing memiliki sikap positif, dan kelompok B2 berniat tinggal di wilayah BS dalam waktu yang lama[27].
Hipotesis Schumann addalah makin besar jarak sosial antara dua budaya, makain besar kesulitan yang akan ditemui  pembelajar saat belajar bahasa kedua, dan sebaliknya, makainkecil jarak sosial (solidaritas sosial yang lebih besar antara dua budaya), makin baik situasi pembelajaran bahasanya[28].
Salah satu kessulitan dalam hipotesis Schumann tentang jarak sosial adalah pengukuran jarak sosial actual. Bagaimana orang dapat bisa menentukan derajat jarak sosial? Dengan cara apa? Dan bagaimancara-cara itu dikuantifikasikan untuk perbandingan  jarak relative? Sampai hari ini pengertian ini masih tetap merupakan fenomena yang didefenisikan secara agak subjektif yang, seperti empati, harga diri, dan banyak pengertian psikologis lain, sulit didefenisikan walaupun orang bisa secara intuitif menangkap pengertian yang dimaksud.
William Acton mengajukan solusi untuk dilema tersebut. Ia merancang ukuran jarak sosial yang dipahami. Pendapatnya adalah bahwa jarak actual antara budaya-budaya tidak secara khusus relevan mengingat apa yang dilihat pembelajarlah yang membentuk realitas mereka sendiri. Kita sudah mencatat bahwa manusia mencerap lingkungan budaya melalui saringan dan tabir pandangan dunia mereka sendiri dan kemudian bertindakdi atas persepsi itu seberapa pun biasnya. Menurut Acton, ketika pembelajar menemui budaya baru, proses akulturasi mereka adalah sebuah factor bagaimana mereka melihat budaya mereka sendiri dalam hubungannya dengan budaya bahasa sasaran, dan sebaliknya[29].  
Dengan meminta merespon tiga dimensi jarak, Acton merancang pengkuran jarak sosial yang dipahami –Kuesioner Perbedaan Nyata dalam Sikap atau Profesed Difference In Attitude  Questionnare (PDAQ)- yang memperlihatkan karakter pembelajaran yang “baik” atau berhasil (sebagaimana  yang diukur dengan tes kecakapan standar) dengan akurasi yang mengagumkan[30]. Pada dasarnya PDAQ meminta pembelajar mengkur perbedaan sikap belajar mereka terhadap berbagai konsep pada tiga dimensi:
a.    Jarak (perbedaan) antara mereka sendiri dan orang sebangsa secara umum;
b.    Jarak antara mereka sendiri dan anggota budaya secara umum;
c.    Jarak antara orang yang sebangsa mereka dan anggota budaya sasaran.
Dengan teknik differensial semantic, skor tiga jarak itu dihitung untuk tiap-tiap dimensi.
Acton mendapati bahwa dalam kasus pembelajar Bahasa Inggris yang sudah berada di Amerika Serikat selama empat bulan, ada rasio optimal pada jarak sosial yang dipahami (di antara tiga skor) yang menunjukkan pembelajar bahasa yang “baik”. Jika pembelajar melihat mereka sendiri terlallu dekat atau terlalu berjarak dengan dengan budaya sasaran ataupun budaya asli, mereka masuk ke aktegori pembelajr bahasa yang “buruk” sebagaimana diukur dengan tes kecakapan standar.  Impllikasinya adalah bahwa pembelajar bahasa yang berhasil melihat diri mereka menjaga jarak antara diri mereka dan kedua budaya. Tidak mengejutkan bahwa  PDAQ Acton tak memprediksi keberhasilan bahasa sebab kita tahu tidak ada instrumen memadai untuk memprediksi keberhasilan bahasa atau menaksir bakat bahasa. Namun, PDAQ betul-betul menjabarkan secara empiris, berkenaan dengan yang bisa dihitung, seluruh hubungan antara jarak sosial dan pemerolehan bahasa kedua[31].
Teori Acton mengenai jarak sosial optimal yang bisa dipahami mendukung pendapat Lambert bahwa penguasaan bahasa asing sejalan dengan perasaan anomi atau tak berumah, ketika pembelajar sudah bergerak menjauhi budaya asli mereka tetapi belum sepenuhnya berasimilasi atau menyesuaiaakan diri dengan budaya sasaran[32]. Lebih penting, model Acton mendekatkan kita pada sebuah pemahaman gegar budaya dan hubungan akulturasi dengan pembelajaran bahasa dengan memasok sebua puzzle.  Jika kita menggabungkan penelitian Acton dan Lambert, sebuah hipotesis yang menarik muncul –yaitu, bahwa penguasaan atau kefasihan dalam bahasa kedua (di dalam budaya kedua) terjadi sekitar awal tahap ketiga –atau pemulihan-akulturasi. Implikasi hipotesis semacam itu adalah bahwa penguasaan mungkin tidak terjadi secara efektif sebelum tahap itu, atau kemungkinan besar bahwa, si pembelajar tak akan pernah berhasil dalam penguasaan bahasa itu jika mereka melaju melampaui awal tahap ke 3 tanpa menuntaskan penguasaan linguistik itu. Tahap 3 mungkin tak hanya menghadirkan jarak optimal tetapi juga tegangan kognitif dan afektif optimal untuk menghasilkan tekanan yang dibutuhkan guna memperoleh bahasa, tekanan yang tak membuat kewalahan (seperti gegar budaya tipikal dari tahap 2) ataupun terlalu lemah (yang akan ditemui di tahap 4, adaptasi/asimilasi). Penguasaan bahasa tahap 3, pada gilirannya, akan muncul sebagai instrumen untuk melaju secara psikologis melalui tahap 3 dan akhirnya ke tahap 4.
Menurut model jarak optimal (yang dikembangkan oleh Brown) dari perolehan bahasa kedua ini, seorang dewasa yang gagal menguasai bahasa kedua di sebuah budaya kedua mungkin karena berbagai alasan telah gagal untuk menyelaraskan perkembangan linguitik dan budaya[33]. Orang dewasa yang sudah mendapatkan cara-cara nonlinguitik untuk mengatasin masalah di budaya asli akan melewati tahap 3 dan masuk ke tahap 4 dengan terlalu banyak bentuk bahasa yang terformilkan, tak pernah mencapai penguasaan.   Mereka tidak punya alasan meraih npenguasaan sebab mereka telah belajar mengatasi masalah tanpa pengetahuan bahasa yang canggih. Mereka mungkin sudah memperoleh fungsi-fungsi bahasa kedua dalam jumlah memadai tanpa memperoleh bentuk yang yang tepat. Apa yang disarankan model jarak optimal ini mungkin bisa dilihat sebagai hipotesis periode kritis berdsarkan budaya, yakni sebuah periode kritis yang independen terhadap usia pembelajar. Meskipun model jarak optimal lebih tepat diterapkan kepada pembelajar dewasa, ia juga bisa punya relevansi untuk anak-anak, sekalipun tidak sekritis untuk orang dewasa. Karena mereka belum bertahun-tahun membangun pandangan dunia yang terkait budaya (atau pandangan tentang mereka sendiri), anak-anak memiliki saingan perspektif lebih sedikit untuk menyesuaikan diri lagi sehingga bisa melampaui tahap-tahap akulturasi lebih cepat. Namun kurang lebih mereka bergerak melewati tahap-tahap yang sama, dan masuk akal membuat hipotesis bahwa tahapan pemulihan mereka juga merupakan periode kritis pemerolehan.
Sejumlah bukti penelitian telah dikumpulkan untuk mendukung gagasan tentang jarak optimal. Day mendapat semacam bukti pengamatan mengenai lompatan kritis dalam kelancaran bahsa dan anomi budaya yang terjadi secara bersamaan. Dan Svanes mendapati bahwa mahasiswa asing yang belajar di Norwegia sepertinya meraih kemahiran yang lebih tinggi jika mereka mempunyai “sikap berimbang dan kritis kepada orang-orang asli Norwegia“ sebagai lawan dari penghormatan tak kritis kepada semua aspek budaya sasaran. Testimony informal banyaak guru ESL di AS juga membenarkan kemungkinan terjadinya tegangan motivasional yang dihaasilkan melalui kebutuhan “bergerak seiring” dalam proses adaptasi yang kadang panjang dan melelahkan di tanah air baru[34]. Para guru dalam konteks yang serupa bisa memetik manfaat dari penilaian saksama tahap budaya terkini si pembelajar dengan perhatian yang pas bagi periode optimal yang memungkinkan bagi penguasaan bahasa.

6.    Mengajarkan Kompetensi Antarbudaya
Sekalipun kebanyakan pembelajar betul-betul dapat menemukan manfaat dalam pengalaman pembelajaran atau tinggal di wilayah lintas budaya, sejumlah orang mengalami kendala psikologis dan efek menghambat lainnya dari budaya kedua. Stevick mewanti-wanti bahwa para pembelajar bisa merasakan keterasingan dalam proses pembelajaran bahasa kedua, terasing dari orang-orang di budaya kapung halaman mereka, budaya sasaran, dan diri merka sendiri[35]. Saat mengajar sebuah budaya asing, kita perlu peka pada kerapuhan murid dengan menggunakan teknik yang meningkatkan pemahaman budaya.
Banyak studi penelitian terbaru telah memperlihatkan efek positif penyertaan kesadaran budaya di kelas-kelas bahasa[36].  Sauvignon dan Sysoyev mempromosikan kompetensi sosial budaya pada pembelajar bahasa Inggris mereka di Rusia dengan memperkenalkan strategi-strategi sosial budaya sepertimengawali kontak, mengantisipasi kesalahanpahaman budaya, dan menggunakan diplomasi dalam diskusi. Wright mendapati bahwa mengajar bahasa Jerman sebagai bahasa asing, dengan menggunakan tugas berorientasi proses, bnisa memajukan kemampuan adaptasi budaya. Abrams sukses menggunakan portofolio budaya berdasarkan internet untuk mempromosikan kesadaran budaya dan melucuti stereotype budaya. Wawancara-wawancara dengan penutur asli bahasa sasaran membantu pembelajar, dalam studi Bateman, untuk mengembangkan sikap lebih positif kepada budaya sasaran. Choi menggunakan drama sebagai “gerbang” menuju kesadaran antarbudaya dan pemahaman bagi mahasiswa Koreanya yang belajar bahasa Inggris sebagai bahasa kedua.
Para guru yang menerapkan pembelajaran budaya dengan model eksperimental atau proses di ruang kelas mampu membantu para murid mengubah pengalaman semacam itu untuk membantu para murid mengubah pengalaman semacam itu untuk meningkatkan kesadaran budaya dan kepahaman diri[37]. Donahue dan Parsons memeriksa penggunaan role play di kelas ESL sebagai cara membantu murid mengatasi  “kelelahan” budaya;  role play mendukung proses dialog lintas budaya sembari menyediakan kesempatan untuk komunikasi lisan. Sejumlah materi dan teknik lain –bacaan, film, permainan stimulasi, assimilator budaya, “kapsul budaya”, dan “kulturgram”- tersedia bagi guru bahasa untuk membantu mereka dalam proses akulturasi di ruang kelas.
Sejumlah cara untuk untuk merumuskan berbagai ketidakcocokan dalam standar norma digambarkan dalam karya Geert Hofstedeyang menggunakan empat kategori konseptual untuk mempelajari norma-norma budaya lima puluh Negara berbeda[38]. Berikut penjabaran kategori masing-masing:
a.    Individulisme adalah karakteristik sebuah budaya yang merupakan lawan dari kolektivisme (dipakai di sini dalam pengertian antropologis, bukan politis). Budaya individualism mengasumsikan bahwa setiap orang terutama menjaga kepentingannya sendiri dan kepentingan keluarga intinya (suami,istri, anak-anak). Budaya kolektivitas mengasumsikan bahwa setiap orang, masuk ke salah satu atau lebih “kelompok dalam” (apakah perkerabatan, klan, atau organisasi) melindingi kepentingan anggota-anggotanya, tetapi mengharap loyalitas permanen sebagai imbalannya. Masyarakat kolektifitas sangat menyatu: masyarakat individualis menyatu secara longgar.
b.    Jarak kekuasaan adalah sebuah karakteristik sebuah budaya yang mendefenisikan sampai sejauh mana orang-orang yang kurang berdaya dalam sebuah masyarakat menerima ketidaksetaraan dalam kekuasaan dan menganggapnya normal. Ketidaksetaraan ada di dalam setiap budaya, tetapi derajat bisa ditoleransinya bervariasi antara satu budaya dan lainnya. Menurut Hofstede: semua masyarakat tak setara, tetapi beberapa lebih tak setara disbanding yang lannya.
c.    Penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance) adalah karakteristik sebuah budaya yang mendefenisikan sampai sejauh mana orang-orang di dalam sebuah budaya dibuat gugup oleh situasi-situasi yang mereka lihat sebagai tak terstruktur, tak jelas, tak bisa diduga –situasi-situasi yang yang kemudian mereka coba hindari dengan menegakkan aturan-aturan perilaku dan keyakinan mutlak. Budaya-budaya dengan penghindaran kuat terhadap ketidakpastian adalah budaya yang aktif, agresif, emosional, impulsive, mencari keamanan, dan tidak toleran; budaya-budaya dengan penghindaran lemah terhadap ketidak pastian adalah adalah budaya yang kontemplatif, kurang agresif, tak emosional, santai, menerima resiko personal, dan relative toleran.
d.    Maskulinitas adalah karakteristik sebuah budaya yang merupakan lawan dari femininitas. Keduanya berbeda dalam peran-peran sosiaal terkait dengan fakta biologis jenis kelamin, dan dalam hal-hal khusus peran sosial yang disandangkan kepada laki-laki. Budaya yang dilabeli “maskulin” berupaya untuk membuat perbedaan maksimal antara apa yang seharusnya dilakukan oleh laki-laki dan o9leh perempuan. Mereka mengahrapkan laki-laki bernyali, ambisius, dan gigih mendapatkan sukses materi dan menghormati apapun yang besar, kuat, dan cepat. Mereka mengharapkan perempuan meladeni dan memperhatikan kualitas non materi kehidupan, anak-anak, dan kaum lemah. Budaya-budaya feminin, di sisi lain, merumuskan secara relatif tumpang tindih peran sosial untuk kedua jenis kelamin, di mana laki-laki tak perlu ambisius atau kompetitif, tetapi boleh mengejar kualitas hidup yang berbeda selain sukses materi; laki-laki boleh menghormati apa pun yang kecil, lemah, dan lambat. Maka, di budaya maskulin nilai-nilai politis/organisatoris menekankan sukses materi dan kebernyalian; dalam budaya feminin, mereka menekankan jenis lain kualitas hidup, hubungan antar personal, dan perhatian kepada yang lemah.


 


















BAB III
KESIMPULAN

            Bahasa sebagai alat komunikasi berkaitan erat dengan budaya. Jika dikaitkan dengan masyarakat maka bahasa berfungsi sebagai bahasa nasional. Pembelajaran bahasa kedua melibatkan pemerolehan identitas kedua dalam pembelajaran budaya (akulturasi).
Faktor-faktor sosiokultural berkaitan erat dalam proses pembelajaran bahasa kedua dan bahasa asing. Dengan mengenali hubungan yang kompleks tersebut guru bahasa dapat merancang perlakuan apa yang oocok terhadap murid-muridnya di kelas, baik dari segi pendekatan maupun teknik. Guru juga dapat memberi pemahaman pada murid-murid tentang pentingnya memahami budaya kelompok pemakai bahasa sasaran jika mereka ingin menguasai bahasa tersebut dengan baik dan mencapai tingkat mahir.









DAFTAR PUSTAKA

Brown, H Douglas. 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. Jakarta: Pearson Education, Inc, Kedubes Amerika Serikat.
Nasution. 2009.  Berbagai Pendidikan dalam Proses Belajar Mengajar, Jakarta: PT. Bumi Aksara. 
Harefa, Andrias. 2003. Mengasah Paradigma Pembelajar. (Cetakan ke-2). Yogyakarta: Gradien.
Brown, H. Douglas. 2000. Principles Language Learning And Teaching.
           USA: San Francisco State University.
















Metodologi Pengajaran Bahasa Dan Sastra
Faktor-Faktor Sosiokultural









Disusun Oleh :
  Franscy (7316130261)
  





Magister Pendidikan Bahasa
Program Pascasarjana
Universitas Negeri Jakarta
2014



[1] H.Douglas Brown. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. (Jakarta: Pearson Education, Inc, Kedubes Amerika Serikat, 2007), hlm.6.
[2] Nasution. Berbagai Pendidikan dalam Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), hlm. 5.
[3] H.Douglas Brown. Loc. cit. hlm. 206.
[4] Ibid., hlm.207.
[5] Matsumoto dalam H.Douglas Brown. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. (Jakarta: Pearson Education, Inc, Kedubes Amerika Serikat, 2007), hlm.207.
[6] Andrias Harefa. 2003. Mengasah Paradigma Pembelajar. Cetakan ke-2 (Yogyakarta: Gradien, 2003), hlm. 45.
[7] H.Douglas Brown. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. (Jakarta: Pearson Education, Inc, Kedubes Amerika Serikat, 2007), hlm.209.

[8] H.Douglas Brown. Principle Language Learning And Teaching. (USA: San Francisco State University, 2000), hlm. 179.
[9] Ibid., hlm. 179.
[10] Nasution. Berbagai Pendidikan dalam Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), hlm. 7.
[11] H. Douglas Brown, Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa edisi Bahasa Indonesia (Jakarta: Kedutaan Besar AS di Jakarta) hlm. 212
[12] ibid
[13] ibid
[14] Ibid hlm 213
[15] ibid
[16] ibid
[17] ibid
[18] Ibid klm 214
[19] ibid
[20] ibid
[21] Ibid 215
[22] ibid
[23] ibid
[24] ibid
[25] Ibid hlm 216
[26] ibid
[27] ibid
[28] Ibid hlm 217
[29] ibid
[30] ibid
[31] Ibid hlm 218
[32] ibid
[33] ibid
[34] ibid
[35] ibid
[36] ibid
[37] Ibid hlm 220
[38] Ibid hlm 221

Tidak ada komentar:

Posting Komentar